16 - Fire

22.3K 2K 27
                                    

D E A R J O H N

Maybe it's me and my blind optimism to blame, or maybe it's you and your sick need to give love then take it away.

- Taylor Swift -

XVI CHAPTER XVI

Setelah hari itu, hidupku berjalan dengan sangat luar biasa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah hari itu, hidupku berjalan dengan sangat luar biasa. Segala sesuatu yang aku jalani dibuat seperti kehidupan biasaku di sini. Tentu saja dikurangi dengan tindakkan atau ide burukku soal kabur-kaburan. Aku sudah tak punya keinginan lagi untuk itu. Karena aku pun sadar, di dunia ini, sekeras apa pun aku mencoba, aku takkan bisa melarikan diri.

Tetapi meskipun suasana kerajaan dibuat semenyenangkan mungkin -tidak sesuram saat pertama kali aku datang-, aku tetap tak merasa nyaman. Aku masih merasa bersalah.

Kejadian itu... kejadian itu masih menghantuiku.

"Lyra, aku senang kau datang."

Aku menoleh dan tersenyum begitu melihat Will, "Hai, Will," sapaku. "Tentu saja aku pasti datang."

Ia tersenyum dan kami bersama-sama menatap keluar kastil, seperti apa yang sedang kulakukan beberapa saat yang lalu sebelum Will datang. Aku melamun, tentu saja. Saat ini aku sedang berada di pesta perjamuan yang diselenggarakan oleh Will dan Sunshita. Aku datang bersama Damian tetapi karena ia harus menemui orang-orang penting, maka aku menunggu di balkon ini. Dan bertemu dengan Will.

Setelah sekian lama kami berdiam diri dan sibuk dengan pikiran masing-masing, akhirnya Will membuka suaranya. "Aku telah berjanji. Tetapi aku tak bisa menjemputnya. Aku tak bisa memenuhi janjiku."

Aku menelan salivaku dan tetap diam mendengarkannya.

"Ia sangat mencintaiku. Tetapi... tetapi aku tak bisa lakukan apa pun. Aku tak berdaya. Aku tak berdaya dan aku hancur di dalam ketidakberdayaanku."

Aku menggeleng, "Will...."

"Aku tak apa."

"Kau tak dapat lakukan apa pun, sebenarnya bukan salahmu. Salah takdir yang mempertemukan kalian tetapi tak rela menyatukannya."

"Ya, aku tahu." Will tersenyum dan menepuk bahuku. "Maaf karena membuatmu terlibat."

Aku tak mampu menjawab. Will pergi dengan senyuman yang sangat dipaksakan. Aku tahu, ia hanya berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Meski nyatanya, ia tak begitu.

"Lyra."

Aku menoleh dan tersenyum pada pemilik suara yang sangat kukenali itu, "Apa pertemuannya telah selesai?"

Ia mengangguk dan merangkul pinggangku dengan posesif, "Pesta akan segera dimulai, ayo."

Kami memasukki aula klasik itu bersama-sama. Ini bukan pesta untuk pernikahan Will dan Sunshita. Ini hanya pesta perundingan biasa untuk mengeratkan hubungan antar kerajaan.

"Ada Nancy di sana, kau mau menemuinya?" Bisik Damian.

"Nancy?" tanyaku seraya menoleh ke arah yang ia maksud. Ah, gadis itu! Ia gadis berjubah biru di hari pengeksekusian itu.

"Itulah akibatnya jika kau terlalu sibuk mencari alasan untuk kabur dan berulah," dengus Damian, "Nancy adalah adikmu."

Adik Lyra, ralatku dalam hati.

"Yah, apapunlah. Aku memang seperti itu," aku menunjukkan cengiranku, "dan karena aku tak begitu mengenalnya, biarkan aku di sini, aku tak mengenal banyak orang dan tak ingin menciptakan kekacauan. Kau setuju?"

Damian mengangkat bahunya. Kuanggap itu berarti ya.

Kami sudah kembali ke Vareios beberapa saat yang lalu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kami sudah kembali ke Vareios beberapa saat yang lalu. Saat ini kami sedang duduk di atas ayunan yang ada di taman belakang kerajaan seraya membicarakan banyak hal. Termasuk tentang Lyra.

Aku pun baru menyadari bahwa Damian mulai bersedia menceritakan apa pun atau menjawab apa pun yang kutanyakan dan yang kukatakan. Setidaknya ia tak seperti dulu, yang sangat pelit berbicara sampai-sampai bertanyapun ada batasnya. Terutama saat ia ingin, tentu saja.

"Jadi, dulu aku juga bukanlah gadis yang penurut?" Tanyaku dan Damian mengangguk, "aku pikir Lyra adalah gadis penurut sehingga kau dapat membodohinya."

Ia menaikkan sebelah alisnya dan aku tertawa, "Bercanda."

"Kau memang bukan gadis penurut. Tetapi kau tak sebebal saat ini. Jadi jika dibandingkan denganmu, ia memang akan jadi gadis yang penurut."

"Dulu," tambahku seraya menunjukkan cengiranku.

Kami duduk diam cukup lama setelahnya. Aku yakin keheningan ini tak mengganggunya sama sekali. Bahkan ia pasti lebih senang jika aku tak membuka mulutku sama sekali.

"Kau baik," kataku, "yah, pada awalnya kau cukup kejam. Aku tak tahu, apa kau memang selalu memperlakukanku seperti itu dulu, atau itu hanya berupa kemarahanmu pada sikapku yang suka membangkang. Tetapi kurasa, kau memang selalu seperti itu. Kau baik tetapi dengan caramu sendiri. Hanya saja, belakangan ini kau berubah. Kau melunak padaku hingga aku takut bahwa kau tiba-tiba akan menyakitiku. Mengapa? Mengapa kau berubah?"

"Ah, tidak. Aku ingin bertanya, jika seandainya aku tidak mati, apa kau akan sebaik ini denganku?"

Damian tak menjawab.

"Apa ini keberuntungan... atau kesialan untukku?"

"Kau akan menjadi gadis tersial dan terberuntung jika kau bertemu denganku."

"Mengapa kau berpikir begitu?"

"Karena kau tahu itu."

"Kalau begitu, maukah kau melakukan sesuatu untukku?" Tanyaku.

"Katakan."

"Lepas topeng itu."

Dan Damian tak mengatakan apa pun selain menatapku. Keheninganlah yang menjawab permintaanku.

Seharusnya aku tahu, Damian tidak mungkin melakukan itu.

Seharusnya aku tahu, Damian tidak mungkin melakukan itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

130317
✴220718✴

A Knight In Shining ArmorWhere stories live. Discover now