8 - Kain Putih

1.5K 231 43
                                    

Indah terjaga dari tidur pulasnya, mendapati cahaya matahari sore menyapa hangat lewat celah-celah dinding bambu. Karena di gubuk itu hanya ada dua kamar tidur, ia terpaksa berbagi dengan Fidelya. Indah yang sedang tidak ingat apa-apa tentang asal-usulnya, sama sekali tidak mempermasalahkan. Mereka mau menampung saja, itu sudah cukup.

Setelah tidur selama hampir dua jam, perasaan Indah jauh lebih baik. Meski badannya masih pegal. Rasanya seperti habis melakukan perjalanan jauh. Ia turun dari pembaringan dan merapat ke sisi jendela. Ia menyibak daun jendela dan membebaskan pandangan. Pemandangan yang ditemuinya sama saja, pohon-pohon berdaun kelabu, langit hitam, juga rumput keemasan. Indah yakin, ada warna lain yang lebih cocok dengan alam ini. Entah apa yang sedang terjadi di sini.

"Calie!"

Indah agak tersentak. Seseorang membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Fidelya dengan selembar kain putih di tangannya.

"Kamu sudah bangun rupanya." Fidelya mendekat.

Indah tersenyum lemah.

"Nenek menyuruh saya menyerahkan ini."

"Kain putih?" Indah mengernyit memandang benda yang disodorkan Fidelya.

"Kamu harus mengganti pakaianmu dengan ini."

"Kenapa harus begitu?"

"Karena di pulau ini hanya kaum aline yang boleh mengenakan pakaian berjahit."

"Kaum aline?" Indah merasa semua hal di tempat ini membingungkan.

"Kaum aline adalah orang-orang yang derajatnya dimuliakan. Sementara kamu, asal usulnya belum jelas. Kalau sampai pihak kerajaan tahu kamu mengenakan pakaian berjahit, kamu akan dipenjara."

"Dipenjara?" Indah kaget. Separah itu?

"Iya. Di pulau ini yang memegang kekuasaan adalah seorang raja, Raja Aaron. Orangnya sangat angkuh dan keras kepala. Perintahnya adalah mutlak. Menentang sama halnya menjemput maut."

Indah tercenung tidak habis pikir. Entah kejutan macam apa lagi yang akan didapatkannya seputar pulau ini.

"Kenapa malah bengong? Ayo cepat ganti pakaian."

"Saya tidak tahu cara memakainya."

"Lepaskan pakaian Kakak terlebih dahulu!" Fidelya berucap sambil memutar badan membelakangi Indah.

Dengan canggung, Indah mulai melepas pakaiannya satu per satu. Kemudian ia menutupi tubuhnya dengan kain putih tadi, sembarangan saja. Kemudian Fidelya membantu merapikannya. Indah risi. Ia jadi tidak leluasa bergerak.

"Namanya juga baru pertama. Lama-lama juga terbiasa, kok."

Indah memandangi tubuhnya dalam balutan kain putih. Sungguh, ia tidak nyaman. Fidelya masih membantu merapikan ujung-ujungnya, ketika Indah tiba-tiba teringat sesuatu.

"Kenapa kamu berniat bunuh diri?"

Pertanyaan spontan itu membuat segenap aktivitas Fidelya terhenti. Ia bangkit dari posisi jongkok, kemudian menatap manik mata Indah sesaat, sebelum tatapan berkaca-kaca itu dilempar ke luar jendela. Saat kedua tangannya mencengkeram tepi bawah jendela, tahu-tahu air matanya sudah meruah.

Menyadari hal itu, Indah jadi merasa bersalah.

"Maaf jika pertanyaanku salah. Tidak usah dijawab."

***

Sementara itu, di sebuah ruangan rahasia dalam gubuknya, Nenek Waruga terpaku menatap sesuatu di sana. Dugaan-dugaan entah apa berkelebat di benaknya. Hal itu dipicu oleh sebuah keajaiban tadi malam, sesuatu yang sudah sangat lama dinantikannya. Kemudian disusul dengan kemunculan Indah dengan cara berpakaian yang tidak biasa. Ada yang lebih mengejutkan, cincin naga berkepala manusia yang dikenakan Indah. Melihat benda mungil itu, Nenek Waruga setengah mati menyembunyikan keterkejutannya. Meski raut wajahnya berhasil disamarkan, jantungnya tetap bereaksi lebih.

Belahan Jiwa dari Dunia LainOnde histórias criam vida. Descubra agora