2 - Antara Peluang dan Pelarian

2.5K 320 69
                                    

Setibanya di kamar, Indah melempar tas selempangnya ke atas meja rias, lalu membanting diri di tempat tidur. Wajahnya masih ditekuk, jengkel dengan sikap kontra Mama. Ia baru hendak bangkit untuk ganti pakaian saat ponsel di saku jinsnya bergetar. Ia mengeluarkan benda pipih persegi itu dan menemukan panggilan dari Farel.

"Mama bilang, lusa kamu berangkat, ya?" Dari seberang sana, Farel langsung menodong dengan nada kaget. Mendengar hal itu, sesaat Indah hanya memutar bola mata malas. Ini kebiasaan Mama yang paling tidak disukai Indah, mengaduh sama lelaki yang dianggap bisa membujuknya.

"Kalau iya, kenapa?" Indah malah bertanya balik dengan nada ogah-ogahan.

"Nggak. Kamu nggak boleh ikut-ikutan dalam ekspedisi itu."

Demi mendengar cegahan itu, Indah sampai bangkit dari baringnya dan terduduk di tepi tempat tidur.

"Cukup, Rel, aku bukan anak kecil lagi yang bisa kamu atur seenaknya. Aku sudah cukup dewasa untuk bisa memilih jalan hidup sendiri. Berhenti mencampuri urusanku!" Tanpa sadar, Indah berucap setengah teriak. Setelah menandaskan kalimatnya, ia membanting asal ponselnya. Ada amarah dan luka diam-diam di balik aksinya barusan. Ini kali pertama ia berkata kasar kepada Farel, lelaki yang diam-diam ia cintai selama ini.

Mau tidak mau ingatan Indah kembali lagi jauh ke belakang, saat pertama kali ia bertemu Farel. Suatu siang sepulang sekolah, Indah yang saat itu baru memulai tahun pertamanya di SMP, ketibang sial. Dari ujung gang yang lengang tiba-tiba muncul seekor anjing hitam yang langsung berlari ke arahnya sambil menggonggong. Indah yang panik langsung berlari ketakutan sambil menangis. Saat anjing itu semakin dekat, Indah hampir menyerah. Beruntung, pertolongan datang tepat waktu. Seorang pengendara motor berhenti beberapa meter di depan Indah.

"Dek, ayo naik!" kata cowok berseragam putih abu-abu itu.

Tanpa pikir panjang, Indah langsung melompat ke boncengan cowok itu. Setelah merasakan gadis kecil di belakangnya duduk dan berpegangan dengan baik, cowok itu kembali melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Kendati sudah selamat dari buruan si anjing, tangis Indah belum reda. Ia bahkan membenamkan wajahnya di punggung cowok yang telah menyelamatkannya itu.

Merasa sudah aman, cowok itu menepikan motornya, bermaksud menenangkan Indah yang masih terus menangis.

"Udah dong nangisnya. Anjingnya udah gak kelihatan, kok."

Tersadar, Indah melerai lingkaran tangannya dari pinggang cowok itu. Kedua tangannya beralih membersihkan air mata di pipinya.

"Rumahmu di mana? Biar sekalian aku anterin."

Sambil berusaha meredam sisa-sisa tangis, Indah menyebutkan sebuah alamat. Cowok itu tersenyum, lalu kembali melajukan motornya. Kali ini pelan saja.

Setibanya di depan rumah, Indah lekas turun dari motor, lalu mengucapkan terima kasih.

"Sama-sama," balas cowok itu sambil tersenyum ramah.

"Kakak tinggal di mana?" Indah bertanya cepat saat melihat cowok penyelamatnya itu kembali menstarter motornya.

"Tuh." Dengan santainya, cowok itu menunjuk rumah putih berlantai dua di seberang jalan.

Lingkar mata Indah seketika membesar. Ia antara kaget dan senang mendapati kenyataan, bahwa cowok penyelamatnya itu adalah tetangganya. Menurut cerita Mama, rumah di seberang jalan yang sempat kosong beberapa bulan itu, minggu lalu dibeli dan langsung ditempati keluarga Pak Kumar. Mereka datang dari Makassar. Cowok jangkung berlesung pipi ini pasti putra mereka, yakin Indah dalam hati.

"Nama Kakak, siapa?" tanya Indah lagi saat cowok itu sudah mengarahkan setang motornya ke rumah yang tadi ditunjuk.

"Farel." Demikian cowok itu menyebutkan namanya disertai sebaris senyum tipis, sebelum benar-benar berlalu.

Belahan Jiwa dari Dunia LainNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ