92. Asmara Darah Tua Gila

6.8K 104 3
                                        

SATUAngin barat bertiup kencang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SATU

Angin barat bertiup kencang. Perahu layar itu meluncur laju di permukaan laut. Di atas perahu Tua Gila duduk termangu di haluan. Di kepalanya bertengger sebuah caping lebar terbuat dari bambu yang melindunginya dari terik matahari. Orang tua ini senyum-senyum sendiri bila dia ingat pengalamannya di pulau kediaman Rajo Tuo Datuk Paduko intan.

"Dunia memang penuh keanehan. Mana aku pernah menyangka bakalan bertemu dengan menantuku sendiri. Hik... hik... hik! Untung dia tidak tahu aku si tua bangka buruk ini mertuanya. Ha... ha... ha!"

Kekeh Tua Gila mendadak terhenti ketika tiba-tiba dirasakannya perahu layar itu bergerak di bagian depan. Gerakan itu demikian perlahannya hingga jika bukan orang berkepandaian tinggi seperti Tua Gila tidak akan merasa atau mengetahui. Tua Gila memandang berkeliling. "Tak ada ombak besar tak ada tiupan angin kencang. Mengapa barusan ada gerakan aneh di buritan depan perahu?"

Tiba-tiba telinga si kakek yang tajam mendengar riak air laut di arah depan. Ketika dia memandang ke arah buritan Tua Gila kaget setengah mati. Dia melihat dua tangan berkuku panjang berwarna hitam muncul memegang pinggiran perahu. Lalu, "Wuuttt!" Dari dalam air laut melesat ke atas sesosok tubuh berjubah hitam berambut riap-riapan. Air mengucur dari pakaian, tubuh dan rambutnya yang basah kuyup.

"Setan laut berani muncul siang hari bolong begini! Benar-benar gila!" kata Tua Gila dan cepat berdiri dari duduknya.

"Hik... hik! Orang yang mau mampus matanya memang suka lamur!" Orang basah kuyup di depan perahu itu tertawa lalu bicara dengan mata besar melotot.

"Hebat! Setan laut bisa bicara!" kata Tua Gila lalu tertawa mengekeh.

"Hik... hik! Kau rupanya tidak mengenali siapa diriku! Lupa?! Hik... hik!"

Orang di depan Tua Gila tiba-tiba gerakkan bahu dan goyangkan kepalanya.

"Wuuutt!"

Rambut putih yang basah kuyup itu melesat ke depan dan, "Breeet!" Layar perahu robek besar terkena sambaran ujung rambut.

Berubahlah paras Tua Gila.

"Makhluk jahanam! Kalau kau mau menumpang perahuku mengapa merusak?!" Bentak Tua Gila.

Orang di hadapan Tua Gila tertawa gelak-gelak. Lalu sambil dongakkan kepala dia berkata. "Siapa bilang aku mau menumpang perahumu! Apa kau belum sadar kalau perahu ini akan meluncur menuju neraka?! Hik... hik... hik!"

"Bedebah setan alas! Kau sengaja datang mencari mati!"

"Aku tanya sekali lagi, apa kau benar-benar tidak mengenaliku? Padahal belum lama kita saling bertemu!" Orang berjubah hitam itu letakkan kedua tangan di pinggang.

"Eh...." Kening Tua Gila berkerut. Dia buka caping bambunya agar bisa melihat lebih jelas. "Astaga! Bukankah kau Dukun Sakti Langit Takambang, wakil Rajo Tuo Datuk Paduko Intan di Kerajaan pulau Sipatoka?!"

"Bagus! Berarti matamu hanya sedikit lamur, belum buta beneran! Hik... Hik!"

"Manusia satu ini tadi kulihat keluar dari dalam laut. Berarti sebelumnya dia telah mendekam di bawah perahu! Ilmu pernafasannya di dalam air patut aku kagumi! Tapi dari caranya muncul agaknya dia sengaja mengikutiku dengan maksud tidak baik!" Habis membatin begitu Tua Gila lalu membentak. "Dukun geblek! Kalau kau mau menumpang mengapa pakai bersembunyi segala! Kau pasti melarikan diri setelah ketahuan kau yang punya pekerjaan meracuni Rajo Tuo Datuk Paduko intan dan permaisurinya!"

"Rajo Tuo dan permaisuri serta semua orang di pulau itu biar kita lupakan saja! Bertahun-tahun aku mendekam di pulau itu menunggumu. Sekarang saatnya kita membicarakan urusan kita!"

"Eh, aku merasa tidak punya urusan dengan dukun laknat sepertimu! Kalau kuseret kau kembali ke pulau itu pasti kau akan digantung kaki ke atas kepala ke bawah!"

Orang di hadapan Tua Gila kembali mendongak dan tertawa panjang. "Kau melihat aku sebagai dukun, mengenal aku sebagai dukun. Apa kau juga masih mengenali wajah asliku ini Sukat Tandika?!"

Tua Gila terkejut. "Bagaimana dukun keparat ini tahu namaku?!" pikir Tua Gila.

Tiba-tiba Dukun Sakti Lang it Takambang menggerakkan tangan kanannya ke wajahnya.

"Breeettt! Sreettt!" Selapis topeng tipis yang membungkus wajah orang itu langsung tanggal.

Sepasang mata Tua Gila yang lebar jadi mendelik bertambah besar. "Aku tidak percaya...!" kata Tua Gila dengan suara bergetar. Kalau saja dia tidak berada di ujung haluan perahu niscaya kakinya sudah melangkah surut. "Apakah betul kau yang berdiri di hadapanku ini Sika Sure Jelantik?!"

"Hik... Hik! Ternyata kau masih mengenali diriku! Lebih dari itu kau juga masih ingat nama lengkapku! Hik... hik... hik!"

Tua Gila ternganga sesaat. Tekanan batin yang hebat membuat dia merasa seolah dihimpit gunung. Untuk beberapa lamanya dia hanya tegak tak bergerak dan memandang tak berkesip pada orang yang berdiri di depannya. Orang ini ternyata adalah seorang nenek berwajah bulat, memiliki tahi lalat kecil di atas dagu kirinya. Namun sesaat kemudian pe-nyakit lamanya muncul. Dia mulai tertawa. Mula-mula perlahan lalu semakin keras hingga perahu kayu itu bergetar keras. Air laut di sekitar perahu tampak bergelombang. –

"Tertawa sepuasmu Tua Gila! Kalau nasibmu baik mungkin nanti kau masih bisa tertawa di akhirat!"

Mendengar ucapan orang, Tua Gila hentikan tawanya. Lalu seolah menyesali diri sendiri dia mengeluh dalam hati. "Sekian puluh tahun tidak pernah bertemu, tahu-tahu muncul. Tak dapat tidak dia datang membawa dendam lama! Celaka! Luka-luka bekas gebukan musuh di tubuh dan kepalaku masih belum sembuh! Sekarang datang lagi penyakit baru!"

Tua Gila usap wajahnya beberapa kali lalu berkata. "Sika, aku maklum perbuatanku di masa silam telah membuatmu sengsara...."

Belum habis ucapan Tua Gila si nenek bermuka bulat memotong dengan suara keras. "Bagus! Kau bisa mengatakan begitu! Sayang saat ini sudah terlambat kau berbual-bual di hadapanku! Aku mencium amisnya bau darahmu Sukat Tandika!"

"Setelah puluhan tahun berlalu apakah kau tidak bisa melupakan hal itu? Sekarang kita sudah jadi kakek nenek. Masih perlukan darah ditumpahkan?"

Nenek-berjubah hitam di atas perahu di hadapan Tua Gila tertawa panjang. "Puluhan tahun boleh saja berlalu! Tapi sengsara dan luka hati ini tak mungkin dilupakan! Dendam kesumatku sudah karatan Sukat Tandika! Kau merampas kehormatanku, mempermainkan diriku! Memberiku malu sepanjang hidupku!"

"Sika, apapun yang terjadi di masa lalu semua kita lakukan atas dasar suka sama suka. Kita sama-sama merasakan hangatnya cinta! Harap kau ingat itu!"

Sika Sure jelantik sudah meludah ke lantai perahu. "Suka sama suka karena kau berjanji akan menikahiku! Ternyata kau menipu! Setelah puas dengan diriku kau kabur melarikan diri! Bermain gila dengan gadis lain! Cinta hangatmu adalah api yang membakar dan tak bisa dipupus kecuali dengan darahmu sendiri! Jangan kau kira aku tidak tahu siapa saja yang sudah kau cabuli lalu kau tinggal! Jangan kau kira aku tidak tahu siapa saja yang menginginkan kematianmu! Aku beruntung bahwa aku punya kesempatan membunuh lebih dulu dari yang lain!"

Sukat Tandika yang berjuluk Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Pendekar Gila Pencabut Jiwa menarik nafas dalam. Dalam hati dia membatin. "Aku sengaja mencari selamat dari Sabai Nan Rancak dan musuh-musuhku yang lain. Belum lagi menjejakkan kaki di tanah Jawa, di tengah laut sudah ada orang lain menginginkan nyawaku!"

Tua Gila menghela nafas berulang kali. Sambil menatap wajah si nenek dia berkata.

"Sika, apakah kau bisa menunda urusan ini sampai aku menyelesaikan urusanku di tanah Jawa?"

Sika Sure Jelantik menyeringai buruk. "Apa kau kira aku tidak tahu apa urusanmu di Jawa? Apa kau kira aku tidak tahu kau saat ini tengah melarikan diri dari kejaran Sabai Nan Rancak serta orang-orang lain yang menginginkan kematianmu? Belasan tahun aku malang melintang mencarimu. Setelah kutemukan jangan harap kau bisa lolos dari tanganku Sukat! Soal tunda menunda urusan harap kau bicarakan saja dengan malaikat maut!"

Tua Gila terdiam. Lalu sesungging senyum muncul di wajahnya yang cekung seperti tengkorak. Kegilaannya kembali muncul. Perlahan-lahan terdengar suara tawanya mengekeh. Makin lama makin keras hingga membuat Sika Sure Jelantik marah dan membentak.

"Jahanam gila! Sudan mau mampus masih saja memperlihatkan kesintingan!"

"Sika, jika kematianku memang tidak dapat ditunda, beri aku kesempatan untuk menyanyi...."

Si nenek kerenyitkan kening hingga wajahnya diselimuti kerut-kerut buruk. Dia segera hendak menghardik namun Tua Gila sudah membuka mulut melantunkan nyanyian.

Menanam ulah di masa muda

Memetik dendam di usia tua

Menanam angin di masa jaya

Menuai badai di usia tak berdaya

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoWhere stories live. Discover now