Unsteady 26

33.4K 5.1K 487
                                    

Seperti bumi yang berputar mengelilingi matahari, seperti itulah kenangan mengelilingi Ares. Kata seseorang padanya setahun yang lalu, semua butuh proses agar Ares bisa menerima kenangan pahit itu semua. Dan entah sampai kapan proses itu terhenti.

Setahun lalu, tepat di usianya yang ke 17 tahun lalu, ada sebuah hantaman besar pada hidupnya. Iya, tepat setahun lalu persis pada ulang tahunnya. Karena itu Ares benci akan hari lahirnya itu.

Masih segar dalam ingatannya, dalam sebuah ruangan putih itu ia melihat seseorang memberikan hal yang tidak pernah Ares sangka sebelumnya. Ares pikir ia akan kembali pada Penciptanya. Namun salah.

Laki-laki itu bersandar pada bagian depan mobil, memasang earphone ke telingannya lalu menggeser tombol hijau di handphonenya dan memasukkan handponenya ke dalam saku. Kulitnya sibuk menikmati semilir angin malam. Jam 1 pagi hamparan pemandangan pantai di depannya terlihat begitu menenangkan.

"Aku gak bisa tidur nih, Bang. Kasian banget tuh bayi Abang."

Ares memasukkan tangan kirinya ke dalam jaketnya. "Bayi?"

"Itu lho, bayi besar Bang Ares yang nakal itu." Eza memperjelas. "Dia tadi curhat sampai dua jam. Aku cuma bisa diem sambil mikir, aku gak ngerti masalah orang dewasa."

Katakan Ares jahat ketika semua orang memberinya kejutan dan ia malah marah. Bukan seperti itu maksud Ares. Ia hanya meledakkan emosi ketakutan masa lalunya. Sama seperti setahun lalu ketika kejutan itu menghantam dirinya.

"Dia cerita masalah apa?"

"Masalah hati, katanya. Errrr..." Eza terdiam sebentar. "Dia kok curhat sama anak kecil sih? Aku kan jadi bingung. Aku pengen ketawa denger dia nangis tapi kasihan. Gimana ya, aku bingung."

Ares tertawa kecil, mengangkat bahunya karena dingin. "Kalian temenan emangnya? Kok tumben kamu baik sama dia?"

"Enggak ih! Males. Aku cuma... hem... apa ya... gak tau..."

"Kak Aira cerita apa tadi?"

"Katanya rahasia kak, gimana dong?"

Ares mengerutkan keningnya tidak senang. "Lupa ya? Kan gak boleh ada rahasia diantara kita berdua. Mau dipecat jadi adik Abang?"

"Jangan atuh Bang. Kita kan brother. Ya? Ya? Ya?"

"Makanya cerita, nanti Abang beliin robot keluaran terbaru deh." Ares mengusap tengkuknya. Laki-laki itu duduk di bagian depan mobil dengan kaki bersila.

"Dia ngomongnya cepet banget sambil nangis kejar gitu. Aku cuma bisa nangkap dikit sih. Orang Jenius juga gak ngerti inti cerita dia itu apa."

"Nangis?"

"Iya. Tapi nangisnya gak elite, berisik banget sampe aku kaget waktu angkat panggilan dari dia. Kak Aira bilang gak ada yang berniat merayakan hari lahirnya. Gak ada yang sayang dia. Dia nangis tuh, terus ngomong lagi kalau Abang bentak-bentak dia waktu Kak Aira kasih surprise, padahal dia mau merayakan hari lahirnya bareng sama Abang."

"Terus?"

"Nabrak deh."

"Eza..."

"Eh iya, ya terus aku cuma bisa diem. Dia bilang semua orang nggak pernah anggap dia hidup. Papanya juga gak ngucapin apa-apa di hari lahirnya. Cuma diem waktu dia pulang ke rumah."

Ares menghela napas. "Yaudah, kamu tidur gih. Udah malem."

"Nyuruh doang. Abang juga tidur."

"Iya. Udah dulu ya."

Ares mematikan sambungan telepon, mencabut earphone itu dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Ares memegang dada kirinya, tempat jantung berada, merasakan detaknya dalam sunyi malam ditemani debur ombak.

Unsteady Where stories live. Discover now