Wiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SATU
Lereng gunung Merbabu di stu malam buta tanpa bulan tanpa bintang. Udara dingin bukan kepalang. Kegelapan menghitam di mana-mana. Di beberapa tempat behkan sulit ditembus pandangan mata. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing. Ketika angin malam bertiup segala sesuatunya laksana membeku dalam dingin yang luar biasa.
Sekali terdengar lolongan anjing di kejauhan. Tiba-tiba di selatan lereng gunung kelihatan ada yala api bergerak cepat sekali menuju ke timur. Bersamaan dengan itu terdengar suara menderu tak berkeputusan seperti ada sesuatu yang menggerus menjalar perut gunung.
Dalam kegelapan yang kini mendapat cahaya terang dari nyala api ternyata ada empat sosok tinggi besar bergerak menuju ke timur. Sosok pertama adalah seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Baujnya tidak berkancing. Dadanya kelihatan penuh ditumbuhi bulu lebat. Bulu ini juga tampak di sepanjang kedua lengan dan kakinya. Tampangnya yang sangar dan buas hampir tertutup oleh rambut gondrong awut-awutan, kumis lebat riap-riapan menjuntai bibir serta brewok cambang bawuk yang meranggas liar. Sepasang matanya kelihatan merah dan berkilat-kilat oleh nyala api. Sebenarnya orang ini belum mencapai usia empat puluhan namun keadaan dirinya yang seperti itu membuat dia seperti sudah berumur hampir setengah abad.
Ada beberapa keanehan yang membuat orang bergidik pada manusia satu ini, yang berlari di sebelah depan. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh perempuan yang sudah tidak bernafas lagi alias sudah jadi mayat sejak dua minggu lalu. Mayat ini tidak sampai rusak atau membusuk karena sebelumnya telah disiram dengan sejsnis obat pengawet. Mayat yang didukung dan dibawanya berlari itu adalah mayat seorang perempuan muda berwajah cantik. Namun sepasang matanya yang membeliak menghapus kecantikannya dan kini kelihatan sangat menyeramkan denga rambut panjang riap-riapan. Apalagi pada lehernya terlihat sebuah luka dalam melintang.
Lelaki tinggi besar ini ternyata buntung kaki kirinya. Kaki yang buntung itu disambung dengan sebatang besi. Pada batangan besi sebelah bawah terdapat sebuah roda bergerigi. Dengan roda gerigi inilah dia meluncur di sepanjang lereng gunung dalam kecepatan sungguh luar biasa hingga tiga orang di belakangnya sering-sering tertinggal jauh.
Dalam pelukan tangan kanannya orang berpakaian serba hitam ini membawa sebuah guci yang bagian luarnya berukir wajah-wajah setan seram, berselang seling dengan gambar tengkorak manusia. Dari dalam guci keluar kepulan asap putih serta lidah api. Nyala api inilah yang terlihat di kejauhan, menerangi tempat-tempat yang dilalui dan terutama sekali menerangi tampang seram orang itu.
Di sebelah belakang lelaki yang memanggul mayat perempuan dan membawa guci berapi berlari cepat tiga orang berpakaian serba merah. Tampang masing-masing tak kalah seram dan buas. Yang satu memiliki wajah berwarna hitam. Satunya lagi bertampang hijau sedang yang ketiga bermuka biru gelap. Masing-masing mereka memanggul sebuah pikulan di bahu kanan. Pada ujung pikulan di atas bahu tergantung sebuah keranjang yang terbuat dari rotan.
"Ramada!" seru salah satu dari ketiga lelaki yang berlari di belakang dan berwajah hitam pada orang yang membawa mayat dan guci. "Kita sudah berlari serasa seabad. Kuharap saja kita tidak pergi kea rah yang salah!"
"Betul sekali Ramada!" ikut membuka mulut lelkai bermuka hijau. "Kalau sampai tersesat di gunung ini celakalah kita!"
"Tenggorokanku sudah kering! Nafasku seperti mau keluar dari ubun-ubun.
Apakah kita tidak bisa berhenti barang sebentar?!" berkata lelaki berpakain merah ketiga yaitu yang mukanya berwana biru gelap.
Sepertinya orang yang di sebelah depan tidak akan menjawab. Namun sesaat kemudian terdengar suaranya keras dan membuat tiga orang di belakangnya menjadi terdiam kecut.
"Kalian bertiga kurcaci-kurcaci tolol! Dengar baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku Ramada tidak akan tersessat di gunung ini. Aku tahu setiap sudut gunung merbabu ini seperti aku mengenali kedua telapak tanganku! Siapa di antara kalian yang merasa haus atau lapar, minum saja air kencingmu sambil berlari. Makan kotoranmu sambil berlari!"
Tiga lelaki berpakai merah jadi terbungkam kecut.
"Aku ingin mendengar jawaban kalian!" Orang bernama Ramada berteriak.
"Maafkan kami Ramada!" kata ketiga orang itu berbarengan.
Ramada meludah ke tanah. Dia terus meluncur di atas roda besinya. Tiga orang anak buahnya itu mengikuti tanpa ada yang berani lagi membuka mulut.
Berlari sekitar sepenanakan nasi di sebelah depan kelihatan kedip-kedip nyala api kecil. Ramada segera melihat nyala api itu. Begitu juga tiga orang di belakangnya.
Mereka berlari lebih kencang menuju nyala api itu. Ketika didekati ternyata adalah nyala sebuah obor kecil yang berkalp kelip pertanda minyaknya hampir habis. Obor ini tergantung pada sebuah tiang besi sebuah bangunan beratap seng yang sekelilingnya dibatasi dengan pagar besi setinggi tubuh manusia dan pintunya digembok sampai tiga buah. Di bawah atap seng itu berjnutai banyak sekali sarang labah-labah. Ada enam ekor labah-labah besar kelihtan mendekam dalam dinginya udara malam.
Sebuah makam terbuat dari batu tampak menghitam angker dalam bangunan beratap seng itu. Di atas makam ada taburan bunga yang sudah layu. Di samping kiri makam di atas sebuah batu rendah panjang tampak duduk bersila seorang lelaki berjanggut dan berkumis putih. Wajahnya yang tertunduk tidak begitu jelas terlihat.
Blangkon dan pakaian hitam yang dikenakannya sudah tua dan lusuh. Orang ini duduk bersila memejamkan mata. Kedua tangan ditumpangkan di atas bahu. Kalau dia tengah bersemedi maka ini adalah cara bersemedi yang aneh.
Ramada menggerakkan kepalanya hingga keringat yang membasahi tambutnya berlesatan ke udara. Dia berpaling pada tiga orang di belakangnya.
"Kita tidak salah datang ke tempat tujuan. Ini pastilah makam Pangeran Banowo dan orang yang bersemedi itu pasti kuncen penjaga makam. Namanya Ki Ageng Lentut."
Tiga orang lelaki berpakaian merah hanya menganggukkan kepala. Sejak dibentak tadi meraka belum berani membuka mulut lagi. Takur salah berucap.
Ramada maju mendekati pintu besi yang digembok tiga. Dia mendehem keras keras lalu berkata dengan suara keras.
"Ki Ageng Lentut, salam bagimu. Salam juga bagi penghuni makam. Sesuai petunjuk aku datang untuk meminta penjelasan atas beberapa hal yang tidak aku ketahui!"
Orang yang duduk di samping makam tidak bergerak. Kepalanya masih tertunduk dan tangannya masih terletak di atas bahu.
Ramada menunggu sebentar. Ketika tak kunjung ada gerakan atau jawaban dari orang di samping makam maka diapun berteriak lebih keras, mengulang ucapannya tadi.
Tapi orang di samping makam tetap saja tidak bergerak dan tidak memberikan jawaban.
Ramada mulai jengkel. "Sialan! Tidur lelap atau mungkin tuli dia agaknya!"
Dia berpaling pada salah seorang anak buahnya dan berkata "Jalak Item. Amil batu itu dan lemparkan pada si kuncen. Arah kepalanya biar dia tahu rasa!"
Orang yang bernama Jalak Item yang mukanya memang berwarna hitam sesaat tampak bimbang. "Ramada...." Katanya setengah berbisik, "aku kawatir kita berlaku kurang ajar dan menyalahi aturan. Kuncen itu...."
"Setan! Kataku ambil batu di dekat kakimu itu dan lempar kuncen penjaga kuburan itu!" bentak Ramada.
Jalak Item terpaksa membungkuk. Begitu menggenggam batu dia tidak segera melempar. Hatinya berdebar. Dia memandang pada kedua temannya Jalak Ijo dan Jalak Biru. Kedua orang ini hanya bisa dia tak berani memberi isyarat ataupun mengeluarkan ucapan.
"Jalak Item! Kau tunggu apa lagi!" bentak Ramada.
Jalak Item akhirnya garakkan tangannya yang memegang batu. Batu sebesar kepalan itu dilemparkannya kea rah kepala kuncen yang tengah bersemedi di samping makam. Jalak Ijo dan Jalak Biru menahan nafas sementara Ramada tampak menyeringai.
Sejengkal lagi batu besar itu akan menghantam kepala kuncen tiba-tiba secara aneh batu itu berbalik mencelat kencang kea rah Jalak Item.
"Jalak Item! Awas kepalamu!" teriak Jalak ijo.
Jalak Item cepat melompat mundur sambil menundukkan kepalanya. Tapi terlambat. Batu itu datangnya secepat setan berkelebat. Lalu menghantam mata kiri Jalak Item dengan telak.
Crrooootttt!
Batu besar menghancurkan mata kiri Jalak Item. Darah dan hancuran mata muncrat keluar. Jeritan Jalak Item setinggi langit. Dia jatuh terduduk di tanah dan berguling-guling beberapa kali. Ramada cepta mendatangi. Dia menotok salah satu bagian leher anak buahnya itu. Rasa sakit serta merta lenyap tapi darah masih terus mengucur dari matanya yang hancur, menutupi sebagian muka Jalak Item hingga tampak mengerikan.
Dari arah makam tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh.. Disusul suara orang menegur.
"Tamu-tamuku yang terhormat, apakah kalian mendapatkan kesulitan?
Mungkin aku isa membantu?!"
Jalak Ijo dan Jalak Biru melengak. Jalak Item cepat duduk sambil mendekap mata kirinya sementara tangan kanannya menjangkau pikulannya.
Ramada memalingkan kep[ala kea rah makam. Kuncen berkumis dan berjanggut putih itu dilihatnya masih seperti tadi. Duduk tak bergerak dengan kepala tertunduk.
"Hemmm.... Kalau bukan dia tadi yang bicara siapa lagi?" kata Ramada dalam hati. "Jika saja aku tidak sangat membutuhkan dirinya akan kulumat sekujur tubuhnya anjing keparat ini saat ini juga!" Setelah memaki begitu Ramada keluarkan tawa panjang lalu berkata.
"Ki Ageng Lentut, ternyata nama besarmu bukan hisapan jempol belaka!"
"Tamu-tamu yang datang dari jauh, mengapa tidak masuk ke sini!" Kuncen dekat makam berkata. Kepalanya terangkat sedikit. "Cepatlah masuk. Aku tidak akan menerima tamu pada saat obor di tiang timur habis minyaknya dan padam!"
"Terima kasih. Kami berempat akan segera masuk. Tapi bagaimana ini. Pintu pagar makam terkunci. Ada tiga gembok besar menghalangi. Apakah harus kuremukkan dulu dengan tangan kosong?!" ujar Ramada.