171. Malam Jahanam di Mataram

6.6K 87 5
                                        

SATU

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SATU

KESUNYIAN malam menjelang pagi di lereng Gunung Bismo tiba-tiba saja pecah dihentak oleh suara dentrangan benda keras tak berkeputusan. Suara ini datang dari bagian belakang sebuah gubuk tak berdinding terletak di bawah naungan pohon besar. Di atas sehelai tikar butut yang diberi bantalan jerami kering duduk seorang tua. Tubuh yang kurus hanya dibalut sehelai kain putih dari pinggang ke bawah. Demikian kurusnya hingga muka seolah tinggal kulit pelapis tulang. Tulang-tulang iga bertonjolan seperti jerangkong.

Di samping kanan si orang tua, di atas tanah terletak sebuah pedupaan menyala yang asapnya menebar harum bau kemenyan. Di sebelah kiri ada satu keranjang bambu kecil berisi kembang tujuh rupa.

Orang tua ini berambut panjang riap-riapan, kumis dan janggut berwarna biru. Walau wajahnya seperti tengkorak namun tidak membayangkan keangkeran. Sepasang mata bening memiliki sorot pandang penuh semangat. Saat itu dia duduk menghadapi setumpuk bara menyala. Di depan bara menyala ada sebuah bantalan besi. Di atas bantalan besi ini membelintang sebatang besi panjang.

Ada keanehan, walau batangan besi merah panas menyala namun cahaya yang dipancarkan berwarna redup kebiruan. Ini satu pertanda besi itu bukan besi biasa, mungkin mengandung satu kekuatan atau hawa sakti.

Si muka tengkorak duduk sambil tangan kiri memegang batangan besi membara dengan sebuah japitan besi yang pegangannya dibalut kain untuk menolak panas. Di tangan kanan dia menggenggam sebuah palu besi. Palu ini dipukulkan tiada henti pada batangan besi menyala. Setiap kali palu besi beradu dengan batangan besi menyala, bunga api memercik terang disertai suara dentrangan keras.

Sambil memukul besi orang tua itu tiada henti mengeluarkan ucapan perlahan yang lebih mirip nyanyian.

Tempa besi selagi panas

Tugas suci sebagai abdi

Jangan berhenti sebelum jadi

Tempa besi selagi panas

Puasa dua puluh tujuh hari

Pergunakan hati dan pikiran

Bekerja dengan ketulusan

Tempa besi selagi panas

Selalu ingat

Manusia hanya pelaku

Yang punya kehendak adalah Dewa

Tempa besi selagi panas

Antara Bhumi dan Swargaloka

Kuasa Dewa sudahlah jelas

Karenanya memohon pada Yang Kuasa

Tiada yang lain tempat meminta

Trang... trang... trang!

Untuk kesekian kali terdengar suara dentrang berkepanjangan dari beradunya palu dan batangan besi disertai percikan bunga api, mengiringi suara nyanyian orang tua bermuka tengkorak.

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang