Unsteady 30

41.6K 5.7K 1.4K
                                    

1k komentar?

***

Dunia kita ini penuh dengan kalimat yang tidak terucap karena tidak adanya kata yang tepat. Maka itu, Ares memilih diam sejak hingga detik ini. Mobil yang ia kendarai sudah bergerak semenjak 1 jam yang lalu. Menikmati kota yang mulai kembali bekerja.

Fajar datang menyapa, seolah berkata, ayo mulai kembali hidup ini. Kalimat yang begitu sulit untuk Ares ucapkan karena dirinya yang kaku. Entah untuk keberapa kali, ia melirik gadis itu. Sikunya bertumpu pada kaca dan pandangannya terus menerus keluar.

Meski pengakuan tadi membuat gadis itu sedikit senang, bukan berarti ia mampu melupakan kejadian beberapa jam lalu.

"Gue antar pulang?" tanyanya memecahkan keheningan. "Udah cukup sedihnya."

Perempuan itu menoleh, mengangguk cepat. "Hm,"

"Lo sering berantem sama Papa lo?" Ares bertanya dengan nada hati-hati, pasalnya itu topik yang cukup sensitif.

"Nggak, baru kali ini doang." Jawabnya dengan lesu, Aira mengubah posisi duduknya menjadi bersandar sambil memejamkan matanya. "Papa duluan yang mulai. Gue tau dia belum nerima gue sebagai anaknya."

"Kenapa?"

"Karena beberapa hari setelah melahirkan gue, Mama meninggal. Lagian," Aira bangkit dari tidur. "Gue gak minta dilahirkan! Kenapa Papa harus marah sama gue?!"

"Lo cewek mulutnya gak boleh kasar."

"Gue Cuma kesal," Perempuan itu mendesah keras-keras lalu melipat kedua tangannya. "Dia pikir, dia doang yang kangen Mama? Gue juga. Bahkan lebih. Dia aja yang nggak ngerti perasaan gue."

Hening sejenak, hanya terdengar suara desisan Aira yang masih kesal. "Dia sebenarnya sayang sama gue gak sih?"

"Orang tua mana yang nggak sayang sama anaknya?" Ares menoleh sekilas. "Ra, Papa lo butuh waktu. Ibarat setiap kali liat lo, lukanya kembali terbuka, membuatnya sakit. Sebab Papa lo belum terbiasa hidup tanpa Mama lo."

"Tapi sampe kapan?!" tanya Aira dengan melotot. "Sampe gue mati?"

"Sampai dia bisa menatap lo sebagai anaknya, bukan sebagai luka lama."

"Lo tau gak sih Res, Papa gue itu muncul setelah 17 tahun gue berpisah sama dia. Dan nyatanya selama 17 tahun itu juga dia belum bisa nerima gue."

Tepat di depan rumah Aira, mobil itu berhenti. Ares menarik napas dan menghelanya dengan pelan. Tersenyum tipis.

"Seenggaknya dia masih mencoba, Ra. Papa lo mencoba menerima lo. Papa lo mencoba melihat lo sebagai Aira, bukan sebagai si pembawa luka. Masalahnya, terkadang kenangan yang menyakitkan bisa membuat seseorang meledak dalam sepersekian detik."

Aira menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Tapi gue kesal."

"Ra," panggil Ares dengan pelan, ia kemudian menoleh ke kanan, dimana sosok laki-laki paruh baya di balik gerbang hitam itu tengah dengan duduk dengan ekspresi gelisah. "Papa lo khawatir sama anak perempuannya yang semalem marah sama dia."

"Arg!" Aira menendang kaki Ares. "Gue mau marah sama Papa, tapi kenapa lo buat gue jadi merasa bersalah!"

"Apa lo pantes marah sama orang tua lo?"

Aira menarik napas, "Gak tau." Katanya sambil membuka pintu mobil. "Gue pamit."

"Baikan sana," kata Ares sebelum Aira turun. "Gak baik berantem sama orang tua. Nanti salim, terus bilang sama Aira minta maaf Pa."

Aira memutar bola matanya, matanya bengkak dan perempuan itu terlihat sedikit mengerikan. Namun Ares tidak berkomentar apapun soal itu.

"Nggak mau."

Unsteady Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang