Unsteady 40

27.9K 5.1K 396
                                    


Sejak menerima transplantasi jantung dari orang yang paling ia sayangi, Ares berjanji bahwa ia akan bertanggung jawab atas Aga dan tidak akan mengecewakan papanya sendiri. Ares sadar diri, apa yang di lakukan Papa adalah sesuatu yang terlalu besar dan tidak pantas ia terima karena dirinya bukanlah darah daging laki-laki itu.

Ares akan menolaknya jika ia bisa. Namun Papa memaksa. Katanya itu adalah hadiah dari Papa untuk ulang tahun Ares yang ke-17.

Laki-laki itu sama sekali tidak berniat mengambil kebahagian Aga. Sama sekali tidak. Ia ingin adiknya itu bahagia.

Ares tidak mengerti lagi bagaimana mengekspresikan perasaannya yang terluka saat ini. Ia merasa takut, bersalah, tidak bertanggung jawab, bodah, pembawa sial. Laki-laki itu tidak tahu caranya menangis karena selama ini ia diminta untuk menjadi seseorang yang tidak gampang menangis.

Bayangan Aga bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya dan memuncratkan darah terus berputar di kepalanya. Membuat dirinya semakin marah. Marah karena ia tidak bisa bertanggung jawab. Ares tau Aga terlalu terpukul ketika kehilangan Papanya, tapi, bukan hanya dia yang merasa seperti itu. Ares juga, bahkan dengan rasa terpukul yang lebih besar.

"Tante segera pulang, Sayang." Ucap seseorang melalui sambungan telpon. Ares mengangguk kaku, walau ia tahu gerakan itu tidak mungkin bisa dilihat, lalu setelahnya laki-laki itu mematikan ponselnya.

Ah, Tuhan... bisiknya ketakutan.

Kedua tangannya meremas rambutnya, matanya panas dan ia tidak tahu harus bagaimana lagi, harus menyalahkan siapa. Ia menangkup wajahnya, merasakan emosinya yang meledak sampai ke ubun-ubunnya. Tangan kanannya yang memegang benda pipih itu mengepal.

Suara bantingan itu memecahkan keheningan malam.

Koridor rumah sakit itu sudah sepi, namun Ares masih belum beranjak dari sana. Agung membiarkannya sendiri atas permintaan Ares, ia kemudian mengurus segala urusan masalah Aga.

Lalu suara langkah kaki tergesa-gesa itu membuat Ares menoleh. Perempuan yang ceria itu nampak khawatir, Ares mendongak dengan tatapan putus asa, matanya berkaca-kaca dan ia hanya menggelengkan kepalanya dengan kaku.

"Ares..." bisiknya sambil berjongkok dan memeluk laki-laki itu. Ia tahu Ares menangis dengan suara yang teramat pelan. Ia bisa merasakan perasaan hancur laki-laki itu. Ia bisa merasakan emosi yang terpendam.

Helaan napas yang keluar dari mulutnya cukup berat. Ares terdiam kaku dalam pelukan Aira setidaknya pelukan perempuan itu memberikan sedikit keringanan.

"I'm afraid," bisiknya pelan.

"It's okey," kata Aira menenangkan sambil mengelus punggung laki-laki itu. "Gue disini, Res. Jangan takut."

***

Dulu saat Ares membaca teori-teori tentang adanya kesempatan kembali masa lalu, ia pikir itu gila, tentu saja. Itu benar-benar merusak hukum alam. Tapi entah mengapa saat ini ia berharap mesin waktu itu nyata. Memberitahukan Papanya bahwa ia tidak bisa menjaga Aga dengan benar.

Laki-laki itu memejamkan matanya, bersandar pada pintu, mendongak dan menahan air mata yang akan jatuh. Beberapa kali ia membentak dirinya bahwa laki-laki tidak boleh cengeng.

"Ares," suara Rafi terdengar pelan disusul dengan ketukan pintu. "Ares, gue tau lo gak tidur. Gue tau lo dengar. Ares, penyesalan lo itu gak ada artinya, dia gak akan balik lagi, Res. Gue mohon, jangan buat diri lo merasa terbebani dengan masalah Aga. Itu bukan salah lo,"

Ares diam. Tau apa mereka tentang perasaan hancurnya saat ini?

Laki-laki itu memejamkan matanya, mengusap wajahnya dan menempelkan dahinya di lutusnya yang tertekuk. Memikirkan seberapa besar salahnya pada Tuhan.

Unsteady Where stories live. Discover now