1 - Ekspedisi

4.8K 455 249
                                    

Keenam orang yang sedang mengitari meja bundar dalam ruangan ini pasti merasakan hal yang sama: bangga, senang, tidak sabar, dan mungkin sedikit tegang. Buktinya, beberapa kening tampak dihiasi bintik-bintik keringat, sementara AC dalam kondisi on dan berfungsi dengan baik.

Berkali-kali Indah menarik napas panjang. Sejak tiga minggu yang lalu, sejak Prof. Hamdani akhirnya mengumumkan nama-nama yang dipilihnya untuk bergabung dalam tim ekspedisinya kali ini, sampai detik ini euphoria dalam diri Indah belum reda. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan langka ini.

Bergabung dengan tim ekspedisi yang dibentuk per dua tahun ini adalah impian semua mahasiswa Arkeologi di Universitas Kencana, terlebih untuk penghuni semester akhir seperti Indah. Indah sering dengar dari senior, bahwa ilmu yang dipaparkan Prof. Hamdani di kelas tidak ada apa-apanya dibanding apa yang didapatkan setelah terlibat langsung di lapangan. Itu yang membuat Indah sangat menantikan kesempatan ini.

Diam-diam Indah mengamati ekspresi kelima rekan yang akan diajaknya bekerjasama di ekspedisi pertamanya ini. Di antara mereka hanya Raya yang sudah pernah terlibat di ekspedisi Prof. Hamdani sebelumnya. Bisa dibilang, ia paling berpengalaman. Kendati demikian, ekspresinya terlalu kaku untuk dibilang santai. Sedang untuk Eva dan Dian, pengalaman pertama ini membuatnya lebih pendiam dari sebelumnya. Indah yakin, Tio juga sama tegangnya. Hanya saja lelaki kribo yang terkenal kocak itu punya gesture andalan agar bisa terlihat biasa-biasa saja. Yang terakhir, Kevin. Ah, Indah malas membahasnya. Kenapa juga Prof. Hamdani harus memilihnya?

Indah dan Kevin dulunya sahabat, sebelum Kevin menghancurkan segalanya dengan sebuah pengakuan yang membuat Indah memilih menjauh. Menurut Indah, cinta yang tumbuh dalam persahabatan adalah kekonyolan. Sedang menurut Kevin, kekonyolan yang dimaksud Indah adalah sesuatu yang berhak tersampaikan. Sampai sekarang mereka masih sahabatan. Ya, setidaknya itu yang terlihat dari luar. Karena sejatinya hubungan mereka tidak bisa sehangat dulu lagi.

Keenamnya kompak menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka oleh Prof. Hamdani. Kehadiran profesor paling tersohor di kampus itu, lelaki jangkung yang tetap gagah di usianya yang hampir berkepala lima, membuat suhu ruangan kian meningkat. Pandangan mereka tak lepas dari sosok Prof. Hamdani, hingga lelaki berkacamata itu mengisi kursi kosong di salah satu sisi meja.

Prof. Hamdani mengeluarkan sebuah buku lusuh yang pinggiran sampulnya mulai mengelupas dari tas kerjanya, lalu membenarkan posisi kacamatanya dan mengedarkan pandangan sebelum mulai bicara.

"Apa kabar semuanya?"

"Baik, Prof," jawab mereka serentak.

"Jadi, persiapan apa yang sudah kalian lakukan selama tiga minggu ini?"

Mereka bersitatap, tapi tidak ada yang menjawab dengan tegas. Hanya terdengar gumaman berisi jawaban klise.

"Saya harap kalian sudah memanfaatkan waktu dengan baik, karena jadwal keberangkatan kita dimajukan."

Karena sudah lelah memangku rasa tidak sabar, tentu saja mereka menyambut perubahan jadwal itu dengan senang hati. Meski tak dipungkiri mereka pun lebih tegang di saat bersamaan. Mereka khawatir persiapan yang telah dilakukan belum cukup. Dan berbagai pemikiran-pemikiran tidak penting yang sangat manusiawi untuk sebuah pengalaman pertama.

"Saya, dibantu beberapa teman, sudah mengunjungi lokasi untuk meminimalisir hambatan yang akan kita temui nantinya. Karena semuanya dirasa sudah beres, lusa kita berangkat."

Deg!

Rasa tidak sabar yang dibalut ketegangan kian jelas memancar di wajah mereka.

"Pada ekspedisi kali ini kita akan melakukan penelitian terhadap benda ini." Prof. Hamdani memperlihatkan sebuah gambar cincin di salah satu halaman buku tadi.

Belahan Jiwa dari Dunia LainWhere stories live. Discover now