Unsteady 43

29.8K 4.8K 961
                                    

Di luar sedang hujan deras, menimbulkan suara yang amat berisik namun menenangkan. Perpaduan antara air dan tanah yang bertabrakan. Aira memperhatikan satu meter dari balik jendela, kedua tangannya terlipat dan kepalanya berada di atas lipatan tangannya.

Nyatanya, setelah Ares mengiyakan bahwa mereka secara resmi benar-benar putus, Ares sama sekali tidak menghubunginya.

'Tetapi bukankah itu permintaannya? Bukan memang dia yang menginginkan agar hubungan mereka putus.

Aira menghela napas, coklat panas yang ada di depannya bahkan sudah tidak menarik lagi di depannya, Perempuan itu bahkan belum mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian rumah dan itu menandakan bahwa ia belum mandi. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 19.20.

Dengan lesu perempuan itu mengambil ponselnya, mencari kontak seseorang dan kemudian menekan tombol hijau.

Beberapa nada sambungan terdengar, akhirnya suara itu muncul.

"Apa sih? Lagi banyak PR nih," sahut suara yang menggemaskan itu.

"Gue galau tau gak sih lo!"

"Ya jangan galau, atuh, ribet."

"Ezaaa..."

"Apa, Kak? Aku lagi pusing ini ngerjain PR bahasa Inggrisku."

"Plisss," kata Aira memohon dengan nada bergetar, membuat seseorang di sebrang sana terdiam. "Gue lagi sedih."

"Sedih kenapa?"

"Za," Aira duduk tegak, menghapus air matanya dengan cepat. "Bang Ares ada cerita gak sih kalau dia bakalan pergi jauh gitu?"

Hening selama beberapa menit, membuat Aira mengerutkan keningnya.

"Enggak, emang mau kemana?"

"Enggak tau." Balas Aira dengan cepat.

"Becanda kali."

"Serius dia tadi ngomongnya, ya kali becanda."

"Terus?"

"Gue putus sama Abang lo," kata Aira dengan pelan.

Lagi-lagi Eza diam, Aira tahu bahwa anak laki-laki itu sedang berpikir keras. Namun sayang, Aira tidak tahu apa yang dipikirkan Eza.

Aira bukan gila curhat pada anak itu, hanya saja, terkadang, dalam beberapa hal dan waktu anak laki-laki itu lebih dewasa dibandingan dirinya. Itulah yang membuatnya senang bercerita pada Eza.

"Aku belum ada ke rumah Bang Ares," Eza membuka suara. "dia juga gak ada keluar rumah."

"Za, menurut lo, apa gue semenyebalkan itu dimata Ares? Katanya, dia minta gue ngertiin dia, padahal gue selalu ngertiin dia, apa yang kurang coba?"

Emosinya naik dan tanpa sadar air matanya keluar.

"Kurang pengertian apalagi sih gue? Dia malah yang gak pernah ngertiin gue. Taunya marah-marah doang."

Hujan masih turun dengan deras, seolah menjelaskan perasaannya bahwa ia tengah sedih.

"Dia tuh yang bego! Pergi seenaknya! Tolol kali ya, tuh cowok."

Bagaimana cara Ares berkata bahwa mereka putus membuat perasaan Aira semakin tidak karuan. Ia sudah terlanjut nyaman dengan cowok itu. Karena Ares pula-lah iya jadi semangat belajar.

"Apa semua cowok emang tolol kayak Ares?" tanya Aira dengan emosi yang menggebu-gebu.

"Kalau semua cowok tolol, berarti Papa kak Aira juga dong?"

"Ya bukan gitu!" Karena sedih, ucapan Eza kini seolah membuat Aira berkali-kali lipat merasa kesal. "Ini tuh pengibaratan."

"Ya kan, aku gak tolol,"

Unsteady Where stories live. Discover now