Unsteady 37

35.1K 5.5K 1.2K
                                    

Layaknya kotak yang menyimpan kenangan, begitulah Ares mengibaratkan sebuah rumah yang kini ditatapnya. Laki-laki itu menutup pintu, memperhatikan ruang tamu itu dengan seksama. Matanya mengarah ke arah TV, dimana sosok laki-laki yang umurnya tidak beda jauh dengannya tengah duduk sambil memegang stick PS.

"Lo sakit masih aja main game." Ares berjalan ke arah stopkontak dan mencabut steker hingga TV itu mati.

"ARG!" Aga refleks berteriak kesal. "Apaan sih lo! Lagi asik main game juga!"

"Pikirin tuh luka lo!" Balas Ares, laki-laki itu kembali mencolokkan  steker itu ke stopkontak dan mengibaskan tangannya di depan wajah Aga. "Belajar lo atau gak istirahat! Otak lo game aja."

"Ye, sewot." Aga memandang protes Ares. "Masih mendingkan gue main game daripada gue mainin cabe-cabean?"

Ares melayangkan tatapan tidak peduli. "Urus aja dulu luka lo itu baru jagain cewek."

"Lah kapan gue bilang mau jagain?" Kening Aga berkerut. "Perasaan gue bilang mainin dah. Sakit mungkin telinga lo."

Laki-laki dengan kaos abu-abu itu duduk di samping Aga. Ia menoleh dengan tatapan memperingatkan. "Cewek itu dijaga, bukan dimainin. Ngerti lo?"

"Sok bijak." Sindir Aga.

Ares tidak membalas lagi. Laki-laki itu memilih diam dan menonton acara berita. Dan Aga masih disampingnya, mengeluarkan ponselnya dan bermain game. Ini situasi yang menurut Ares sedikit canggung.

Dia masih belum bisa menebak apakah Aga sudah bisa menerima dirinya seperti dulu lagi atau belum. Sikap laki-laki itu masih sama, ketus, yah walau tidak ada bedanya dengan dulu. Namun dari cara Aga menatap matanya, semua dipenuhi dendam dan Ares mengerti akan hal itu.

Ini hari pertama Ares tinggal di rumah Aga, entahlah Ares bingung harus menyebutkan ini rumah siapa, pasalnya ia kan hanya anak angkat.

"Gara-gara cewek?" tanya Ares tanpa menoleh.

Aga mengangkat kepalanya, "Maksud lo?"

"Lo tawuran gara-gara apa?" Kali ini Ares menoleh selama beberapa detik. "Mereka ganggu lo atau gara-gara cewek?"

Aga menunduk, fokus pada game yang tengah ia mainkan. Ares memperhatikan laki-laki berambut hitam dengan sweater berwarna hijau lumut itu.

"Pertama, gue gak bisa biarin mereka menyiksa manusia cupu di depan gue. Kedua, mereka rame-rame nonjok gue karena gue dianggap pahlawan. Ketiga, gue gak terima dan gue lawan. Keempat, kita sering jumpa deh."

"Sakit jiwa lo." Tanggap Ares.

Aga mengangkat bahu. Dari raut wajahnya Aga yakin bahwa Aga tak ingin membicarakan hal itu. Tapi Ares wajib tahu.

"Lo main game apa sih?"

"ML."

Kening Ares berkerut. "Game making love gitu?"

Aga berhenti menggerakan jarinya di atas layar handphone dan menatap saudara laki-lakinya itu dengan tercengang. "Mobile Legend."

"Oh," Ares manggut-manggu. Lagian ia juga tidak hobi main game. Lebih baik ia melukis ataupun belajar rumus-rumus yang ada di buku ekonomi daripada bermain game.

Ares manarik napa dalam-dalam. Mengusap wajahnya dan menyandarkan badannya pada badan sofa.

"Ga, lo kenapa sih bisa setolol itu pake narkoba?"

Pertanyaan itu menyentak Aga, ia sebenarnya tahu pertanyaan itu akan keluar dari mulut laki-laki itu. Namun ia tak menyangka Ares akan membahasnya sekarang. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih ke sudut.

Unsteady Where stories live. Discover now