Wiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DUA ORANG penunggang kuda itu menuruni lembah Batusilang dengan cepat. Di sebelah depan adalah seorang lelaki berdestar hitam, berpakaian sederhana dan berusia sekitar 40 tahun. Di belakangnya mengikuti lelaki muda berpakaian bagus yang di kepalanya ada topi tinggi berwarna merah dengan pinggiran kuning, emas, pertanda dia adalah seorang berpangkat. Dua kuda tunggangan melewati sebuah telaga kecil dan akhirnya sampai di hadapan sebuah rumah berdinding kayu beratap rumbia.
"Ini tempatnya," kata lelaki berdestar hitam seraya hentikan kudanya. Lalu dia melompat turun sementara yang satu lagi memandang berkeliling dan tetap di atas punggung kudanya. Orang berdestar melangkah menuju pintu rumah dan mendorong daun pintu yang ternyata tidak dikunci. Terdengar suara berkereketan. Orang itu masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi.
"Rumah ini kosong. Dia masih belum datang rupanya."
Orang berpakaian bagus di atas kuda mengangguk. Dia memandang lagi berkeliling. "Kalau memang belum datang aku bisa menunggu, Turangga. Sekalian kita bisa istirahat. Yang aku kawatirkan dia benar-benar tidak datang. Kau tertipu, aku tertipu!"
"Saya yakin dia pasti datang Tumenggung Purboyo. Silahkan Tumenggung turun dan masuk ke dalam. Menunggu sambil istirahat."
Orang yang dipanggil dengan sebutan Tumenggung itu turun dari kudanya. Dia melangkah ke pintu hendak masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya tertahan karena saat itu di bibir lembah terdengar suara ringkik kuda. Tumnggung Purboyo dan Turangga berpaling, memandang ke arah Timur lembah Batusilang. Di kejauhan kelihatan seekor kuda putih berlari menuruni lembah. Penunggarignya seorang berpakaian ungu.
"Ia datang Tumenggung." kata Turangga gembira.
"Hemm..." bergumam Tumenggung Purboyo. Wajahnya juga tampak berseri. "Dia menepati janji. Tidak sia-sia kita meninggalkan Kotaraja jauh-jauh sampai di sini."
"Tadipun saya sudah bilang. Dia pasti datang."
"Sekali lagi aku ingatkan padamu Turangga. Jaga rahasia ini baik-baik. Tidak satu orangpun boleh tahu. Kedua orang tuaku. Orang-orang Istana, apalagi tunangan dan calon mertuaku! Kalau kejadiari ini sampai bocor, aku cuma ingin membunuh satu orang. Kau!"
Turangga menyeringai. "Saya sudah mengabdi lebih dari dua puluh tahun pada keluarga Tumenggung. Masakan saya hendak membocorkan rahasia? Dulupun saya pernah muda Tumenggung."
Penunggang kuda yang datang dari arah Timur lembah itu semakin dekat. Tumenggung Purboyo mengangkat kepalanya sedikit. "Hemm... Orangnya masih jauh. Tapi bau wewangiannya sudah tercium sampai ke sini."
Turangga ikut-ikutan menengadahkan kepala dan menghirup dalam-dalam. Memang benar. Dia juga dapat mencium wanginya tubuh orang yang datang itu. Kuda putih akhirnya sampai di depan rumah dan berhenti di hadapan kedua lelaki itu.
Tumenggung Purboyo terkesiap untuk beberapa saat lamanya. "Turangga tidak berdusta. Gadis ini benar-benar luar biasa. Tak pernah aku melihat dara secantik ini. Ah, kalau saja aku belum bertunangan pasti aku tak akan ragu mengambilnya sebagai istri!" begitu Tumenggung ini membatin.
Di sana, di atas kuda putih duduk seorang dara berwajah cantik sekali. Tubuhnya yang putih mulus terbungkus oleh pakaian berwarna ungu. Rambutnya yang panjang berhias sebuah pita juga berwarna ungu. Lalu pada lehernya melingkar sehelai selendang lagi-lagi berwarna ungu. Sepasang mata sang Tumenggung tak berkesip memperhatikan dara itu mulai dari kepala sampai ke kaki. Sadar kalau dia membuat orang menunggu lama, Tumenggung Purboyo membuka topinya dan memberi penghormatan dengan menganggukkan kepala.
"Maafkan, saya sampai lupa mempersilahkan turun dan masuk ke dalam rumah."
Dara di atas kuda tersenyum. Senyumannya seperti panah asmara yang datang menyambar membuat Tumenggung Purboyo tambah blingsatan sementara Turangga tertegak sambil membasahi bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Lalu Turangga cepat-cepat membuka pintu sementara dara berbaju ungu turun dari kudanya dibantu oleh Tumenggung Purboyo.
"Perjalanan yang begini jauh pasti tidak menyenangkan. Ditambah dengan keadaan di sini. Rumah kayu buruk ini tidak pantas untuk seorang cantik jelita seperti... Ah, maafkan saya. Saya belum tahu namanya."
Dara itu kembali tersenyum.
"Saya datang tidak bernama. Dan akan pergi tidak bernama..."
Dalam herannya Tumenggung Purboyo cepat-cepat berkata. "Kalau begitu biar saya panggil Dewi saja? Boleh...?"
"Kalau itu memang cukup pantas mengapa tidak boleh?" Suara sang dara seindah bulu perindu, menyejukkan hati Tumenggung Purboyo tapi sekaligus juga membakar panas darah di tubuhnya. Dia mengikuti gadis itu melangkah menuju ke pintu. Di ambang pintu si gadis berhenti dan memandang ke dalam. Rumah papan itu berlantai kayu hitam dan sangat bersih. Di sebelah kiri ada sebuah meja diapit dua buah kursi. Di atas meja terdapat seperangkat tempat minum. Lalu di bagian tengah terletak sebuah ranjang dengan tilamnya yang indah dan bantal-bantal yang empuk. Semua ini telah disiapkan Turangga sehari sebelumnya.
"Maafkan kalau keadaan dan isi rumafi ini tidak berkenan di hall Dewi," kata Tumenggung Purboyo. Hidungnya mencium dalam-dalam. Bau wangi tubuh dan pakaian si gadis membuatnya ingin menerkam gadis itu saat itu juga.
"Saya suka semua yang ada di sini..." kata si gadis seraya melangkah masuk ke dalam.
"Saya gembira mendengar hal itu," kata Tumenggung Purboyo dan mengikut masuk.
Gadis berbaju ungu sesaat masih memandang sekeliling kamar lalu dia duduk di tepi ranjang. Jantung Tumenggung Purboyo seperti berhenti berdetak.
"Dewi tentu haus. Biar saya ambilkan minuman."
"Tidak usah. Saya tidak punya waktu banyak. Tapi saya berjanji akan memberikan kepuasan pada Tumenggung. Siapa tahu lain kali Tumenggung mau lagi bertemu dengan saya..."
"Melihat keadaan Dewi, terus terang tiap haripun saya ingin bertemu. Hanya saja keadaan memaksa saya harus mengatur waktu sebaik-baiknya.
"Saya mengerti," kata Dewi. "Apakah Tumenggung tidak akan menutupkan pintu?"
"Apakah pembantu Tumenggung di luar sana bisa dipercaya?"
"Dewi tak usah takut. Turangga bersedia mati jika saya suruh. Dia sangat setia..."
"Sekarang hanya kita berdua di kamar ini. Tidakkah Tumenggung hendak memeluk saya?"
tanya gadis berpakaian serba ungu. Senyumnya membuat sang Tumenggung seperti dibuai ayunan sorga. Segera saja dia melangkah ke hadapan si gadis. Kedua tangannya merangkul erat punggung gadis itu. Hidungnya menyelusur di lehernya yang putih jenjang dan harum.
"Saya tidak menyangka kalau orang yang bernama Tumenggung Purboyo ini masih begini muda dan gagah. Tadinya saya mengira pasti sudah tua renta tapi masih genit dan suka daun muda..." Si gadis terdengar tertawa perlahan. Lalu balas merangkul tubuh lelaki itu.
"Saya tidak cukup pantas untuk gadis secantik Dewi," kata Tumenggung Purboyo pula.
"Tolong bukakan pakaian saya," bisik si gadis.
Tumenggung Purboyo merasakan sekujur tubuhnya bergetar panas. Cepat-cepat kedua tangannya meluncur ke bagian depan tubuh sang dara. Tidak terlihat oleh Tumenggung Purboyo gadis itu tampak tersenyum aneh. Lalu kedua tangannya yang merangkul perlahan-lahan bergerak ke atas. Bersarnaan dengan itu terjadi perubahan aneh pada sepuluh jari tangannya yang halus bersih. Dari ujung-ujung jari mencuat keluar kuku-kuku panjang berwarna merah. Pada ujungujung kuku terdapat sebuah lobang kecil sebesar lobang jarum.
Sepuluh jari tangan itu terus bergerak ke atas, mencapai bahu dan kini bergeser ke arah leher Tumenggung Purboyo pada saat dia tengah sibuk membuka kancing-kancing pakaian ungu sang dara. Mendadak ada suara tertawa aneh menggidikkan. Gerakan tangan Tumenggung Purboyo tiba-tiba terhenti. Bukan oleh suara tawa itu.