Unsteady 34

33.4K 5.2K 761
                                    

Selamat membaca! Jangan lupa vote dan komen ya ❤

***

Sebenarnya sampai sekarang, Aira masih belum mengerti bagaimana jalan pikiran Ares. Saat perempuan mempunyai masalah, maka dengan mudahnya mengeluarkan air mata. Lalu laki-laki? Yang Aira tahu, mereka bisa marah dan melampiaskannya pada sesuatu.

Ya itu sih kebanyakan laki-laki, beda halnya dengan Ares. Yang sejak dua jam tadi diam sambil menutup matanya. Yang Aira tahu, dalam kepala laki-laki itu terjadi ledakan emosi dalam diam. Tidak bisa disampaikan dengan lisan maupun nonverbal.

Aira tidak suka keheningan, karena ia takut menepi dengan sepi.

Kota Jakarta mulai disambut dengan semburat jingga. Cahaya cantiknya tertutupi dengan gedung-gedung tinggi. Jam menunjukkan pukul 5 sore, mengingatkan Aira bahwa sudah dua jam lebih Ares menutup matanya dan mengatupkan rapat-rapat bibirnya.

"Udah ya, Res." Tangan Aira menepuk ragu pundak laki-laki itu. "Kalau mau cerita aku hm, bisa dengerin kok."

Tidak ada balasan.

Laki-laki itu bergerak, menyandarkan badannya pada bangku besi itu dan memasukkan kedua tangannya. Kemudian, kembali diam.

"Ares," panggil Aira.

Ares menarik napas. Masih tidak menjawab.

"Res,"

"Hm," itu suara yang pertama kali dikeluarkannya semenjak diam dalam dua jam.

"Lo laper? Lo capek ga? Lo haus? Hm, atau lo mau berbagi cerita sama gue?" Aira bertanya dengan heboh. "Lo mau apa? Apa yang bisa gue bantu biar lo gak sedih lagi."

Untuk pertama kalinya, Ares membuka matanya, kemudian menghadap ke arah Aira. "Diem."

"Hah gimana?"

"Lo mau bantu gue kan?" tanya Ares dengan serius, Aira otomatis mengangguk. "Yaudah, lo diem. Suara lo ganggu gue dari tadi."

"ARES!"

Refleks, Ares menutup mulut Aira dan melotot. "Ini rumah sakit! Jangan berisik!"

Setelah menepis tangan Ares dengan sebal, Aira memutar bola matanya. "Biarin aja, lagian kan ini lagi sepi."

"Rumah sakit itu gak pernah sepi, Ra."

"Ah masa sih?"

"Hm," Ares mengangguk. "Rumah sakit itu penuh dengan arwah yang gentayangan."

"Ih beneran?" perempuan itu melotot.

"Iya, bener!" Kata Ares antusias, "jadi lo kalau ngomong, suaranya kecil dikit, kasian arwahnya kaget."

"Ares! Kenapa ngelawak?!" Aira menatapnya sebal, perempuan itu melipat kakinya dan menghela napas berkali-kali. Lalu menyenggol Ares yang kini kembali diam dan menutup matanya.

"Res, mau gue peluk?"

Ares menggelengkan kepalanya.

"Mau gue elus-elus pundaknya?"

Masih menggelengkan kepalanya.

"Ah, mau gue cium?"

Kali ini Ares dengan gerakan cepat, menjepit pipi Aira dan memukul pelan bibir gadis itu. "Sekali lagi asal ceplos, gue tabok lo!"

"Eh ampun!" Perempuan itu memukul pelan tangan Ares yang menjepit pipinya.

Ares menggerutu sebal, keberadaan perempuan menyebalkan ini membuat Ares ingin sekali menutup mulutnya dengan lakban.

Unsteady Where stories live. Discover now