10 - Atas Nama Cinta

1.3K 199 21
                                    

Fidelya tak menyadari, tuan si kucing sudah berdiri di depannya. Saat menegakkan kepala, seketika Fidelya tercengang mendapati Pangeran Ares tengah tersenyum padanya. Sekian detik Fidelya terbius oleh keindahan yang sulit dibahasakan. Lengkungan manis di bibirnya mampu menepis hawa panas yang sedari tadi menyelimuti lapangan karena disesaki penonton. Tubuh tinggi tegapnya terbentuk sempurna. Sepasang mata cokelat beningnya bak telaga di bawah naungan alis tebal. Rambut ikal agak panjangnya sedikit berantakan, namun justru membuat tampilannya kian perkasa.

Betapa gagahnya. Batin Fidelya.

Pangeran Ares pasti salah seorang dari peserta yang berlaga tadi. Fidelya meyakininya karena dada telanjangnya masih dibasahi keringat, juga kain penutup wajah yang kini ia sampirkan di pundak kiri.

"Maaf, boleh saya ambil kucingnya?" Pangeran Ares berkata sopan sambil tetap tersenyum.

Fidelya malah bengong sesaat. "Oh, boleh," ucapnya setelah sikutan Marella menyadarkannya. Fidelya lekas mengembalikan kucing itu sebelum benar-benar bertingkah bodoh.

"Terima kasih! Maaf jika ia mengagetkanmu."

Fidelya hanya tersenyum, dengan gaya khas salah tingkah yang sulit disembunyikan.

"Qumoro memang nakal!"

"Qumoro?" potong Fidelya.

Reaksi Fidelya mungkin di luar dugaan Pangeran. Ketika semua warga seakan mengenal kucingnya dengan baik, ternyata masih ada yang bahkan tidak tahu namanya. Wajar, karena selama ini Fidelya memang sengaja menghindari hal-hal yang berkaitan dengan Pangeran.

"Iya. Itu nama kawan kecil saya, kucing genit ini. Ia memang suka menggoda gadis cantik sepertimu," terang lelaki memesona itu sambil mengacak-acak bulu Qumoro dengan gemas.

Fidelya tersipu.

"Saya duluan, ya." Pangeran Ares melebarkan senyum sebelum berlalu dari hadapan Fidelya.

Fidelya balas tersenyum, sebelum memaku tatapannya di punggung lelaki itu, hingga hilang ditelan kerumunan.

"Pantas Ziddic gagal jadi juara, ternyata Pangeran yang mengalahkannya." Marella tampak mulai menerima kegagalan Ziddic, sebab di beberapa pertandingan sebelumnya, Pangeran memang tidak terkalahkan.

"Tahu dari mana Pangeran yang menang tadi?"

"Tadi kamu nonton tidak, sih?" Marella mengernyit. "Aku hafal betul motif penutup wajah penunggang yang berhasil mengalahkan Ziddic, itu sama persis dengan kain yang tersampir di bahu Pangeran tadi."

Fidelya hanya ber-o tanpa suara. Bukannya ia tidak nonton, tapi ia sama sekali tidak sedatail Marella yang sampai hafal motif kain penutup wajah si penunggang.

***

Fidelya menghela napas panjang. Entah apa yang dirasakannya sekarang, setelah menemukan otaknya masih mampu memutar kenangan itu sedemikian detail. Ia bahagia, karena pernah menjalani hari-hari menyenangkan bersama seseorang yang sampai saat ini masih diingini hatinya. Namun, ia pun kalut, sebab usaha melupakan di titik paling pasrah ternyata tak membuahkan hasil. Nama itu malah semakin dalam terukir di dasar hatinya.

"Jika Raja Aaron berwatak keras, angkuh, tidak berperasaan dan senang menindas kaum bawah, maka Pangeran Ares adalah kebalikannya. Kepribadian mereka seperti dua kutub yang berlawanan arah. Perbedaan itu membuat hubungan mereka kurang harmonis. Pangeran Ares jarang berkomunikasi dengan Raja. Ia lebih dekat dengan ibunya, Ratu Claretta."

Indah sepenuhnya menyimak. Mendengar cerita Fidelya, ia jadi penasaran ingin mengunjungi perkampungan. Ia ingin melihat seperti apa kehidupan di luar hutan ini.

Belahan Jiwa dari Dunia LainWhere stories live. Discover now