4 - Bocah Laki-Laki dengan Wajah Berlumuran Darah

1.8K 287 70
                                    

Dalam perjalanan, mereka banyak bertemu dengan rombongan wisatawan asing maupun domestik yang tengah melakukan pendakian menuju Puncak Carstensz. Matahari semakin meninggi. Medan terasa semakin berat. Keringat mulai bercucuran, diiringi hela napas tersengal. Mereka selalu berusaha menunjukkan senyum tetap semangat di mata Prof. Hamdani, tapi yang terbaca di mata profesor penggemar jagung bakar itu malah keinginan untuk beristirahat sejenak. Ia pun mengabulkannya setelah mencapai salah satu pos pendakian.

Setelah berjalan sekitar delapan jam dan melintasi Sungai Kemabu, mereka tiba di kawasan Desa Ugimba, desa terakhir dan terdekat dengan Puncak Carstensz. Di desa ini kebanyakan rumah penduduknya masih berbentuk honai yang terbuat dari kayu dan jerami tanpa paku yang menyerupai jamur raksasa. Letak rumah warga terpisah-pisah dengan jarak berjauhan.

Ratusan orang tinggal di Ugimba. 90% merupakan suku Moni, sisanya suku Dani. Keseharian mereka, perempuan berkebun untuk menanam kol, kedelai, dan bayam. Sementara lelaki masuk ke hutan untuk berburu. Di desa inilah terdapat hutan hujan tropis terbesar di Papua. Hutan yang masih jarang dimasuki oleh manusia, bahkan masyarakat Desa Ugimba sendiri. Konon, di dalam hutan itulah gua patung putri cantik itu berada.

Sore menjelang senja. Sebentar lagi kekuatan gelap akan turun menyelimuti bumi. Mereka masih bisa beristirahat di pos pendakian, sebelum besok mulai masuk menembus belantara dan hanya bisa mengandalkan peralatan yang mereka punya. Yang lain terlihat sangat pulas, sementara Prof. Hamdani masih terjaga. Ia terus memandangi peta lokasi gua yang terdapat di salah satu halaman buku kuno yang membahas segala macam hal yang berkaitan dengan cincin naga berkepala manusia itu. Entah apa yang akan mereka temui di dalam hutan sana. Prof. Hamdani bertekad akan memberikan totalitasnya di ekspedisi ini. Ia tidak ingin gagal.

***

Prof. Hamdani meminta anggota timnya membentuk lingkaran kecil. Mereka berdoa sebelum memasuki hutan. Untuk pertama kalinya mereka melakukan ritual ini. Seketika rasa tegang bercampur hawa dingin pagi hari Desa Ugimba mencekam. Mereka mulai bergerak ketika kabut masih menyelubungi beberapa sudut desa itu.

Memasuki kawasan hutan, Indah takjub. Hampir seluruh permukaan hutan ditumbuhi lumut. Hijau lumut dan hijau daun tergores indah di kanvas keagungan Sang Pencipta. Sejauh mata memandang, Indah dimanjakan nuansa hijau, warna yang memang ia gemari selama ini.

Mereka berjalan sangat hati-hati di permukaan tanah berlumut yang sangat licin. Mereka terkadang harus saling membantu untuk melewati akar-akar pohon besar dan kokoh, atau berjalan sambil jongkok demi menembus semak belukar yang berpadu dengan tumpukan ranting-ranting kering pohon yang telah tumbang.

Perjalanan mereka diwarnai insiden tergelincir beberapa kali. Yang terakhir Tio, ia kehilangan keseimbangan ketika berjalan di atas bangkai pohon yang ternyata mulai lapuk. Untungnya tidak ada luka serius, hanya goresan-goresan kecil yang sepertinya memang sudah wajib untuk ekspedisi semacam ini.

Sudah lumayan jauh mereka berjalan, ditemani suara-suara serta aroma hutan yang khas. Mereka menemukan sebidang tanah lapang yang sepertinya cocok untuk mendirikan tenda, tepat di saat raga mulai lunglai.

"Baiklah, kita akan mendirikan tenda di sini. Kita lanjutkan lagi setelah makan siang," terang Prof. Hamdani sambil menyeka peluh di keningnya.

"Prof, kenapa kita nggak istirahat di gubuk itu aja?" Indah menunjuk sesuatu.

Mereka menoleh ke tempat yang dimaksudkan Indah. Lalu bersitatap. Heran. Gubuk apa sebenarnya yang dimaksud Indah? Prof. Hamdani kembali menatap Indah yang masih mengacungkan jari telunjuknya.

"Indah, kamu baik-baik saja?"

Indah malah tersenyum. Suasana mendadak tegang. Mereka merapat.

"Lihat, Prof, mereka melambai."

Belahan Jiwa dari Dunia LainOnde histórias criam vida. Descubra agora