Unsteady 2

82.1K 7.3K 519
                                    

Pagi ini, Ares kedatangan tamu kecil yang biasanya datang ketika ia kesal. Bukannya merasa marah akibat suara laki-laki yang sedang marah itu, Ares justru diam-diam mendengarkan sambil mengulum senyum yang jarang diperlihatkannya.

Anak itu, begitu menggemaskan dengan pipi gembulnya. Masih kelas 3 SD dan gaya bicara sudah seperti orang dewasa. Apalagi jika menyangkut adiknya, Eca yang baru berusia 5 tahun.

Rumah dengan nuansa putih ini terasa tidak mencekam lagi dan Ares bersyukur atas kedatangan Eza kali ini.

"Bang! Dengerin aku gak? Aku lagi ngomong!" sentaknya marah, pipinya yang gembul memerah.

Ares yang sedang mengaduk susu melempar pandangannya pada Eza yang sudah terbalut seragam putih-merahnya. "Abang dengar kok,"

"Aku ngerjain pr matematika-ku sampai dua hari," Eza mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, matanya melotot, "dua hari bang! Dan Eca dengan gampangnya nyiram buku matematikaku!"

Ares menyodorkan susu pada anak laki-laki itu, ia kemudian mengolesi roti. "Eca gak sengaja mungkin,"

Setelah menenggak susunya dan menyisakan kumis di sekitar bibirnya, Eza mengerutkan keningnya. Tidak suka mendengar ucapan orang yang ia harap membelanya. Ia tidak suka abangnya membela Eca. Walaupun Ares bukan abang kandungnya, Eza tidak rela abang Ares membela Eca.

"Tapi dia sengaja!" Ares menyerahkan roti berselai coklat itu padanya, "Pokoknya, kalau nanti abang jumpa Mama, abang harus bilang kalau aku kabur dari rumah! Biar Mama marahin Eca!"

Ares sudah menenggak susunya sampai habis, telinganya masih berfungsi mendengarkan ocehan Eza yang begitu menggebu-gebu. Ia memang kesal pada Eca dan jika ia kesal, maka ia akan menumpahkan ke kesalannya pada Ares.

"Nanti abang suruh Eca minta maaf," Ares meletakkan gelas miliknya di wastafel, lalu memasukkan tempat bekal yang berisi roti itu ke tasnya, "kamu berangkat sama abang atau mau dianterin ke rumah?"

"Kan, aku lagi ngambek, gengsi dong aku minta anterin Papa,"

"Kamu marahan sama Papa?"

"Iya dung, enak aja Papa ikutan marahin aku di depan Eca," Ares menatapnya geli, "harga diriku turun di depan Eca!"

Ares mengambil tasnya lalu menyampirkannya di bahu. Tas Eza ia bawa sambil membawa sepatunya ke ruang TV lalu memakainya.

"Bang, anterin nanti sampe sekolah," Eza menyenggol bahunya membuat Ares menoleh.

"iya, Za. Nanti abang anterin. Sekolah kitakan deketan."

Bagi Ares, Eza adalah adik yang menggemaskan. Ia mengenalnya sejak bayi bahkan ketika detik pertama anak laki-laki itu lahir kedunia.

"Ayo," Ares menggenggam tangan mungilnya, mengunci pintu rumah berwarna putih itu dan menutup gerbang.

Seperti biasa, Ares berjalan ke arah halte. Tangan kirinya menggenggem tangan Eza dan sebelahnya lagi memegang tasnya. Lima menit menunggu di halte, bus akhirnya datang, mereka berdua menaiki bus.

Cuaca kelihatan mendung hari ini, kemungkinan besar nanti siang hujan, menurut Ares. Suasana bus tidak terlalu padat, semua bangku terisi namun tidak ada yang berdiri. 15 menit berjalan, bus itu sampai. Mereka turun dan Ares terus menggenggam tangan mungil itu. Takut jika Eza menghilang seperti dua bulan lalu.

Baru saja mereka turun dan berjalan beberapa langkah, Ares refleks memegang pelipisnya ketika manusia yang tidak di harapkan tiba-tiba muncul.

"ARES!!!"

Suaranya saja bahkan tidak enak di dengar. Cempreng dan memekakkan telinga.

"Siapa tuh Bang? Petakilan amat kayak monyet," celetuk Eza dengan santainya ketika melihat Aira melompat tepat di depan Ares.

Unsteady Kde žijí příběhy. Začni objevovat