151. Sang Pembunuh

6.9K 97 8
                                        

SATU

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SATU

DI UFUK barat cahaya sang surya mulai memudar. Warnanya yang putih benderang perlahan-lahan berubah kuning kemerahan pertanda tak selang berapa lama lagi akan memasuki titik tenggelam. 

Cahaya kuning ini menyaput sebuah bukit batu di selatan Losari yang puncaknya berbentuk aneh yaitu merupakan dua buah dinding tinggi pipih dan saling terpisah hanya sejarak satu jari. Jika angin bertiup melewati celah maka akan terdengar suara seperti tiupan seruling.

Penduduk desa sekitar kaki bukit menganggap bukit itu angker. Boleh dikatakan tak ada seorangpun yang berani menginjakkan kaki di sekitar kaki bukit dan mereka memberi nama bukit itu Bukit Batu Bersuling.

Pada petang menjelang senja itu empat orang kelihatan berkelebat dari arah timur. Gerakan mereka luar biasa cepat dan nyaris tanpa suara. Pertanda mereka adalah orang-orang rimba persilatan berkepandaian tinggi. Di depan sekali Rayi Jantra, bertindak sebagai penunjuk jalan. Lelaki muda yang masih menjabat Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini berkat pengobatan yang diberikan Purnama, dalam waktu dua hari mengalami kesembuhan dari cidera yang dialaminya.

Di belakang Rayi Jantra berlari kakek berkepala botak plontos berpakaian compang-camping, menggantung empat buah batok kelapa di leher. Kakek ini adalah Pengemis Empat Mata Angin yang telah menyelamatkan Rayi Jantra ketika dibuang di jurang oleh orang-orang Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.

Sambil berlari sebentar-sebentar si kakek menoleh ke belakang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Hai gondrong! Kapan kau akan memperbaiki letak anuku..." Si kakek bertanya.

"Sssshhh. Sepanjang jalan kau mungkin sudah bertanya seratus kali! Tenang saja Kek...." jawab Wiro.

"Siapa bisa tenang! Kalau aku kencing mancurnya ke atas, bukan ke bawah!" Pengemis Empat Mata Angin meradang. Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya (Misteri Pedang Naga Merah) karena kejahilan Pengemis Empat Mata Angin, dengan mempergunakan Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad yang didapatnya dari Luhkentut yaitu seorang nenek sakti di negeri Latanahsilam, Wiro mempermainkan si kakek dengan cara menanggalkan anggota rahasianya. Ketika dipasang kembali Wiro sengaja memasang terbalik. Ini yang membuat Pengemis Empat Mata Angin menjadi khawatir uring-uringan dan terus-terusan mendesak bertanya.

"Kek, kita tengah menghadapi urusan besar. Nanti kalau sudah beres pasti anumu itu aku perbaiki letaknya!" Pengemis Empat Mata Angin hanya bisa menggerutu panjang pendek mendengar ucapan Wiro. Orang ke empat dalam rombongan adalah Purnama, gadis jelita dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.

Dia berlari di samping Wiro dan senyum-senyum melihat Pengemis Empat Mata Angin yang berlari sambil mengomel. "Aku mendengar suara tiupan suling..." Wiro keluarkan ucapan.

"Kita hampir sampai," menyahuti Rayi Jantra. Dia menunjuk ke arah utara. Di kejauhan di atas pepohonan rimba belantara tampak tersembul menjulang Bukit Batu Bersuling. "Jika angin bertiup melewati celah dua lamping bukit akan mengeluarkan suara seperti suara seruling." Menerangkan Rayi Jantra. Lalu dia menyambung ucapannya. "Di sekitar sini biasanya banyak berkeliaran para pengawal Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Hati-hati, setiap saat serangan bisa muncul membawa maut."

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoWhere stories live. Discover now