DI DALAM telaga yang kedalamannya setinggi leher, Pendekar 212 Wiro Sableng kibas-kibaskan rambut gondrong basahnya. Dia bermaksud hendak menselulupkan tubuhnya sampai kepala sekali lagi baru keluar dari telaga itu. Namun tiba-tiba, pluk! Sebuah benda menghantam kepalanya. Kagetnya sang pendekar bukan kepalang. Pundaknya sampai tersentak ke atas. Benda yang tadi mengenai kepalanya itu jatuh ke telaga. Sebelum tenggelam ke dalam air Wiro cepat mengambilnya.
Ternyata sebuah jambu muda berwarna hijau. Wiro memandang berkeliling. "Tak ada pohon jambu sekitar telaga ini. Berarti ada orang jahil mempermainkanku!" pikir murid Sinto Gendeng sambil memperhatikan seputar telaga. Tapi dia tak melihat siapa-siapa. "Jangan-jangan ini pekerjaan bocah konyol Naga Kuning atau si kakek geblek Setan Ngompol. Awas mereka berdua. Akan kubalas nanti!"
Wiro lalu memasukkan tubuh dan kepalanya ke dalam air telaga yang sejuk itu. Sesaat kemudian kepala disusul tubuhnya mencuat kembali di permukaan air telaga. Justru saat itu sebuah jambu muda berwarna hijau kembali melayang di atas telaga lalu mendarat di kepalanya!
"Sialan! Naga Kuning! Setan Ngompol! Awas kalian berdua! Jangan berani kurang ajar menimpuk mempermainkanku!"
Dari balik sebuah pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat tiba-tiba terdengar suara tertawa haha-hihi.
Pendekar 212 kerenyitkan kening dan menggaruk kepalanya yang basah. "Itu bukan suara Naga Kuning atau Setan Ngompol..." kata Wiro dalam hati. Kalau tadi dia merasa jengkel dan marah kini perasaannya jadi tidak enak. Dengan cepat dia melangkah dalam air, menyisi tepian telaga ke tempat dia meninggalkan pakaiannya yaitu di celah kering antara dua batu besar. Sebelum mengenakan pakaian, lebih dulu dia memeriksa Kapak Naga Geni 212, batu sakti warna hitam pasangan kapak mustika itu dan sebuah tongkat batu memancarkan cahaya biru redup. Tongkat ini didapatnya dari Luhjelita beberapa waktu yang lalu. Tiga benda itu masih berada dalam lipatan baju dan celana putihnya. Wiro dengan cepat mengenakan pakaiannya kembali. Baru saja dia selesai mengikatkan tali celananya tiba-tiba, pluk! Kembali sebutir jambu hijau mendarat di kepalanya lalu seperti tadi dari balik pohon besar terdengar suara tawa cekikikan.
Wiro ikat tali celananya kencang-kencang. Rahangnya menggembung dan matanya memandang menyorot ke arah pohon besar. Dengan membungkuk-bungkuk dia menyusup mendekati pohon itu. Sesaat kemudian, sekali lompat dia sudah berada di balik pohon. Di situ dia tidak menemukan siapa-siapa. Tapi di tanah dia melihat hampir selusin jambu muda bertebaran. Beberapa di antaranya ada bekas gigitan.
"Kurang ajar... Kabur mereka! Siapa makhluk-makhluk kurang ajar itu adanya!" Wiro memaki dalam hati lalu membungkuk mengambil sebuah jambu hijau yang paling besar. Jambu itu ditimang-timangnya sesaat. Setelah dibersihkannya dengan bajunya lalu dimakannya. "Hemm...Enak juga," berucap Pendekar 212 dalam hati sambil menyeringai. Namun seringai murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini serta merta lenyap begitu pluk... pluk...pluk... Dari atas pohon berjatuhan jambu-jambu hijau menimpa kepalanya! Menyusul terdengar suara tawa cekikikan.
"Benar-benar kurang ajar!" Wiro mendongak ke atas sambil tangan kanannya siap untuk menghantamkan.
Namun di atas pohon dia tidak melihat manusia atau binatang. Walau begitu matanya yang tajam bisa melihat dedaunan pada dua cabang besar bergerak-gerak. Wiro memperhatikan tak berkedip. Tangan kirinya menggaruk kepala. "Tadi pasti ada orang di atas pohon itu. Binatang pasti tidak bisa ketawa cekikikan. Dari suara tawanya agaknya lebih dari satu orang. Mereka memiliki kepandaian bergerak sangat cepat. Aku tidak dapat melihat sosok mereka padahal suara tawa mereka masih menggema."
Sepasang mata Wiro melirik tajam seputar tempatnya berdiri. Beberapa langkah dari pohon besar dari atas mana tadi berjatuhan buah-buah jambu yang menimpa kepalanya, ada lagi sebuah pohon yang batangnya sebesar pemelukan lengan. Wiro tersenyum. "Makhluk-makhluk yang menyambiti kepalaku itu pasti pindah melompat ke atas pohon sana! Kini giliranku mengerjai mereka!"
Pendekar 212 dekati pohon itu lalu lingkarkan dua lengannya merangkul batang pohon sambil mengerahkan tenaga dalam. Dengan mengandalkan hawa sakti itu Pendekar 212 mulai menggoyang batang pohon. Mulamula perlahan. Pohon bergeletar mulai dari akar sampai ke puncaknya.
"Hik... hik! Aih nyamannya..." Di atas pohon berdaun rimbun itu terdengar suara orang.
"Aku juga enak. Aku bahagia..." Ada satu suara lain menyahuti.
Wiro kerahkan tenaga dalam lebih besar. Kini dia menggoncang lebih keras. Cabang-cabang pohon sampai ke ranting-ranting bergoyang kencang, keluarkan suara berderik-derik. Dedaunan bergeletar seperti ditiup angin. Suara orang tertawa di atas pohon serta merta lenyap.
"Wahai! Mengapa mendadak jadi kencang begini? Tak sedap nian rasanya?"
"Getarannya membuat aku seperti mau kencing! Hik...hik... hik! Saudaraku, baiknya kita tinggalkan pohon ini!"
"Tunggu, jambuku sudah habis. Kau masih punya? Pemuda gondrong itu agaknya suka jambu hijau itu. Aku dengar tadi dia mengatakan jambu itu enak. Hik... hik...hik!"
"Jambuku juga sudah habis! Wahai, getaran pohon ini semakin keras. Ayo kita pergi saja!"
Di bawah pohon Wiro memandang ke atas. "Sial!" Dia menggerendeng. "Ranting dan daun pohon ini rapat sekali! Aku tidak dapat melihat orang-orang di atas sana! Mereka pasti sudah kabur lagi!" Wiro lepaskan rangkulannya pada batang di bawah pohon. Lalu memutar tubuh, maksudnya hendak duduk bersandar di bawah pohon itu. Namun begitu berputar mendadak sontak dia jadi tersentak kaget. Matanya membeliak dan mulut ternganga. Di hadapannya berdiri dua orang gadis cantik, yang wajah serta potongan tubuh seperti pinang dibelah dua, mirip sekali satu dengan lainnya. Dua gadis ini mengenakan pakaian dari kulit kayu yang sangat halus hingga menyerupai kain biasa, berwarna putih keabu-abuan dan agak berkilat. Rambut mereka yang tergerai panjang sampai ke pinggang berwarna kepirangpirangan. Ketika tersenyum kelihatan barisan gigi-gigi mereka yang putih berkilat dan rata.
"Dua gadis cantik berpakaian serba putih di dalam rimba belantara. Sekian lama berada di Negeri Latanahsilam ini, baru sekali ini aku bertemu sepasang dara kembar. Apa mereka makhluk hidup sungguhan, bangsa peri atau, jangan-jangan..." Pendekar 212 memandang ke bawah, memperhatikan sepasang kaki gadis itu.
"Hik... hik..." Gadis di sebelah kanan tertawa. "Lihat," katanya pada gadis di sebelahnya. "Dia memperhatikan kaki kita. Hik... hik! Di negerinya makhluk halus memang tidak menginjak tanah. Rupanya dia hendak menyamakan di sana dengan di sini..."
"Kalian siapa...?" bertanya Pendekar 212. Walau dia senang bertemu dengan dua dara cantik jelita itu namun hatinya mendua karena menduga jangan-jangan mereka adalah hantu penghuni rimba belantara itu.
"Kami dua gadis bahagia!" menjawab dara di sebelah kiri.
"Aku tidak mengerti," kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.
"Biar aku menerangkan," ujar gadis di sebelah kiri.
"Hidup di muka bumi ini hanya sementara. Mengapa harus berbuat sia-sia? Setiap makhluk hidup harus berbuat dan merasa bahagia! Kebahagiaan membuat hati senang, dada lapang. Langit akan tampak cerah, sang surya tampak gagah dan rembulan berseri indah. Kebahagiaan menghindarkan segala macam penyakit, membuat makhluk berumur panjang, tak ada musuh tetapi justru banyak sahabat..."
Wiro tambah keras menggaruk kepalanya. "Aku setuju dengan semua ucapan kalian. Tapi kalian ini siapa sebenarnya?"
"Kami orang-orang di atas pohon yang tadi kau goncang-goncang!" jawab gadis di samping kanan sambil tidak putus-putusnya tersenyum.
"Yang tadi berlaku kurang ajar melempari kepalaku dengan jambu hijau?!" tanya Pendekar 212.
Dua gadis itu tertawa gelak-gelak. "Itulah salah satu kebahagiaan hidup!"
"Melempar orang kau bilang kebahagiaan hidup?!" ujar Wiro dengan mata dibesarkan.
"Betul, karena kami melakukan bukan dengan hati jahat! Tapi niat mencari kebahagiaan semata. Buktinya kami berdua bisa tertawa-tawa. Dan kau sendiri setelah tahu siapa yang melempar pasti juga merasa bahagia! Hik... hik... hik!"
Pendekar 212 menyeringai. Sesaat kemudian dia ikutikutan tertawa malah lebih keras dari tawa dua gadis itu.
"Wahai, rupanya kebahagiaan telah menjadi bagianmu pula! Kami bahagia melihat kau bisa tertawa!"
Mendengar kata-kata si gadis Wiro hentikan tawanya.
"Jangan-jangan dua gadis ini miring otaknya," pikir Wiro.
Lalu dia berkata. "Jadi kalian rupanya kesasar di rimba belantara ini karena mencari kebahagiaan!"
Dua gadis kembali tersenyum. Yang di samping kanan menjawab. "Kami tidak kesasar. Kami tengah melakukan perjalanan bersenang-senang, mencari dirimu!"
"Mencari diriku? Sekarang sudah bertemu. Apa yang hendak kalian lakukan?"
"Membuat dirimu bahagia!"
"Caranya?" tanya Pendekar 212 sambil dalam hati bertanya-tanya apa sebenarnya niat dua gadis tak dikenal dan kelihatan genit meriah ini.
"Caranya yaitu membebaskan dirimu dari satu beban yang sebenarnya tak perlu terjadi..."
"Beban? Beban apa? Aku tidak merasa punya beban," kata Wiro pula.
Dua gadis itu tersenyum manis. Yang satu bertanya.
"Apa benar kau orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang?"
Wiro mengangguk.
"Wahai, perbedaan waktu antara negeri ini dengan negeri asalmu saja sudah merupakan beban bagi dirimu. Lalu rangkaian kejadian yang kau alami di negeri Latanahsilam ini, apakah itu bukan merupakan beban? Bukan cuma satu, tapi banyak. Apakah kau tidak sadar?"
Wiro garuk-garuk kepala. "Mungkin ucapanmu benar. Tapi harap kau suka memberi tahu siapa kau dan temanmu ini adanya. Kulihat wajah kalian sangat mirip satu sama lain. Harap kau juga mau memberi tahu mengapa kalian mencariku."
"Pertanyaan pertama biar aku yang menjawab," kata gadis di sebelah kanan. "Kami adalah dua gadis kembar.
Aku yang tua bernama Luhkemboja dan adikku ini bernama Luhkenanga. Kami biasa dipanggil dengan sebutan Sepasang Gadis Bahagia."
"Kemboja dan Kenanga... Itu dua bunga yang ada sangkut pautnya dengan kematian. Bunga kemboja banyak tumbuh di pekuburan. Bunga kenanga bunga taburan di atas makam orang yang sudah mati..." Rasa tidak enak kembali menyelubungi Pendekar 212 walau dua gadis cantik di hadapannya selalu bicara dan memandang padanya dengan senyum.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. Langsung saja dia ajukan pertanyaan sambil menatap tajam pada dua gadis di hadapannya itu. "Kalian mengaku dijuluki sebagai Sepasang Gadis Bahagia. Apakah kalian punya sangkut paut dengan Istana Kebahagiaan, sarangnya Hantu Muka Dua, makhluk yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu itu?"
Mendengar kata-kata Wiro itu dua gadis cantik tertawa panjang. Wiro bertambah curiga.
***
YOU ARE READING
Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian Tito
General FictionWiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...