Unsteady 35

33.3K 5.5K 1K
                                    

Setelah tadi berdebat panjang dengan Agung di depan ruangan Ares karena laki-laki itu memaksa Ares untuk pulang. Kaget mendapati sahabatnya itu berdiam diri di kursi tunggu dengan tatapan kosong sambil melipat kedua tangannya.

Agung melotot, memaksanya dengan perdebatan yang cukup sengit karena Ares bersikukuh akan menjaga Aga yang tengah tertidur karena efek obat.

Maka, disinilah ia sekarang. Menjatuhkan tubuhnya pada sebuah kursi yang berada di teras rumahnya. Pagar rumahnya masih terbuka dan Ares sama sekali tidak berniat menutupnya.

Pikirannya kacau. Rasa bersalah karena tidak bisa menjadi sosok kakak yang tidak berguna menghantuinya. Bagaimana detak jantungnya meremukkan tulang-tulangnya. Ah, begini rasanya menjadi orang yang gagal melaksanakan tanggung jawab.

Merasakan langkah kaki yang semakin mendekat, Ares mendongak. Mendapati bocah laki-laki yang tengah berjalan dengan pincang ke arahnya. Siapalagi kalau bukan bocah yang menemani harinya selama setahun ini.

"Kaki kamu kenapa?" tanya Ares dengan kerutan di dahinya.

Eza meringis. "Keinjak poop si Gadis, Bang." Jawabnya lalu melepas sendalnya dan duduk di samping Ares.

"Si Gadis?"

"Iya, kucing peliharan aku. Jumpa di jalan tadi."

Ares menghela napas, ada-ada saja bocah ini. Laki-laki itu mengusap wajahnya yang pias dengan telapak tangannya.

Saat ini ia tidak mood untuk menjahili bocah itu, entah kenapa. Biasanya setiap melihat Eza, mengingatkannya akan Aga. Dulu Aga selalu mengoceh dan menjahilinya.

"Bang, tadi aku denger Papaku ngomong sama Mama, dia bilang adiknya Bang Ares kecelakaan ya?" Eza bertanya dengan ragu.

Ares menoleh dengan kaku sambil menyipitkan matanya.

"Abang sedih ya?" bocah itu kembali melanjutkan, menunduk sambil memilin tangannya.

"Hm," Ares hanya berdehem pelan.

Bocah laki-laki itu menghela napas. "Gak usah sedih, Bang. Kalau Bang Aga mati, kan ada aku yang bisa gantiin!" ucapnya dengan semangat 45.

Ares terpelongo beberapa saat. "Hah?"

"Pokoknya, abang jangan sedih." Bocah itu menatap Ares dengan tatapan membara. "Kalau Bang Ag pergi, Aku siap gantiin posisi Bang Aga. Oke?"

Ares tertawa kecil, mengusap tengkuknya. Bocah ini...

"Oh iya, ini ada brownies titipan dari Mama buat Bang Ares. Tadi dia mau ke rumah sakit, tapi dengar ribut-ribut. Aku tahu soalnya tadi aku ikut."

Eza menyerahkan sebuah plastik pada Ares. Laki-laki itu terkekeh, menerima plastik itu. Bocah ini memang tidak terlalu mengerti bagaimana rumitnya cara berpikir Ares saat ini. Semuanya kacau, bagaimana perkataan Aga bagaikan alunan yang menghantam gendang telinganya dan jantungnya yang meronta ingin pecah.

Eza mungkin memang sekedar anak kecil. Namun bersama anak laki-laki itu, Ares seolah menemukan sebuah keakraban dalam saudara yang telah lama tidak ia rasakan. Caranya mengeluh, memberi semangat, bertengkar atau apapun itu seolah membuat Ares merasa ia nyata di hadapan seseorang.

Faktanya cara sederhanalah yang membuat seseorang merasa istimewa.

"Bilang Makasih sama Mama kamu." Ares berdiri, membuka pintu. "Mau ke dalem dulu atau langsung pulang? Udah malam nih."

"Cuci kaki dulu deh. Sama itu, Aku cicip browniesnya dikit dong, Bang." Anak laki-laki itu berjalan mengikuti Ares dengan langkah pincangnya. "Aku pengen cobain."

Unsteady حيث تعيش القصص. اكتشف الآن