96. Utusan Dari Akhirat

7.3K 108 6
                                        

SATUHujan lebat mendera kawasan Teluk Penanjung, Pangandaran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SATU

Hujan lebat mendera kawasan Teluk Penanjung, Pangandaran. Angin dari laut bertiup kencang laksana hendak membongkar gugusan bukit-bukit karang. Awan hitam yang terus menggantung di udara membuat suasana menjadi gelap seperti.

"Dari arah timur teluk, di antara deru hujan dan hembusan angin kencang serta gelegar ombak terdengar derap kaki kuda yang sesekali dihantui oleh suara ringkikan keras. Tak selang berapa lama, dalam cuaca yang sangat buruk itu di kejauhan tampak seekor kuda betina hitam berlari seperti gila, melompat kesetanan dan meringkik tiada henti. Penunggangnya seorang pemuda bertubuh kokoh mencekal tali kekang erat-erat, berusaha mengendalikan binatang itu.
"Walet hitam!" si pemuda berseru menyebut nama kuda tunggangannya. "Apa yang terjadi denganmu! Tahan larimu! Kau hendak membunuhku?!" Dengan tangan kirinya pemuda ini berusaha mengelus leher tunggangannya agar binatang itu menjadi jinak. Namun hal itu tak bisa dilakukan karena kalau dia hanya memegang tali kekang kuda dengan satu tangan, tubuhnya pasti akan terlempar jatuh.

"Kuda gila!" Akhirnya keluar suara makian dari mulut pemuda itu ketika Walet Hitam masih terus lari kencang tak karuan. Beberapa kali binatang ini berputar-putar di sekitar teluk. Setiap tubuhnya terkena hantaman ombak Walet Hitam meringkik keras.

Sesaat binatang ini tampak oleng seperti hendak tersungkur, namun dilain kejap dia berdiri tegak kembali dan lari lagi seperti tadi.

"Kalau mau selamat aku harus melompat!" pikir pemuda penunggang kuda. Namun dia merasa ragu. Salah lompat Justru dia bisa celaka. Apa lagi di sekitar tempat itu penuh dengan gugusan batu-batu karang. Maka pemuda ini berusaha mengarahkan lari kudanya ke arah laut. Selagi berada di tempat yang dangkal dia akan pergunakan kesempatan untuk melompat. Dia kerahkan tenaga menarik tali kekang. Leher dan kepala tunggangannya memang tertarik ke kanan yakni ke arah laut, tapi tubuh dan empat kaki binatang ini tetap tak bergeming dan terus membuat gerakan lari berputar-putar.

Selagi pemuda itu cemas dan kebingungan karena tidak tahu mau melakukan apa, sekonyong-konyong dari arah bukit karang sebelah barat terdengar suara ringkikan keras.

Mendadak sontak Walet Hitam yang seperti kemasukan setan itu hentikan larinya. Leher dijulurkan ke atas, kepala mendongak. Sepasang matanya terpentang lebar. Mulutnya yang dipenuhi busahan ludah terbuka. Lalu ringkikan aneh keluar dari mulut binatang ini!

"Huh!" Dalam herannya pemuda di atas kuda palingkan kepala ke arah bukit karang di sebelah barat. Dalam lebatnya curahan hujan dan gelapnya cuaca, samar-samar di puncak bukit karang itu dia melihat seekor kuda dan penunggangnya. Si penunggang tampak melambai-lambaikan tangannya tiada henti seolah-olah memanggil.

Pemuda di teluk perhatikan kuda tunggangannya yang saat itu diam tegak tak bergerak. Bahkan matanya sejak tadi tidak berkesip.

"Aneh, apa yang sebenarnya terjadi dengan binatang ini! Siapa orang di atas bukit karang sana...?" si pemuda bertanya-tanya dalam hati.

Kuda di atas bukit meringkik keras. Dua telinga Walet Hitam bergerak. Ekornya berputar. Dua kaki depannya diangkat lalu dari mulutnya keluar suara ringkikan keras seolah membalas ringkik kuda di atas bukit.

Pemuda penunggang Walet Hitam kembali memandang ke atas bukit karang di sebelah barat. Orang di atas kuda di puncak bukit itu tampak masih terus melambai-lambaikan tangan memanggil-manggil.

Tiba-tiba kilat menyambar, guntur menggelegar. Pemuda penunggang Walet Hitam tersirap kaget. Kuda di puncak bukit meringkik keras. Walet Hitam balas meringkik. Lalu binatang ini memutar tubuhnya. Laksana anak panah lepas dari busurnya Walet Hitam lari ke arah bukit karang di sebelah barat. Walau hampir keseluruhan bukit karang itu tertutup lumut licin namun Walet Hitam berlari pesat menuju puncak bukit.

"Walet! Kau mau ke mana?!" teriak pemuda penunggangnya. Dia menarik tali kekang kuda kuat-kuat berusaha menahan lari binatang itu. Namun sia-sia saja. Walet Hitam tetap melesat menuju puncak bukit, tempat di mana penunggang kuda di atas sana terus memanggil dengan lambaian tangan.

Kuda di puncak bukit meringkik keras. Walet Hitam membalas dengan ringkikan tak kalah kerasnya. Semakin dekat ke puncak semakin jelas si pemuda melihat sosok kuda dan penunggang di atas bukit itu. Kuda di puncak bukit karang itu adalah seekor kuda jantan coklat. Penunggangnya seorang kakek bungkuk berpakaian putih, berwajah angker karena selain sangat pucat seolah tak berdarah juga sangat cekung dan hanya tinggal kulit pembalut tulang!

Tujuh langkah dari kuda jantan, Walet Hitam si kuda betina hentikan larinya. Binatang ini rundukkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Orang tua di atas kuda coklat tampak menyeringai lalu kembali lambaikan tangannya. Walet Hitam bergerak maju lang-kah demi langkah sementara pemuda di atas punggungnya merasakan keanehan yang menyelimuti dirinya perlahan-lahan berubah menjadi rasa takut, terlebih ketika dia berada begitu dekat dengan si kakek di atas kuda coklat.

Walet Hitam kini berhadap-hadapan dengan kuda jantan itu. Dua binatang ini meringkik halus lalu sama-sama sorongkan kepala masing-masing, saling menggeserkan leher dan saling menggigit.

Sekonyong-konyong orang tua di atas kuda jantan coklat keluarkan tawa panjang. Kepalanya mendongak. Sepasang matanya yang cekung menatap ke atas seolah hendak menembus langit gelap berawan.

"Kudamu berjodoh dengan kudaku. Berarti kau pun berjodoh denganku anak muda!"

Si kakek berkata. Suaranya terdengar aneh di telinga si pemuda, kecil jauh tapi menggaung seolah keluar dari satu dasar jurang batu yang dalam.

"O.... or... orang tua... Siapakah kau? Apa maksud ucapanmu tadi?" Si pemuda bertanya dengan suara gagap.

Orang tua di atas kuda coklat menyeringai dan dua matanya memandang tajam pada si pemuda.

"Anak muda, sebelum aku menjawab pertanyaanmu undurkan dulu kudamu empat langkah ke belakang, lalu perhatikan bukit karang di sebelah kananmu."

Si pemuda belum melakukan sesuatu. Namun Walet Hitam seolah mengerti akan ucapan orang tua tadi sudah lebih dulu bertindak mundur empat langkah.

"Walet Hitam berlaku aneh. Siapa sebenarnya orang tua ini?!" ujar si pemuda dalam hati. Namun ingat akan ucapan si orang tua dia segera memandang ke arah kanan. Kejut si pemuda bukan alang kepalang. Di sebelah kanan, pada bagian bukit yang sedikit menurun dia melihat sesosok tubuh terkapar dalam, keadaan tergelung kaku. Sosok ini mengenakan pakaian putih. Tangan dan kakinya berwarna putih pucat. Ketika si pemuda memperhatikan wajah orang itu rasa kagetnya seolah meledak. Wajah sosok yang tergelimpang di atas bukit karang itu dipenuhi noda darah yang telah membeku. Keluar dari liang hidung, mulut dan telinga serta kedua matanya. Namun bukan kengerian ini yang membuat si pemuda terkejut besar.

"Anak muda, mendekat kembali ke sini!"

Penunggang Walet Hitam terkejut. Seperti tadi sebelum dia mengikuti perintah, kudanya telah lebih dulu berjalan mendekati kuda coklat.

"Apa yang kau lihat anak muda...?" tanya si orang tua.

"A... aku tidak mengerti...."

Orang tua itu tertawa panjang.

"Apa yang tidak kau mengerti anak muda?"

"Hemmm.... Wajah orang tua yang menggeletak di sana itu...."

"Ada apa dengan wajahnya?!"

"Wajahnya... wajahnya sama dengan wajahmu..." jawab si pemuda.

Orang tua bermuka pucat dan cekung dongakkan kepala, kembali tertawa panjang.

"Anak muda, dengar baik-baik. Orang yang tadi kau lihat tergeletak di sebelah sana memang adalah diriku. Tapi itu adalah aku yang telah jadi mayat. Yang telah jadi bangkai. Menemui ajal, mati di tangan seorang musuh!"

"A... aku jadi tambah tidak mengerti..." ujar si pemuda. Karena menganggap kakek berwajah angker itu bergurau maka saat itu si pemuda lebih banyak merasa heran daripada takut.

"Orang tua. Kalau yang satu itu memang dirimu yang telah jadi mayat, lalu kau yang di atas kuda coklat ini siapakah adanya!"

Yang ditanya tertawa panjang.

"Mayat itu adalah mayat! Sosok kasar bangkai manusia tanpa nyawa. Yang di atas kuda coklat ini adalah sosok rohku!"

"Aku tidak mengerti...." Si pemuda merasakan tengkuknya mendadak menjadi dingin.

"Anak muda, aku jelaskan pun kau tidak bakal mengerti. Seribu penjelasan tidak akan dapat menembus akal sehat. Satu contoh yang tidak dapat diterima akal, apakah kau sudah meneliti keadaan sekitar puncak bukit karang di mana kita berada saat ini? Pakaianmu basah kuyup. Dari langit hujan masih terus turun tapi apakah kau lihat hujan jatuh dan membasahi tempat kita berada saat ini?!"

Si pemuda baru sadar. Dia mendongak ke langit. Memandang berkeliling. "Astaga! Keanehan apa yang aku hadapi saat ini!" kejutnya dalam hati.

Di hadapannya, kakek berpakaian putih bermuka sepucat mayat itu bersama kuda tunggangannya sama sekali tidak basah. Di langit hujan turun deras namun tak setetes pun jatuh di tempat itu. Memandang sekeliling puncak bukit di mana dia berada, puncak batu karang itu berada dalam keadaan kering, hanya terselimut lumut hijau lembab di beberapa tempat!

"Tidak mungkin! Bagaimana ini bisa terjadi?!" ujar si pemuda dalam hati lalu memandang ke arah orang tua di atas kuda coklat.

"Kau melihat dan kau harus berpikir. Tapi tidak perlu mengerti! Aku bertanya siapa namamu anak muda?!"

"Aku Layang Kemitir...."

"Hemmm.... Bukankah kau biasa dipanggil orang dengan sebutan Raden Layang Kemitir. Karena kau adalah seorang putera bangsawan terhormat di Banten, cucu seorang Pangeran satu kerajaan di ujung barat tanah Jawa...."

Pemuda di atas kuda hitam bernama Walet Hitam itu tercengang diam walau dalam hati dia bertanya-tanya. "Aku tidak mengenal dirinya. Sebaliknya orang tua aneh ini tahu banyak tentang diriku...."

"Anak muda, waktuku tidak lama. Aku harus segera kembali ke alamku. Aku minta saat ini juga kau turun dari kudamu. Melangkah ke tempat jenazahku tergeletak. Periksa mayatku sampai kau menemukan sesuatu...."

"Orang tua.... Aku...." Ucapan si pemuda terputus. Di hadapannya kuda coklat tunggangan si orang tua meringkik keras. Lalu terjadilah satu keanehan yang benar-benar tidak bisa dipercayanya. Pemuda ini menggosok kedua matanya berulang kali. Menjambak rambutnya kuat-kuat dan menggigit bibirnya kencang-kencang,

"Aku tidak bermimpi.... Apa yang aku lihat nyata adanya. Rambut kujambak terasa sakit. Bibir kugigit terasa luka berdarah...." Paras si pemuda menjadi pucat, lututnya terasa goyah. Dia bertahan sekuat tenaga agar tidak roboh!

** *

DUA

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoWhere stories live. Discover now