Unsteady 16

39.7K 5.4K 1K
                                    

Nyatanya walaupun gerakan Rafi yang gelisah menyita perhatian Ares, tidak sedikitpun laki-laki itu benar-benar memperhatikan Rafi. Diantara jari telunjuk dan tengahnya ada sebuah pensil yang sejak tadi Ares mainkan sambil berdiam diri ditengah kelas yang hanya terisi setengah dari jumlah murid yang ada dibuku absen.

Ini bukan terlambat lagi.

Sudah istirahat dan Aira belum datang membuat Ares mengerutkan keningnya. Beberapa hari yang lalu gadis itu memang terlambat lalu menelponnya.

Melihat Rafi yang sibuk mencari sesuatu di laci Aira membuat Ares melirik sahabatnya yang nampak gelisah itu. Matanya sibuk bergerak, seolah harus teliti.

"Kenapa sih?" Kali ini Ares bertanya, mulai penasaran dengan tingkah aneh Rafi.

Dan laki-laki yang tengah berjongkok itu melihat Ares dengan tatapan lelah.

"Botol minum merek tupperware gue hilang Res, nyokap gue marah, katanya itu baru beli."

Jawaban Rafi membuat Ares terkekeh, Rafi memang terlalu sayang dengan Ibunya, membuat laki-laki itu jadi takut ketika Ibunya marah. Karena tidak mendapat apa yang dia cari Rafi akhirnya duduk di bangku kosong yang biasanya ditempati Aira.

"Mampus lo Fi dimarahi sama Emak lo." Ejek Ares sambil terkekeh, laki-laki itu memutar-mutar pensil diantara celah jarinya. "Kalau gue jadi Emak lo, gue bakalan kutuk lo. Lo gak tau apa kalau tupperware itu lebih berharga dari pada nyawa lo?"

Rafi berdecak, mengacak rambutnya. "Tau ah, mampus. Gue gak peduli. Lagian ini kelas apa-apa hilang. Gak botol minum gue, pensil, tip ex, apa aja. Untung hati gue enggak."

"Mulai deh lo" Sahut Ares dengan tatapan kesalnya.

Rafi melirik Ares yang menggamar bunga Lavender, sudah bagus, sangat bagus tetapi Rafi yakin itu belum selesai. "Betewe, Aira mana?"

Ares menoleh sekilas, sedetik saja lalu kembali menundukkan kepalanya menggoreskan pensilnya ke atas lembaran putih itu. "Gak tau."

"Terus terus lo merasa kehilangan gak Res ini keran bocor gak datang?"

Mendengar itu Ares mengangkat kepalanya, mengangkat bahunya dan kembali pada kegiatannya. "Agung mana?"

"Oh, lagi di kantin sama gebetannya. Biasalah, menggatal." Ucap Rafi dengan nada maklum.

Ares mengangguk, lalu mendengar bel masuk berbunyi. Rafi meletakkan kepalanya di atas meja, menghela napas keras-keras. "Mana lagi nih botol minum!" serunya kesal.

Ares tidak menanggapi, menutup sketch booknya ke dalam laci ketika melihat Bu Sri, wali kelas mereksa masuk ke dalam kelas. Wanita paruh baya dengan rambut sebahu itu memang terkenal sangat-sangat disiplin. Bahkan ketika bel masuk berbunyi, tidak sampai satu menit, maka perempuan itu akan masuk ke dalam kelas.

Agung datang dengan mulut menguap lebar-lebar dan berjalan dibelakang Bu Sri.

"Rido mengundurkan dari jadi ketua kelas." Ucap Bu Sri ketika baru saja meletakkan bukunya di atas mejanya.

Sontak sekelas melihat ke arah anak laki-laki yang dengan wajah mengantuknya sedang menyengir. Ketika merasa anak-anak didiknya akan melempari remaja laki-laki itu dengan pertanyaan, Bu Sri berdehem.

"Jadi, siapa yang bersedia mengajukan diri?"

Rafi yang tengah duduk di kursi Aira dan belum sempat berpindah melirik Ares. Pun dengan laki-laki itu yang tahu maksud Rafi. Rafi selalu ingin menjadi ketua kelas.

"Angkat tangah gih lo," pinta Ares.

Rafi mendengus. "Ya kali gue angkat kaki, Res."

Dua detik kemudian dengan senyum sumringah, setelah melihat kelas yang hening, Rafi mengangkat tangan dengan percaya diri. "Saya Bu!"

Unsteady Where stories live. Discover now