Wiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...
اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.
SATU
SEORANG bertubuh tinggi besar berkelebat dalam gelapnya malam menuju lereng timur Gunung Singgalang. Di bahu kiri dia memanggul sesosok tubuh kurus bersimbah darah mulai dari kepala sampai ke badan. Di sebelah belakang dua orang berlari cepat mengikuti si tinggi besar.
Di satu pedataran sempit di timur gunung, orang di sebelah depan hentikan larinya. Lalu seperti melemparkan batangan kayu tidak berguna orang ini bantingkan sosok tubuh yang dipanggulnya ke tanah. Dari mulutnya kemudian keluar seruan. "Sabai! Kami datang!"
Belum habis gema seruan orang bertubuh tinggi ini tiba-tiba dari arah depan di mana terdapat sebuah goa batu melesat satu bayangan hitam putih! Yang hitam adalah pakaiannya yang berbentuk jubah dalam, seorang yang putih adalah rambutnya yang sepanjang pinggang. Berdiri di hadapan tiga orang yang bare datang di tempat itu, ternyata adalah seorang nenek bermuka putih. Walau wajahnya sudah keriput namun masih kentara tanda-tanda bahwa di masa mudanya perempuan tua ini adalah seorang gadis cantik jelita. Karenanya tidak salah orang menyebutnya Sabai Nan Rancak yang berarti Sabai Yang Cantik.
Si nenek pandangi tiga orang lelaki di hadapannya seolah hendak menelan mereka. Tanpa memandang pada sosok tubuh yang melingkar di tanah tak jauh dari tempatnya berdiri si nenek bertanya.
"Kalian berhasil?"
"Apakah kami masih perlu menerangkan Sabai?" tanya letaki tinggi besar berusia lebih dari setengah abad. "Kau lihat sendiri apa yang barusan aku lemparkan ke tanah!"
"Hemmm.... Begitu...?" Si nenek elus-elus rambutnya yang putih panjang. Dia melirik pada sosok tubuh kurus berpakaian putih bersimbah darah yang tergeletak enam langkah di samping kirinya. Lalu dia menyeringai.
"Kau tidak mempercayai kami?" Lelaki di sebelah kanan si tinggi besar ikut bicara. Orang ini bertubuh cebol memiliki cambang bawuk begitu tebat hingga dari wajahnya yang terlihat hanya ujung hidung, sepasang mata dan sedikit bagian keningnya.
"Dari bau anyir darahnya saja aku tahu kalau mayat yang menggeletak di depan situ memang bukan orangnya!"
"Sabai..." lelaki ketiga, yang paling muda di antara tiga orang yang barusan datang itu maju dua tangkah ke arah mayat. "Malam begini gelap, muka mayat tertutup darah. Agaknya sulit bagimu untuk mengenalinya...."
Si nenek tertawa. Dia pandangi lagi tiga orang di depannya seperti tadi seolah mau menelan mereka butat-bulat.
"Katian bertiga hendak mendustaiku atau bagaimana?" Si nenek bertanya. Suaranya perlahan saja tapi mengandung ancaman.
"Sabai! Kau tahu kami siapa! Setelah menerima hadiah darimu masakan kami berani menipu? Kau kira siapa yang kami bunuh? Kau sangka mayat siapa yang kami bawa ke hadapanmu?" Berkata si tinggi besar.
"Bagus kalau kalian memang tidak punya maksud begitu!" Si nenek lalu berpaling pada telaki bertubuh cebol. "Alam Babegah! Coba kau bersihkan muka mayat dari noda darah yang menutupinya!"
Si cebol memandang pada kawannya si tinggi besar. Setelah orang ini mengangguk si cebol mendekati mayat yang tergeletak di tanah. Dengan telapak kaki kirinya dibersihkannya muka mayat yang penuh luka dari selubung darah.
"Sudah aku lakukan Sabai! Nah apa sekarang kau mengenali dan memastikan bahwa dia memang orang yang kau suruh bunuh?" ujar si cebol Alam Babegah.
Nenek berambut putih panjang itu pandangi wajah mayat. "Mata cekung dan lebar memang sama dengan matanya. Hidung seperti burung kakak tua juga sama dengan si keparat itu. Muka tak berdaging seperti tengkorak juga sama. Mmmm...."
"Bagaimana Sabai?" bertanya lelaki tinggi besar. "Sudah jelas bagimu sekarang bahwa itu adalah mayat Tua Gila? Tidak sia-sia kami melakukan permintaanmu sampai-sampai dua sahabat kami menemui ajal dalam melaksanakannya!"
Si nenek rambut putih menyeringai.
"Tampang boleh sama tapi belum tentu dia orangnya!" Sabai Nan Rancak patahkan sebatang ranting kering lalu dekati mayat yang terkapar di tanah itu. Dengan ujung ranting ditorehnya punggung pakaian mayat sebelah kiri. Lalu dia memperhatikan dengan mata tak berkesip! Sesaat kemudian terdengar suaranya keras dan marah.
"Kalian benar-benar telah menipuku! Bangsat ini bukan orang yang kumaksud! Tua Gila punya tanda sebuah tahi lalat di punggung kirinya. Orang ini tidak punya tanda itu!"
Tiga orang di depan Sabai Nan Rancak jadi terkesiap. Si tinggi besar masih berusaha membela diri. "Setelah puluhan tahun berlalu bisa saja tahi lalat itu lenyap dengan sendirinya...."
"Traakkk!"
Sabai Nak Rancak hantamkan ranting kayu di tangan kanannya ke mulut orang yang bicara hingga ranting patah. Darah mengucur dari luka besar di bibir si tinggi besar.
"Marang Tongga! Aku tak suka pada orang yang banyak mulut pandai berdalih macammu! Aku sudah katakan orang ini bukan Tua Gila! Kau masih mau berbanyak mulut?"
Marang Tongga si tinggi besar dan dua kawannya yaitu si cebol Alam Babegah serta Sidi Kumango sesaat jadi terdiam. Lalu dengan suara merendah Marang Tongga berkata.
"Kalau memang kami telah kesalahan tangan, itu hanya satu kebetulan saja Sabai. Kami tidak ada niat buruk untuk menipumu...."
"Lalu?!"
"Kami akan turun gunung kembali dan mencari musuh besarmu itu sampai dapat. Lalu membawa mayatnya ke hadapanmu!"
"Tiga bulan lalu kau juga berkata begitu. Apa hasilnya?!"
"Sekali ini kami akan bekerja hati-hati, penuh selidik." Sabai Nan Rancak tertawa panjang membuat tiga lelaki di hadapannya jadi tidak enak.
"Kepercayaanku pada kalian putus sudah. Kalian boleh turun gunung. Aku tidak akan me-minta kalian untuk mengulangi mencari keparat itu. Marang Tongga, sebelum pergi harap kau kembalikan dulu kantong emas yang aku berikan tempo hari!"
"Tapi Sabai...."
Si nenek pelototkan matanya pada Marang Tongga. Air mukanya menjadi sangat menggidikkan. Kepalanya digelengkan beberapa kali. "Tidak ada tapi-tapian Marang. Lekas kembalikan emas itu!" Si nenek lalu ulurkan tangannya.
Sambil gigit-gigit bibirnya sebelah bawah tanda kesal Marang Tongga keluarkan satu kantong kecil dari balik pakaiannya. Kantong berisi emas ini dilemparkannya ke arah Sabai Nan Rancak. Si nenek cepat menyambutnya dan cepat pula berkata.
"Aku belum pikun. Seingatku dulu aku memberikan dua kantong emas padamu. Mengapa kau mengembalikan cuma satu?"
Marang Tongga menyeringai. "Sabai harap kau maklum. Tugas yang kau berikan pada kami bukan saja menghabiskan biaya, waktu tapi juga tenaga dan pikiran. Dua orang sahabat kami bahkan menemui ajal. Jadi aku rasa pantas kalau cuma satu kantong yang aku kembalikan padamu!"
Sepasang mata si nenek tampak memancarkan einar aneh. "Kita tidak pernah membuat perjanjian seperti itu! Bayaran kalian dua kantong emas kalau berhasil membunuh Tua Gila dan membawa mayatnya ke hadapanku! Yang kau bunuh ternyata bukan Tua Gila! Jelas perjanjian menjadi batal! Ayo, cepat serahkan padaku emas yang satu kantong!"
"Emas itu tidak ada lagi padaku. Aku tinggalkan di satu tempat!"
"Jangan berani dusta!" bentak Sabai Nan Rancak. Wajahnya yang putih merah membesi.
"Kalau tidak percaya silahkan geledah!" jawab Marang Tongga.
"Kalau begitu sekantong emas itu terpaksa kau ganti dengan nyawamu sendiri!" kata Sabai Nan Rancak pula. Lalu masih memegang ranting kayu di tangan kanan dia melangkah mendekati Marang Tongga.
Lelaki tinggi besar ini segera mencium bahaya. Maka dia cepat berkata. "Tunggu dulu Sabai! Apa yang hendak kau lakukan?!"
"Apa kau tuli? Tidak dapat kau kembalikan sekantong emas itu, berarti kematian bagimu!"
"Jangan begitu Sabai. Bagaimana kalau kita membuat perjanjian baru? Kami bertiga bersumpah akan mencari Tua Gila sampai dapat membunuhnya dan menyerahkan mayatnya padamu!"
"Janji dan sumpah hari ini tidak laku lagi Marang Tongga! Sekali aku bilang kau harus mati tak dapat ditawar-tawar lagi. Atau mungkin dua kawanmu itu bisa mewakili kematianmu?!"
Berubahlah paras si cebol Alam Babegah dan Sidi Kumango mendengar ucapan si nenek. Se-baliknya Marang Tongga menyeringai la!u berkata.
"Jika kau memang suka nyawa mereka silahkan ambil!"
"Marang Tongga! Kau sudah gila!" teriak Sidi Kumango.
"Dia yang memimpin! Dia yang bertanggung jawab! Dia yang harus kau bunuh!" menimpali
Alam Babegah. Si nenek tertawa panjang. "Daripada susah-susah menentukan siapa yang harus kubunuh ba-gusnya kalian bertiga aku habisi saja!"
Sabai Nan Rancak melesat ke depan. Ranting di tangan kanannya menyambar, berubah menjadi tebaran bayangan hitam mengeluarkan suara menderu. Tiga lelaki berseru kaget. Marang Tongga melihat ujung ranting menyambar ke arah keningnya. Cepat dia melompat mundur. Alam Babegah membuang diri ke samping begitu ujung ranting di tangan si nenek membabat ke perutnya. Yang terlambat menyelamatkan diri adalah Sidi Kumango. Ranting kayu menancap telak di batang lehernya sebelah kiri, tembus sampai ke kanan. Dari tenggorokannya terdengar suara seperti ayam dipotong. Ketika Sabai Nan Rancak menarik ranting, darah pun memancur dari lobang luka di leher Sidi Kumango! Tubuhnya terhuyung beberapa kali sebelum roboh dan meng-geletak di tanah tanpa nyawa lagi!
Si nenek tertawa mengekeh. "Kalian sudah tahu! Sabai Nan Rancak tidak bisa dibuat main-main! Sekarang rasakan sendiri akibatnya!" La!u sepasang mata perempuan tua ini melirik tajam pada Marang Tongga.
"Kalau kulawan tak ada gunanya! Aku masih ingin hidup!" membatin Marang Tongga. Sebelum si nenek kembali menyerbu dia segera berseru. "Sabai! Kita sudahi urusan sampai di sini! Kantong emas yang satu lagi segera aku kembalikan padamu! Ini ambillah!"
Dari balik bajunya Marang Tongga keluarkan sebuah kantong kain lalu dilemparkannya ke arah Sabai Nan Rancak. Si nenek gerakkan tangan kanannya yang memegang ranting. Kantong kain serta merta terkait di ujung ranting.
"Kau sudah mendapatkan kantong emasmu! Jadi tak perlu kami berlama-lama di tempat ini!" Marang Tongga memberi isyarat pada Alam Babegah. Tanpa tunggu lebih lama kedua orang ini segera berkelebat pergi.
Sabai Nan Rancak segera ambil kantong kain dari ujung ranting. Begitu diperiksanya keluarlah caci maki dari mulut perempuan tua ini.
"Batu! Jahanam betul! Berani menipu!"
Sabai Nan Rancak bantingkan kantong kain berisi kerikil itu ke tanah. Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat itu.