Miris

4.3K 1.1K 678
                                    


Akhirnya selesai republish lapak ini. Oke, semoga chapter yang akan aku bagikan ini bisa lebih bermanfaat.

Tenang, aku nggak akan ngomel-ngomel lagi. Ini emang lapak untuk curahan hati aku, tapi kayaknya kalo diisi dengan emosi, itu kurang bagus.

So, kali ini aku akan bahas tentang pengalaman SMA aku.

Aku pernah cerita, kalau di SMA aku dulu ada ekskul menulis novel. (Partnya aku hapus, karena kurang berfaedah). Makanya sekarang aku mau jelasin lebih ... detail.

Banyak banget yang komen: Seandainya di sekolah gue ada ekskul nulis juga.

Sumpah, aku terhura.

Ternyata banyak orang-orang yang ingin ikut ekskul menulis. Aku merasa miris dengan adik-adik kelasku yang menyia-nyiakan ekskul tersebut.

Karena serius, aku ngerasa setiap minggu, ada aja murid ekskul menulis yang berkurang. Mereka lebih milih ke mall buat nonton dan sebagainya. Ckck.

Padahal sebenernya, mereka bisa belajar banyak dari ekskul menulis itu. Setiap pertemuan, kita diskusi dan ngoreksi tugas cerpen. Yah, aku inget banget cerpen aku pernah dikoreksi sama mentor aku (beliau penulis pria senior, dan udah cukup banyak buku yang diterbitkan. Umurnya udah empat puluh tahun lebih). Rasanya deg-degan. Saat itu juga kata mentor aku, aku kurang detail menggambarkan suasana. Dia jelasin tuh supaya lebih hidup kayak gimana. Sangat membantu banget, 'kan? Jadi bisa lebih aku terapkan di cerita aku sekarang.

Saat ekskul ini, mentor aku nggak pernah ngajarin 'teknik penulisan', tanda baca atau sebagainya. Kita cuma sharing, soal alur dan keluh kesah menulis aja. Tapi menurut aku, itu juga sangat membantu. Kalau teknik mah aku bisa belajar sendiri dari cerita-cerita hebat yang pernah aku baca. Kalian juga, ya.

Diskusi lainnya tuh juga pernah bahas STUCK tengah jalan. Mentor aku menyarankan untuk berhenti menulis sebentar, hingga perasaan kita membaik. Yah, lakukan hal lain yang bisa membuat kita bahagia. Setelah itu, cobalah mulai melanjutkan cerita yang stuck itu.

Pokoknya tiap dua minggu sekali, aku selalu ikut pertemuan ekskul menulis itu. Yaah, walau muridnya terus berkurang hingga tersisa dua. HAHA. Mereka malah ada yang pindah ke ekskul basket, paskib dan lainnya. Duh, iya deh ekskul menulis emang ekskul yang paling tidak terlihat. Mereka yang ingin terkenal, pasti lebih milih ekskul yang hits.

Aku kesal. Aku saat itu sebagai ketua, merasa gagal dan capek.

Udah berkali-kali aku ingetin mereka untuk dateng ekskul, tapi tetap aja mereka kabur.

Udah sering juga aku ingetin buat mereka bikin tugas, tapi tetap aja mereka nggak bikin.

"NIAT nggak sih mau jadi penulis?!" Rasanya pengin aku tanya begitu di depan wajah mereka. Huh.

Dan aku merasa makin miris saat dapet laporan, setelah aku lulus, ekskul menulis langsung dihapuskan. (Whaaat?)

Wajar aja sih dihapuskan. Anak-anaknya aja pada nggak semangat ikut ekskul nulis. Ngapain dilanjutin? Kasihan juga mentor aku dateng jauh-jauh kalo cuma ngajar dua orang :"

Aku mau flashback sebentar soal kejadian yang cukup berkesan.

Saat pertemuan pertama ekskul itu, mentor aku nyuruh satu orang SIAPAPUN untuk maju ke depan. Entah suruh ngapain. Dia nggak mau ngasih tau.

Aku jelas nggak mau, dong. Takut disuruh yang aneh-aneh. Banyak yang nonton juga. (Masih ramai pertemuan pertama, hampir empat puluh orang)

Tapi, saat mentor aku itu bilang, "Yang mau maju, saya doain bisa jadi penulis sukses di Indonesia!"

Tiba-tiba tanpa ragu, kaki aku langsung melangkah ke depan. Mentor aku itu senyum, dan ngajak aku salaman. "Wah, salam kenal, namanya siapa?"

"Syifa. Asyifashi."

"Asyifashi. Akan saya ingat nama itu. Kalau buku kamu terbit, undang saya, oke?"

"Aamiin." Bukan cuma aku aja yang bilang aamiin. Hampir satu ruangan. Whoa.

Saat itu, aku ngerasa doa mentor aku sangat berarti. Dia juga ngasih pin gratis dengan tulisan Saya Bisa Menulis Buku. Hanya aku yang dikasih gratis, lho! Yang lain mah harus bayar. (Di situ saya merasa bangga)

Sebenarnya, pengalaman aku selama mengikuti ekskul itu sangat berkesan. Walau emosi aku sering banget diuji oleh adik kelas -.-

Tapi, aku bahagia.

Aku bahkan berpikir, supaya di sekolah lain ... bisa ada ekskul menulis novel juga. Setidaknya, ada perkumpulan bagi orang-orang yang suka menulis. Biar bisa sharing gitu. Kayaknya seru, ya. Terus ngundang penulis-penulis gitu deh buat motivasi. Wow.

Aku ingin membuat anak-anak muda jadi gemar membaca. Bahkan aku berharap, banyak yang bercita-cita menjadi penulis. Bukan cuma ingin jadi penyanyi atau pemain sinetron.

Karena aku sebenernya merasa miris, minat baca di Indonesia itu rendah. Termasuk rendah dibanding negara lain. Jaman sekarang juga kayaknya remaja pada lebih suka beli alat make up dibanding novel. (Contohnya kakak aku)

Kakak aku dan aku tuh beda banget. Dia rajin banget beli alat make up, dan coba-coba pakai di rumah buat foto. Sekarang dia udah jago, sih. Aku aja sering jadi kelinci percobaan -.- (kalo aku, malah mikir mendingan duitnya buat beli novel wkwk)

Pokoknya aku jarang banget ketemu orang di sekitar aku, yang main wattpad atau hobi nulis. Mereka kayaknya lebih suka main media sosial yang lain. Aku tanya, "Kamu punya Wattpad?"

"Oh, PATH? Punya."

"Bukan Path. Tapi, Wattpad."

"Apaan, tuh?"

Malah pernah ada yang sama sekali nggak tau Wattpad. Parah. Masa nggak tau aplikasi sekece ini, sih?

Jadi intinya, aku harap kalian, sebagai generasi penerus bangsa, bisa meramaikan Indonesia dengan karya yang luar biasa!

Ayo, bangkitkan literasi Indonesia!

Kalau bukan kita, siapa lagi? (Ini jadi kayak selogan kampanye, ya wkwk)

Pokoknya, terus menulis dan membaca. Jangan jadi generasi yang buta akan sastra, ya :)

See ya soon. Xx

Curahan Hati Penulis AmatirWhere stories live. Discover now