122. Roh Dalam Keraton

6K 93 2
                                    

BAB 1Pendekar 212 Wiro Sableng dan Kinasih yang sembunyi di balik semak belukar di belakang sederetan pohon-pohon besar tidak menunggu lama

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BAB 1

Pendekar 212 Wiro Sableng dan Kinasih yang sembunyi di balik semak belukar di belakang sederetan pohon-pohon besar tidak menunggu lama. Yang muncul ternyata bukan Momok Dempet Berkaki Kuda, tapi serombongan penunggang kuda terdiri dari lima orang. Mereka berseragam hitam, bertampang sangar ganas. 

Rambut rata-rata panjang sebahu, kepala diikat kain hitam, muka tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk meranggas. Di pinggang terselip golok besar yang gagangnya berbentuk sama yakni ukiran tengkorak. Kelima orang ini membawa buntalan besar, digantung di leher kuda masing-masing.

"Siapa mereka? Pasti orang-orang jahat..." bisik Kinasih.

Wiro memberi anda agar Kinasih segera menutup mulut.

Penunggang kuda paling depan tiba-tiba angkat tangan kirinya. "Kita berhenti di sini. Hitung jarahan!" Orang ini memiliki cacat di pertengahan kening, membelintang melewati mata kiri membuat matanya mencelet keluar, merah mengerikan. Tampangnya paling seram dibanding dengan empat kawannya. Dari ucapan serta sikap agaknya dia yang menjadi kepala rombongan.

Empat penunggang kuda lain segera hentikan kuda masing-masing lalu melompat ke tanah, turunkan buntalan. Buntalan itu mereka letakkan di tanah di hadapan pimpinan mereka.

"Buka!" perintah si mata cacat.

Empat orang berpakaian hitam segera buka buntalan masing-masing. Di dalam setiap buntalan ternyata ada sebuah peti, terbuat dari kayu jati coklat kehitaman. Pada penutup peti ada gambar bintang dalam lingkaran, diapit oleh dua ekor naga bergelung. Empat buah peti itu ternyata dikunci dengan sebuah gembok besar terbuat dari besi.

Empat lelaki berpakaian hitam cabut golok masing-masing. Tangan sama bergerak membacok.

"Trang... trang... trang... trang!"

Empat gembok terbelah, tanggal dari peti, jatuh ke tanah. Empat orang bertampang buas segera membuka tutup peti. Begitu peti dibuka, mata mereka sama membeliak besar lalu berbarengan ke empatnya tertawa bergelak.

"Rejeki kita benar-benar besar! Ha... ha... ha!"

Dari tempat mereka bersembunyi, karena terletak di bagian tanah yang agak ketinggian Wiro dan Kinasih daprt melihat sebagian isi peti itu.

"Harta perhiasan... uang emas... bukan main! Seumur hidup aku tidak pernah melihat sebanyak itu..." tak sadar Kinasih keluarkan ucapan. Wiro cepat menekap mulut perempuan ini.

"Warok Mata Api, kau belum membuka buntalanmu! Kami ingin melihat isinya!" salah seorang dari empat lelaki berpakaian hitam berkata.

"Warok Mata Api..." ujar Kinasih mengulang nama itu dengan suara perlahan dan bergetar.

"Kau tahu siapa dia?" berbisik Wiro.

"Aku pernah mendengar namanya. Suamiku pernah cerita. Warok Mata Api adalah salah sati dari empat dedengkot rampok Alas Roban. Dia menguasai kawasan selatan. Suamiku pernah menceritakan Warok Mata Api paling ganas di antara empat penguasa Hutan Roban."

"Aku sudah duga. Ternyata mereka adalah komplotan penjahat. Gambar pada penutup peti adalah lambang Kerajaan. Jangan-jangan yang mereka jarah harta benda milik Kerajaan... Rampok berani mati!"

Wiro hentikan ucapan karena saat itu dia melihat Warok Mata Api mulai membuka buntalannya. Seperti isi empat buntalan yang sudah dibuka di dalamnya terdapat sebuah peti coklat kehitaman. Bedanya peti satu ini jauh lebih besar dibanding empat peti lainnya. 

Seperti yang dilakukan empat anak buahnya, Wiro mengira kepala rampok itu akan membacokkan golok besarnya untuk menghancurkan gembok besar penutup peti. Ternyata Warok Mata Api pergunakan tangan kosong. Gembok besi digenggam. Sekali tangannya meremas gembok besi itu hancur berantakan! Kalau Kinasih leletkan lidah terkagum-kagum, murid Sinto Gendeng hanya menyeringai. "Boleh juga tenaga dalam begundal satu ini..." katanya dalam hati.

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoWhere stories live. Discover now