Unsteady 11

38.4K 4.6K 330
                                    

Dulu, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, Aira selalu takut. Takut memulai sesuatu yang baru bersama latar yang berbeda. Hatinya meragu apakah bisa beradabtasi atau tidak, apakah ada yang mau menganggapnya teman atau tidak dan apakah ia bisa hidup serumah dengan orang yang hanya sekali ia kenal selama 17 tahun hidupnya.

Nyatanya, Aira mulai bisa beradabtasi dengan semua hal baru itu. Walau terkadang ia diam-diam merindukan suasana kota Bandung.

Kakinya mengayuh sepeda lebih cepat, tersenyum ketika angin sore menerpa wajahnya. Aira kemudian berhenti di sebuah toko roti yang cukup jauh dari rumahnya. Perempuan itu memarkirkan sepedanya, lalu memasukkan tangan kirinya ke dalam hoodie pink miliknya.

Tangannya mendorong pintu kaca itu dan memasuki toko roti itu. Ada satu orang pembeli yang sedang berada di kasir dan satunya lagi sedang dihela karyawan untuk mencari roti. Dan, satu orang lagi yang membuat Aira mengernyit.

"Wah, adek bayi. Ngapain lo?" tanya Aira melihat Eza sedang duduk di sofa dengan wajah kalem.

Anak laki-laki itu menoleh. "Wah, ada kesialan apa nih kita ketemu?"

Aira menyengir, "Bener-bener ye, untung lo bocah."

Eza kemudian mengarahkan tatapan matanya ke arah perempuan yang sedang melihat-lihat roti di balik etalase.

"Sama emak lo? Widih, cakep." Celetuk Aira.

Seolah menyadari anak laki-lakinya tengah berbicara dengan orang yang tidak pernah dilihatnya, Mama Eza menoleh, pilihan rotinya sudah di bawa ke kasir.

"Eza, sama siapa?" tanya Mamanya dengan lembut.

"Oh ini Ma, namanya Kak Aira, teman Eza," kata anak sulungnya dengan wajah yang teramat manis.

"Hai Tante, Aira."

Mama Eza tersenyum lembut. Perempuan itu masih nampak muda. Umurnya bisa Aira perkirakan sekitar 30 tahunan. Rambutnya sebahu dengan wajah keibuannya.

"Mama ke kasir dulu,"

Setelah Mama Eza berjalan ke arah kasir, Eza menyenggol lengan Aira, menatapnya dengan begitu dalam. "Ngapain ke toko roti?" tanyanya dengan mata menyipit.

Anak ini benar-benar tengil.

"Mau ngapain? Numpang nyuci, dek. Ya beli roti lah."

"Ah garing." Eza mendengus.

Aira mendengus dan melangkah ke arah etalase berisi cup cake dan donat. Eza menarik tangannya ketika Mamanya sudah selesai membayar.

"Ma," panggilnya sambil menghalangi jalan Mamanya. "Aku diajak pergi sama Kak Aira, nanti pulangnya diantar Bang Ares. Oke?" tanyanya dengan wajah serius.

Aira mengerutkan keningnya. Apa-apaan nih bocah.

"Kalian mau kemana, Aira?"

Dan bocah judes ini menyubit telapak tangannya. Benar-benar kurang ajar.

"Ke-ke Taman, Tante." Ucap Aira dengan pelototan tajam ke arah Eza.

"Yaudah boleh," ucapnya sambil mengusap sisi kanan wajah Eza, "Mama duluan kalau gitu. Tante duluan ya, Aira."

Eza mengangguk dan Aira mengikuti. Perempuan itu masuk ke dalam mobilnya. Setelah kepergiannya, Aira melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ehm. I need explanation, baby." Ucap Aira dengan mengancam.

"You'll get it, fetus."

"Masih gue liatin lo, Cah." Gumam Aira dengan senyuman sinisnya.

Unsteady Where stories live. Discover now