Wiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SATU
PUNCAK Bukit Batu Hangus, dini hari menjelang pagi. Udara dingin luar biasa karena hujan lebat baru saja berhenti. Tiupan angin seperti sembilu menyayat jangat, menusuk tulang sumsum.
Dalam cuaca yang masih gelap kelihatan jelas delapan benda bersinar mengapung di udara, mengelilingi puncak bukit. Itulah delapan jimat yang dilemparkan Eyang Dukun Umbut Watukura bersama Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata, Soka Kandawa Tabib Sepuluh Jari Dewa, Klingkit Kuning dan empat tokoh silat Istana berkepandaian tinggi lainnya.
Di puncak bukit, dt atas batu datar berwarna hitam gosong, Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Uskapala duduk tak bergerak tengah melakukan tapa. Mata terpejam, dua tangan disilang di atas dada. Tubuh yang dipalut hawa sakti panas pelindung raga mengeluarkan asap ketika bersentuhan dengan udara dingin. Delapan jimat melindungi dirinya dari segala kemungkinan datangnya marabahaya. Perlahan-lahan tubuh itu tampak memancarkan cahaya lalu mulai bergetar. Pertanda ada bahaya mengancam!
Tiba-tiba wutt!
Delapan larik cahaya merah entah dari mana datangnya secara bersamaan menyambar ke arah puncak Bukit Batu Hangus, tepat di jurusan beradanya sang Maharaja Mataram yang tengah duduk bertapa memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa, agar dapat menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram.
Delapan jimat melesat menghadang sambaran delapan cahaya merah. Delapan letusan keras disertai pijaran nyala api menggelegar di udara malam. Seantero kawasan Bukit Batu Hangus bergoncang hebat. Di lereng bukit terdengar jerit perempuan dan pekik tangis anak-anak. Orang-orang lelaki berseru tegang dan berulangkali menyebut nama Yang Maha Kuasa.
Sosok Raja Mataram tersungkur ke depan, seperti sujud tak bergerak di atas batu yang didudukinya. Mahkota emas bertabur batu permata yang ada di atas kepala terlepas tanggal, jatuh berguling ke lereng bukit. Rambut yang tadi disanggul kini terlepas menutupi wajah. Dalam keadaan seperti itu hebatnya Raja Mataram ini masih meneruskan tapa, seolah tidak melihat, tidak mendengar letusan dahsyat, tidak merasakan satu bahaya maut hampir melumat dirinya. Delapan jimat para tokoh sakti hancur bertaburan sementara delapan cahaya merah sesaat masih menggantung di udara lalu memudar dan akhirnya lenyap tak berbekas.
Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara binatang meraung membuat bulu roma merinding. Mungkin anjing liar mungkin juga srigala rimba belantara yang kelaparan, atau mungkin pula mahluk halus yang tengah berkeliaran dan terpesat di sekitar kawasan Bukit Batu Hangus.
Tepat ketika fajar menyingsing dan langit di ufuk timur mulai terang dan ada cahaya sang surya menyentuh tubuhnya, perlahanlahan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala buka kedua matanya. Tubuh yang bersujud di atas batu hitam bergerak dan duduk lurus. Mata memandang jauh ke selatan, ke arah Kotaraja. Apa yang dilihat membuat air muka Sri Maharaja berubah.
"Dewa Jagat Bathara... Rata... Bhumi Mataram nyaris rata dengan tanah. Genangan air merah di mana-mana. Bau busuk, mayat manusia... bangkai binatang. Kerajaan... rakyatku... keluargaku..."