2

39.4K 2.3K 19
                                    

"Novella!!"

Vella yang sedang sibuk berkutat dengan komputer mengangkat wajah, mengarahkan pandangan kepintu ruang atasannya, Bu Retni berdiri disana dan menatapnya, "Ya Bu?"

Bu Retni melambaikan tangannya memberi tanda supaya Vella masuk keruangannya. Vella mendorong kursinya kebelakang dan beringsut keluar dari balik meja, lalu berjalan menuju ruangan atasannya.

"Vella, bawa berkas ini keruangan Pak Rasid dan minta tanda tangannya, saya memerlukan berkas ini secepatnya." Bu Retni mengangsurkan map berwarna biru kearahnya begitu Vella sampai didekat mejanya.

"Baik Bu," Vella menerima berkas itu dan membawanya keluar, ia masuk kedalam lift dan menekan lantai enam, ruangan pak Rasid berada satu lantai diatas lantai tempat kerja Vella.

"Pagi Miss?" Vella mengangguk hormat menyapa Claudia yang datang dari arah depannya, tak lupa memasang senyum manis disudut bibirnya. Vella hanya bisa menarik nafas pendek sapaannya tak ditanggapi Claudia. Wanita itu melewatinya begitu saja seolah ia tak terlihat. Beginilah nasibnya sebagai pegawai rendahan, hanya sebagai pelengkap dalam perusahaan dan mungkin saja ia hanya butiran debu yang akan menghilang ditiup angin.

Vella mengetuk pintu ruangan Pak Rasid dan melangkah kedalam begitu terdengar suara pria itu menyuruhnya masuk.

"Pagi Pak, saya memerlukan tanda tangan bapak untuk berkas ini." Vella meletakkan berkas yang dibawanya didepan Pak Rasid.

"Baiklan Vella, biar saya periksa dulu." Pak Rasid tersenyum ramah dan membolak-balik berkas ditangannya kemudian membubuhkan tanda tangannya. Kemudian menyerahkan kembali ketangan Vella.

"Terima kasih Pak," Vella memutar tumit dan keluar dari ruangan Pak Rasid.

Karena berjalan menunduk dan sedikit terburu-buru ia tak melihat ada orang lain yang menuju kearahnya dan..

"AWWW!!!" Vella meringis kesakitan saat bokongnya mencium lantai, ia terjatuh dengan sangat tidak elit setelah bertabrakan barusan.

"Apa kau tak punya mata?? Kau sengaja menabrakku kan??"

Vella menengadah keasal suara dan tercekat mendapati tiga sosok yang berdiri didepannya. Dave dalam balutan stelan Armani-nya tengah mengawasinya dengan sorot mata dinginnya, disebelahnya ada Claudia yang mengelus-ngelus lengannya, rupanya ia yang bertabrakan barusan dengan Vella.

"Kau tak apa-apa?" Toni, asisten Dave membantu Vella berdiri dan menyerahkan berkas milik Vela yang terlempar kelantai.

"Tidak apa-apa, terima kasih Pak Toni," Toni mengangguk dan mundur selangkah kesamping bosnya, dengan takut-takut Vella mencoba menatap Dave yang seperti ingin menelannya, "Maafkan saya Mis Claudia, saya tidak sengaja, saya tidak lihat ada Miss tadi," Vella membungkukkan badannya memohon maaf.

"Maaf!!! Enak saja kau minta maaf, bagaimana kalau aku sampai jatuh tadi? Kau mau tanggung jawab ha!!! Dasar manusia tidak berguna!!!" Claudia mendorong Vella kasar dan menoleh kearah Dave, "Sayang, masak kau diam saja sih, ambil tindakan donk," Claudia merengek dan bergelayut manja dilengan Dave.

"Siapa namamu dan dari divisi mana?" tanya Dave datar dan dingin sedingin sorot matanya, membuat Vella menciut.

"Novella Maharani Pak, dari divisi keuangan." Suara Vella bergetar, ia sudah bisa menebak tindakan Dave selanjutnya. Ia akan bernasib sama dengan karyawan lain yang disingkirkan dengan cara tidak hormat dari perusahaan Dave.

Dave nampak menghubungi seseorang, "Bu Retni, persiapkan surat pemecatan Novella Maharani sekarang juga!!!"

Meski sudah menduganya tak urung Vella terkejut juga, Dave sungguh keterlaluan, masak karena tak sengaja menabrak Claudia ia dipecat?

"Tapi pak, kenapa saya dipecat? Saya kan tidak sengaja lagi pula saya sudah minta maaf,"Vella protes dengan suara yang kian bergetar, susah payah ia menahan tangis yang kini telah berkumpul ditenggorokannya. Matanya berkaca-kaca dan sekali mengerjap ia yakin kumpulan air bening itu akan mengalir turun dari sudut matanya. Hatinya sakit dan kecewa tak terima perlakuan tidak adil ini.

"Maafmu tidak cukup untuk menebus kesalahanmu, paham?" Geram Dave.

"Tapi pak..."

Dave mengangkat tangannya mengisyaratkan ia tak mau lagi mendengar perkataan apapun dari Vella, Ia berbalik dan masuk kedalam lift diikuti Toni dan Claudia,tak dihiraukannya tatapan terluka dari bawahannya. Vella masih sempat menangkap senyum sinis yang ditujukan Claudia untuknya sebelum wanita itu ikut menghilang kedalam kotak besi itu.

Tangis Vella pecah, ia jatuh terduduk dilantai dan menangkup wajah dengan kedua tangannya. Karyawan lain yang menyaksikan kejadian tadi menatapnya iba namun tak ada yang berniat membantunya. Mereka berhenti sejenak menatap Vella dan kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Vella! Kau tak apa-apa?" Bu Retni muncul dari dalam lift dan bergegas mendekati Vella. Begitu mendapat telpon dari Dave tadi Bu Retni langsung menyusul Vella. Dipeluknya tubuh bawahannya yang berguncang karena menangis. Hatinya ikut tercabik-cabik melihat keadaan Vella, ia marah dengan sikap Dave yang seenaknya memecat Vella tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, bisa-bisa ia juga akan ikut dipecat pria arogan itu.

"Saya dipecat Bu, padahal saya sudah minta maaf, saya tak sengaja menabrak tunangan Pak Dave," ucap Vella disela tangisannya, ia balas memeluk Bu Retni erat membenamkan kepalanya didada wanita keibuan itu.

"Sudah..sudah, ayo kita keruangan Ibu," Bu Retni membantu Vella berdiri dan memapahnya memasuki lift, ia mendudukkan Vella disofa begitu mereka sampai diruangan Bu Retni. Wanita ramah itu mengelus pelan punggung Vella menenangkannya. Tangis Vella telah berhenti hanya tersisa sesegukan.

"Maafkan saya Vella, saya tak bisa membantu kamu, andai saya bisa saya akan mempertahankan kamu karena saya tahu kinerja kamu sangat bagus, tapi kamu tahu bagaimana Pak Dave kan? Ia tak segan-segan mendepak saya dari sini." Bu Retni menyodorkan segelas air putih pada Vella.

Vella meminum air ditangannya dan meletakkan gelas itu keatas meja, ia menghapus sisa air mata yang menggantung dipelupuk matanya dan memaksakan tersenyum, "Tak apa-apa Bu Retni, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan ibu selama ini, saya berasa memiliki ibu lagi."

Bu Retni menangkup pipi Vella dan menatap wajah sembab gadis itu, "jangan putus asa, ibu yakin diluar sana kamu bisa mendapatkan pekerjaan lain mungkin tak sebagus disini, tapi yakinlah kamu masih punya banyak kesempatan. Semangat ya?"

Vella mengangguk dan kembali memeluk Bu Retni, "terima kasih Bu."

***

GIVE ME YOUR HEARTWhere stories live. Discover now