Wiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SATU
NENEK sakti Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng terkencing-kencing serabutan begitu melayang jatuh memasuki alam delapan ratus tahun silam Bhumi Mataram di kawasan selatan kaki Gunung Merapi.
Tubuh kurus kering si nenek terguling-guling di tanah lalu tertumbuk dan tersandar di sebatang pohon mahoni. Dua kaki masih mengepit kuda lumping yang tadi ditunggangi sewaktu melesat dari dalam hutan di dekat Candi Prambanan.
"Oala! Bagaimana bisa kejadian begini rupa?!" Si nenek berucap setengah berseru lalu semburkan air kunyahan susur yang ada di dalam mulut. Dia memandang berkeliling. "Aku di mana? Apa aku sudah berada di Mataram Kuna, kerajaan delapan ratus tahun silam?"
Perlahan-lahan si nenek bangkit berdiri. Kuda lumping dikepit di ketiak kiri, tangan kanan rapikan empat tusuk konde perak yang menancap di kepalanya.
Bukannya ingin mencari tahu di mana keberadaan Wiro dan anak perempuan bernama Ni Gatri, si nenek malah terus bertanya-tanya dalam hati. "Apakah aku akan bertemu lagi dengan kakek gagah bersorban dan berjubah kelabu yang menyusup ke dalam tubuh Ni Gatri sewaktu berada di rumah Abdi Dalem Pringkun? Ah, mengapa aku begitu tertarik padanya? Padahal apakah dia tertarik pada diriku yang jelek rongsokan ini?"
Membayangkan wajah kakek dari alam gaib itu si nenek senyum-senyum sendiri (Baca "Empat Mayat Aneh"). Namun wajahnya yang hanya dilapis kulit tipis keriput mendadak berubah redup.
"Kalau aku sampai bertemu dia dalam keadaan diriku tak karuan seperti ini, dekil dan bau pesing, tobat biyung! Betapa memalukan! Aku harus mencari pakaian pengganti, bersolek sedikit dan yang paling penting mendapatkan pewangi pengharum tubuh. Agaknya aku harus mencari pasar lalu mencuri barang dagangan orang. Hik... hik... hik!" Sinto Gendeng tertawa cekikikan lalu membatin lagi.
"Mungkin juga kakek gagah itu tidak suka dan jijik melihat aku mengunyah susur. Biar aku buang saja!"
Si nenek lalu semburkan susur yang ada di dalam mulut hingga amblas masuk ke dalam batang pohon. Lalu dia kembali merenung. "Aku ingat orang bernama Swara Pancala itu. Apa benar yang dikatakannya kalau kakek gagah melihat diriku dalam ujud seorang gadis cantik hitam manis. Sebagaimana keadaan wajah dan tubuhku di masa muda...? Dan bahwa dia akan minta kakek gagah itu menggantikan tusuk kondeku yang hancur? Ah, rasanya tidak diganti pun aku tidak kecewa. Yang penting syukursyukur aku bisa bertemu dengan dia dan... Hik... hik... hik!" Sinto Gendeng lantas ingat pula sewaktu Wiro menggodanya. Yaitu mengapa dia tidak minta dipeluk dan dicium oleh kakek gagah yang terlihat di dalam diri Ni Gatri itu. Si nenek tersipu, usap-usap dagunya yang runcing.
Sebagaimana diceritakan dalam serial sebelumnya (Roh Jemputan) sesuai petunjuk kakek jubah kelabu makhluk alam gaib dari zaman Mataram Kuna delapan ratus tahun silam yang masuk ke dalam tubuh Ni Gatri dan bicara lewat anak perempuan itu, pada menjelang tengah malam Mayat Keempat benar-benar muncul mengejutkan Wiro, Ni Gatri dan Sinto Gendeng yang memang telah menunggu di dalam rimba belantara tak jauh dari Candi Prambanan. Tentu saja mereka tidak pernah menyangka yang bakal datang adalah makhluk dengan ujud begitu rupa dan mengaku bernama Mayat Aneh Keempat!