PROLOG

50.1K 4.6K 110
                                    

Alden membuka matanya perlahan. Pandangannya terasa kabur dan berkunang-kunang. Bau amis dan anyir darah menusuk hidungnya. Ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Alden mengedipkan matanya berulang kali, sambil menatap ke arah langit biru. Apakah ia sudah mati? Atau ini semua hanya ilusi yang ia ciptakan?

Alden sudah pernah bertarung di berbagai medan pertempuran. Melihat darah dan tangisan sudah menjadi makanan sehari-harinya. Ia bertempur atas nama kerajaannya sendiri yaitu kerajaan Cartland. Alden berkali-kali merebut tanah, hasil panen atau pun gadis-gadis dari negara jajahannya untuk dilemparkan pada prajuritnya. Watak binatang buas yang haus akan darah seolah mengalir dalam tubuhnya. Semua orang takut padanya, sebab siapa pun yang menghadang jalan Alden, maka ia akan segera menemui ajalnya.

Tidak pernah sekali pun kata maaf terucap dari mulut Alden. Ia menikmati semua permainan ranjang dari para gadis yang menangis, karena dirampas paksa dari kedua orang tua mereka. Jika gadis-gadis tersebut tidak memuaskan, maka dengan mudahnya ia menghunus pedang. Semuanya terasa mudah bagi Alden hanya dengan menghunus pedangnya, tetapi pada pertempuran besar ini, yang dilawannya bukan manusia.

Untuk pertama kalinya, setelah sepanjang perjalanan hidupnya yang gemilang, Alden merasakan yang namanya sekarat. Suara burung gagak yang ingin memakan bangkai pun terdengar dengan sangat jelas. Alden bernafas lagi, walaupun dadanya masih terasa sangat sakit, namun ia tidak bisa menggerakkan tangannya sedikit pun untuk memegang dadanya yang sakit. Setiap tarikan nafasnya terasa sangat berat seolah di ujung kematian. Telinganya kembali mendengar suara langkah kaki yang perlahan dan teratur. Alden sudah pasrah jika yang datang adalah musuhnya.

Namun, matanya menangkap seorang kakek tua berjenggot putih tengah berjongkok di hadapannya. Kakek tua itu menepuk pipi Alden dengan lembut. "Nak..." panggilnya.

Alden hanya menatap kakek itu dalam diam. Lidahnya kelu.

"Jangan mati dulu, Nak. Kamu harus membayar semua perbuatan kejimu," ucap kakek tua itu sambil berjongkok.

Alden menutup matanya menunggu ajalnya tiba.

"Kamu sudah menyebabkan kekacauan hebat, Alden. Aku kecewa sekaligus takjub padamu." Kakek itu kemudian berucap lagi dengan suara yang terdengar bijak.

"Bunuh saja aku." Suara Alden terdengar lirih dan memohon.

Kakek tua itu tertawa keras. "Oh, tidak, Nak. Kau tidak akan mati dengan semudah itu."

Alden membuka matanya dan menatap pria tua itu dalam diam.

"Kamu masih ingin hidup, Nak?" tanya pria tua itu lagi dengan suara tenang.

Alden tidak menjawab. Ia tidak sudi memohon, apalagi meminta untuk dibiarkan hidup. Harga dirinya terlalu tinggi untuk hal itu. Alden hanya mendengus remeh, kemudian menutup matanya lagi. "Aku tidak akan meminta," ucap Alden dengan suara yang hampir habis.

"Kita hanya perlu membuat perjanjian, Nak, dan kamu akan tetap hidup. Lagi pula, aku tidak menyuruhmu meminta. Aku ingin kau menyetujui perjanjian ini," jelas pria tua itu hingga membuat Alden menatapnya dengan tatapan tertarik. Entah mengapa, terlintas dalam benaknya untuk menyetujui penawaran dari pria tua itu.

"Apa perjanjiannya?" Alden tidak memiliki waktu berbasa-basi lagi di saat hidupnya sudah di ujung tanduk.

"Mudah saja, Nak. Beritahu aku hal apa yang membuat hatimu hancur." Pria tua itu berucap lagi dengan nada yang santai.

Alden tersenyum miring. Itu adalah permintaan yang sangat mudah. Alden tidak pernah patah hati sebelumnya, karena ia memang tidak memiliki hati. Perasaanya datar dan keji, hanya itu yang tercermin dalam diri Alden. "Tidak ada," jawab Alden sambil menetralkan nafasnya.

"Ucapkan apa saja yang bisa saja membuat hatimu hancur," desak pria tua itu yang terdengar agak sedikit memaksa.

Alden menatap pria tua itu kemudian menjawab dengan asal, "Kematian orang yang kucintai."

Lagi pula selama hidupnya, Alden tidak pernah mencintai siapa pun. Bagaimana hatinya bisa hancur jika tidak ada orang yang pernah dan akan mengisi hati kejinya itu?

Tidak lama kemudian, pria tua itu beranjak berdiri dan Alden sudah tidak ingat apa-apa lagi, karena matanya menggelap.

Apakah ia sudah mati?

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang