Unsteady 33

33.6K 5.5K 1.3K
                                    

Entah sudah berapa kali pintu itu dilewati oleh siswa berseragam sama yang dipakai Aira, tetapi sosok yang ditunggunya sedari tadi belum juga menampakkan diri. Perempuan itu menghela napas ketika yang muncul dari pintu kelas adalah Agung yang datang dengan gaya tengilnya. Aira kembali memakan rotinya, mengunyah dengan gaya sebal.

"Apa lu liatin gue?" tanya Agung dengan gaya songongnya sambil meletakkan tasnya di atas meja.

Aira memutar bola matanya. "Siapa yang liatin lo?! Gue liat dinding itu, soalnya bagus."

"Yew," Agung mengusap rambutnya. "Alasan aja lo. Suka lo ya sama gue?"

"Eh Agung," Aira menunjuk laki-laki itu dengan tidak senang. "Tembok kelas kita lebih enak dipandang daripada muka lo!"

"Dasar," cibir Agung sambil duduk dan mengeluarkan ponselnya.

"Rafi mana?" tanya Aira ketika melihat sisi kiri bangku Agung masih kosong, tidak ada tas.

"Gak sekolah, capek katanya."

"Idih capek apa?"

Agung menoleh, "Capek sama hidup yang berat ini."

"Najisin."

Agung kemudian menyipitkan matanya, "Ares mana?"

Aira mengangkat kedua bahunya, "Enggak tau." Jawabnya singkat.

"Telpon gih, nanti ada apa-apa lagi, biasanya jam segini sih udah datang." Saran Agung.

Aira melihat ke arah lain, memutar bolanya seakan mempertimbangkan saran dari teman Ares itu. Ia kemudian menggerakkan kepalanya ke kanan lalu menyipitkan matanya.

"Enggak deh."

"Ye," celetuk Agung. "Yaudah deh, gue aja."

Belum sampat Agung menelpon Ares, laki-laki itu sudah berada di depan kelas. Berjalan dengan gayanya seperti biasa –menyampirkan tali tas ransel di bahu kiri dengan kedua tangan berada aman di dalam saku.

Aira menahan napas untuk sesaat, ia menunduk. "Mampus, anjir." Bisiknya dalam diam.

Langkah Ares yang semakin dekat membuat pipi gadis itu memanas dan tangannya menjadi dingin. Ia mendongakkan kepalanya ketika Ares meletakkan tasnya di atas meja dan duduk dengan ekspresi seperti biasa. Datar.

Aira tidak tahu apa yang dipikirkannya saat itu. Entahlah, dia hanya ingin. Dia juga tidak tau keberanian darimana yang muncul dari dalam dirinya saat itu. Perempuan itu memakan sisa rotinya, buru buru menghabiskan susu kotanya.

"Lo kenapa?" tanya Ares sambil memperhatikan Aira.

"Eh?" Aira menoleh. "Gue kenapa emang?"

"Itu," Ares melihat tangan Aira "Tangan lo gemetar."

"Oh," Perempuan itu menggaruk kepalanya, "Iya gue lagi gugup. Hm, so-"

"Gugup kenapa?" tanya Ares dengan tenang.

Jawaban yang ingin gadis itu utarakan adalah karena ia ingat kejadian kemarin. Seberapa tinggi sih kepekaan Ares terhadap wanita?

"Soalnya ada ulangan matematika nanti."

Mendengar itu refleks Ares menghela napas, lalu mengangguk dan mengeluarkan sebuah buku bacaan dari dalam tasnya.

Untuk pertama kalinya, gadis itu merasa canggung. Pipinya memerah walau Ares tidak sadar itu. Ia berdiri, berjalan keluar kelas lalu membuang sampah. Perempuan itu menyandarkan punggungnya pada tembok, menarik napas dalam-dalam seolah oksigen sudah menipis.

Koridor yang ramai itu ia abaikan, karena perempuan itu berusaha menenangkan dirinya.

"Hari ini gak ada pelajaran matematika, Ra." Suara itu muncul persis di samping Aira, membuat perempuan itu buru-buru menoleh. Ares tengah bersandar pada tembok sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Laki-laki menghadap ke samping, tersenyum tipis, atau lebih tepatnya, mengejek.

Unsteady Where stories live. Discover now