Unsteady 14

37.7K 4.7K 412
                                    

Aira meremas kedua tangannya saat melihat gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Perempuan itu meringis dan menggigit bibir bawahnya. Dari balik kaca mobil, Aira bisa melihat Pak Burhan dengan kumis tebalnya tengah berdiri di tengah gerbang sambil membawa sebuah buku yang ia gulung di tengan kanannya.

"Aku pulang aja kali ya, ehm, Pa?" Aira menoleh, menatap ragu laki-laki dengan wajah kaku di sampingnya.

"Nggak papa." Ucap Papanya dengan singkat. "Itu bukan masalah yang besar. Paling hanya di suruh menyusun buku atau menyapu?"

Aira menghela napas keras-keras. Kalau saja ia bisa bangun lebih cepat dan naik bus, sudah pasti ia tidak akan terlambat.

Laki-laki dengan jas hitam yang sama kakunya dengan wajahnya. "Kalau mau pulang juga gak papa."

Percakapan ini begitu datar. Hampa. Seolah hanya menjawab seadanya tanpa berusaha memancing percakapan agar lebih ringin. Aira menyenderkan punggungnya di kursi, menggelengkan kepalanya.

"Yaudah, Aira pergi dulu." Aira memasangkan tali ranselnya pada pundaknya, merapikan dasi dan tali pinggangnya. Dan gerakan sibuk Aira tidak luput dari mata Papanya yang dibingkai oleh kaca mata.

"Kamu cantik. Mirip Mama kamu."

Ucapan itu membuat gerakan air terhenti seketika. Papanya tersenyum tipis, terlalu kaku bahkan di depan anak perempuannya. Rambutnya mulai memutih dan wajahnya terlihat sedikit keriput, termakan usia.

"Kalau aja aku bisa minta sama Tuhan untuk ambil nyawa aku dan digantikan dengan Mama. Aku bakalan melakukan itu," Aira menggigit bibir bawahnya, ia memandang ke arah jendela. "Sometimes, you act like I hurt you, Pa."

Dengan gerakan cepat, Aira membuka pintu, menghapus air matanya yang jatuh. Melangkah dengan cepat, memandang Pak Burhan dengan datar dan marah.

Pak Burhan baru saja membuka mulutnya, siap untuk menyerang murid-murid yang tidak bisa disiplin. Tetapi murid perempuan itu langsung berbicara.

"Saya tau diri kalau saya terlambat. Yaudah hukum saya aja, tapi tolong jangan dimarahin." Matanya berkaca-kaca. "Jangan dimarahin ya pak?"

Pak Burhan menutup mulutnya kembali, memicingkan mata dan hendak berkata sesuatu namun kembali menutup mulutnya lagi. Laki-laki paruh baya itu menghela napas.

***

Sambil menunduk dan melangkah ke arah sudut perpustakaan, Aira mengambil handphonenya dari saku rok abu-abunya. Beberapa kali ia melirik petugas perpustakaan yang disuruh mengawasi Aira untuk menyusun buku yang tidak sempat dibereskan kemarin.

Nada sambung terhubung namun tidak di jawab, Aira mencoba sekali lagi, bersembunyi di samping lemari buku-buku langka. Senyumnya mengembang ketika teleponnya di jawab, namun hening.

"Ares," ucap Aira dengan pelan sebagai pembuka.

"Hm," laki-laki bernama Ares itu hanya berdehem datar. Nampak tidak peduli. Namun senyum Aira mengembang ketika Ares bertanya sesuatu. "Kenapa gak datang lo?"

"Nah itu dia Res, ada sedikit masalah yang membuat dunia kita semakin runtuh."

"Kenapa? Es krim lo jatoh?" tanya Ares dengan tenang.

Aira menyengir, "Enggak kok, enggak, sans aja Gan, es krim gue masih di kulkas. Aman terkendali."

"Terus?"

"Datang ke perpus sekarang deh! Cepetan! Ini gawat Res, gawat!"

"Gawat kenapa?" dari nada suaranya, Ares terdengar mulai panik.

Unsteady Donde viven las historias. Descúbrelo ahora