9 - Curhatan Fidelya

1.3K 203 29
                                    

"Kamu masih belum ingat apa-apa soal asal-usulmu?" Huzia yang sedang terbang dari ranting ke ranting sengaja meninggikan suaranya agar Indah bisa mendengarnya dengan jelas. Pagi-pagi sekali mereka berangkat ke sungai untuk mencari ikan.

Indah yang sedang berjalan bersisian dengan Fidelya menoleh, lalu menggeleng.

"Sama sekali tidak ada bayangan?"

Indah kembali menggeleng.

"Kamu senang tinggal sama kami?"

Kali ini Indah mengangguk sambil tersenyum.

Mendengar kecerewetan Huzia dengan intonasi yang khas, Fidelya senyum-senyum sendiri. Ia turut senang, keceriaan teman burungnya itu sudah kembali.

"Kamu tahu, Calie, aku ini seharusnya terlahir seperti kalian. Buktinya, aku bisa bicara. Tapi entah kenapa, aku malah tersesat dalam tubuh burung. Sayang sekali." Meski gesit mengimbangi langkah Indah dan Fidelya, melompat dari ranting satu ke ranting lainnya, suara cempreng Huzia sempat menyendu.

Fidelya cukup peka akan hal itu. Pasalnya, ia sudah sering mendengarkan curhatan Huzia soal kelainan takdirnya itu. Dan bahasanya selalu sama, ada nada tidak terima.

"Oh ya, kalau boleh jujur, aku iri sama kamu." Kali ini Huzia sengaja terbang rendah di samping Indah, sebelum kembali mendarat di ranting pohon terdekat.

"Kenapa?"

"Nenek memberimu nama yang sangat bagus. Aku rasa nama itu lebih cocok untukku. Menggunakan nama itu, mungkin kecatikanku bisa lebih terpancar." Huzia mengepak-ngepakkan sayapnya dengan antusias. "Kenapa juga nenek tidak memberikan nama itu untukku? Tapi tidak apa-apa. Nama yang sekarang juga tidak terlalu buruk."

Mendengar hal itu, Indah tersenyum geli. Sedang Fidelya hanya geleng-geleng.

Setibanya di sungai, Fidelya meletakkan keranjang yang nantinya akan diisi ikan-ikan oleh Huzia. Setelahnya, Fidelya bergabung dengan Indah yang sudah lebih dulu duduk nyaman di atas salah satu batu besar di pinggir sungai. Dari sana mereka akan mengawasi pekerjaan Huzia.

"Oke, saatnya membayar kesalahan kemarin. Kalau perlu, semua ikan dalam sungai ini akan kita bawa pulang untuk Nenek," kata Huzia yang sedang terbang beberapa meter di atas permukaan sungai. Tatapannya sedemikian awas mengamati pergerakan ikan di dalam air.

Mendengar hal itu, Fidelya dan Indah tertawa.

Huzia tiba-tiba menukik hingga setengah badannya tenggelam ke air. Sesaat kemudian ia kembali ke atas dengan seekor ikan dalam cengkeraman cakarnya. Ia lekas menjatuhkannya ke dalam keranjang, lalu kembali ke posisi awal.

"Lihat, ia begitu ahli melakukannya."

Indah yang baru pertama kali melihat aksi Huzia, terkagum-kagum. Ia mengangguk setuju.

Huzia baru saja memasukkan ikan keempat ke keranjang ketika Indah tidak lagi memperhatikannya. Indah sedang mengedarkan pandangan, mengamati alam di sekitarnya. Ia merasa pernah melihat pemandangan seperti ini, tapi lebih berwarna.

"Pohon-pohon ini, rumput, air, langit, mereka punya warna yang lebih pantas. Aku yakin pernah melihatnya."

Ucapan Indah mengalihkan perhatian Fidelya, yang sebelumnya masih asyik menonton aksi Huzia.

"Sungguh?" Fidelya menoleh sambil mengernyit. Reaksinya agak berlebihan.

Indah mengangguk yakin.

"Sebenarnya kamu ini berasal dari mana?" Kerutan di kening Fidelya semakin dalam. "Tentang alam yang berwarna-warni, aku memang pernah mendengarnya, tapi cuma dalam dongeng. Konon, ratusan tahun silam, alam ini memang lebih berwarna, mungkin seperti yang kamu maksud. Tapi kemudian semuanya menjadi suram setelah pangeran pada masa itu menjalin cinta dengan gadis dari kalangan biasa. Sejak saat itu, raja melarang keras pangerannya menjalin hubungan dengan gadis biasa. Bahkan sekadar berteman, tidak boleh.

Belahan Jiwa dari Dunia LainWhere stories live. Discover now