3. PRIA AROGAN

23.5K 3.5K 45
                                    

Wanita-wanita yang memakai kain berbahan tipis tersebut mulai mendekati pria itu dan mengelilinginya. Tangan-tangan wanita itu tidak diam saja, melainkan bergerak di sepanjang pundak kokoh pria itu yang ditutupi jubah. Pria itu tidak terlihat terganggu dengan kehadiran wanita-wanita tersebut. Aprille memberanikan dirinya untuk beranjak dari kursinya sambil membawa segelas susu putih hangat dan berjalan ke meja pria itu. Ia tidak memiliki tujuan lain selain berterima kasih. Aprille bukan tipe perayu handal, apalagi ia belum memasuki Season hingga pengalaman dengan pria sama sekali tidak ada.

Aprille berdeham pelan menyadarkan kerumunan wanita itu untuk memberinya jalan, namun wanita-wanita itu hanya menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Seorang dari wanita itu mendekati Aprille kemudian tersenyum nakal. "Apa yang ingin kau lakukan bocah?"

"Aku ingin berterima kasih pada pria itu," ucap Aprille sambil menunjuk pria tegap tersebut dengan dagunya.

Wanita yang memakai sutra tipis berwarna merah itu mencubit pipi Aprille gemas. "Kau menarik."

Hal paling menjijikkan yang pernah Aprille dengar adalah seorang wanita yang tertarik padanya. Ia bergerak tidak nyaman, kemudian melewati wanita itu dan meletakkan segelas susunya tepat di hadapan pria itu. Pria tegap itu tidak mendongak sedikit pun dan mengangkat sebelah tangannya. Wanita-wanita yang memakai bahan tipis itu mulai pergi satu-persatu sambil menatap sinis ke arah Aprille.

Aprille hanya tersenyum canggung kemudian berdeham lagi. "Aku ingin berterima kasih pada Anda."

"Terima kasihmu ditolak." Pria itu mendongak dan tersenyum miring. Aprille yakin sekali matanya tengah berbinar terpukau sekarang. Pria itu memiliki mata yang segelap malam dan rambutnya juga sewarna dengan matanya. Pria itu memiliki kesan misterius, namun juga nakal yang membuatnya semakin menarik. Rahang yang tegas dengan jambangnya yang tipis menambah kesan maskulin dalam figurnya.

Aprille mengerjapkan matanya berkali-kali kemudian bertanya lagi. "Apa?"

Pria itu tertawa lagi. "Siapa namamu, Bocah?"

Aprille membuka topi hitamnya dan menampakkan keseluruhan wajahnya yang dibayangi oleh lilin. "Alden."

Pria itu sempat terdiam sesaat meneliti wajah Aprille, sebelum kemudian bertanya blak-blakan. "Kau seorang gadis?"

"Bukan. Aku seorang anak laki-laki. Banyak yang mengatakan kalau aku seorang gadis, tapi sebenarnya aku seorang laki-laki. Itu cukup menyinggung martabatku sebagai pria." Aprille menjawabnya dengan mantap tanpa keraguan sedikit pun.

Pria itu kemudian hanya mengangguk dan menjawab Aprille. "Kita memiliki nama yang sama," gumamnya kemudian tersenyum kecil lagi. "Ngomong-ngomong apa yang dilakukan bocah sepertimu di tempat ini?"

"Berpetualang."

Alden tertawa meremehkan kemudian menggeleng tidak percaya. "Usiamu masih terlalu hijau untuk berpetualang, Nak."

"Sebenarnya aku tersesat," ucap Aprille lagi.

"Jadi, kau mengganti kata tersesat dengan berpetualang untuk menyelamatkan martabat priamu?" sindir Alden sambil meneguk birnya lagi.

"Bukan seperti itu," sergah Aprille dengan nada tersinggung.

Alden menopang dagunya dan menatap anak laki-laki di depannya dengan mimik tertarik. Anak laki-laki di depannya adalah laki-laki paling cantik yang pernah ia temui. Wajah si Bocah Alden terkesan lembut dan polos di saat bersamaan, seperti seorang gadis yang belum memasuki Season. 

Namun, di sisi lain, Alden juga merasa was-was dengan anak di depannya. Aura anak laki-laki di depannya seperti ditutupi sesuatu, sehingga ia tidak bisa membaca latar belakang kehidupan, maupun emosi anak itu. Untungnya, wajah anak itu cukup polos, hingga tidak sulit menebak emosi hanya lewat ekspresi wajah saja, bukan lewat aura.

"Lalu seperti apa?" goda Alden.

"Aku hanya tidak ingin perjalananku menyedihkan, karena itu aku menambahkan sedikit bubuk imajinasi ke dalamnya," jelas Aprille yang tiba-tiba salah tingkah, karena ditatapi terus oleh Alden.

"Alasan klasik, tetapi aku tidak peduli." Alden menggidikkan bahunya. "Lalu tujuanmu yang sebenarnya ke mana?"

"Aku harus ke Ravle." Aprille tidak ingin menjelaskan lebih lanjut, karena Alden masih orang asing menurutnya.

"Wow, Nak. Kau sudah tersesat sangat jauh."

"Benarkah?"

Alden hanya mengangguk datar.

Aprille menampakkan wajah panik dan ketakutan. "Terus aku harus bagaimana?"

"Mencari tumpangan atau menyewa kuda. Hanya itu pilihannya."

"Aku tidak memiliki uang yang cukup untuk menyewa kuda. Aku juga tidak punya kenalan untuk menumpang di sini," jelas Aprille dengan muka yang memelas.

"Nikmati petualanganmu bocah." Alden menampakkan ekspresi tidak pedulinya, kemudian meneguk birnya hingga habis.

Ia beranjak dari kursinya, kemudian melangkahkan kakinya ke pintu sampai si Bocah Alden menghalangi jalannya. Anak laki-laki itu begitu pendek dan kecil. Tinggi Bocah itu hanya sebatas pundaknya. Alden yakin sekali bocah laki-laki di hadapannya memiliki kelainan genetik.

"Kau mau ke mana? Kau punya kuda? Kau butuh tempat untuk menginap?" Aprille langsung memberondong pria tegap di hadapannya dengan berbagai pertanyaan.

"Aku akan ke Ravle. Ya, aku punya kuda, tapi aku tidak berniat memberikan tumpangan pada bocah yang asal-usulnya tidak jelas seperti mu. Dan ya, aku butuh tempat untuk menginap." Alden meladeni semua pertanyaan anak laki-laki di hadapannya.

"Biarkan aku ikut denganmu," ucap Aprille mantap. Mungkin ini gila, tapi saat melihat Alden, Aprille yakin sekali pria itu bisa menjaganya dengan baik. Hanya diperlukan kepercayaannya saja dan Alden bisa mengantarkannya ke Ravle, apalagi Aprille mengalami kesulitan dengan peta kerajaan Cartland. Lagi pula, tidak ada yang bisa dicuri dari Aprille, apalagi penyamarannya yang membuatnya tidak mencolok.

"Aku belum siap mengurus anak," jawab Alden kemudian berniat berjalan melewati Aprille, sampai gadis itu kembali menahan pergelangan tangannya. Tangan anak laki-laki itu begitu hangat, hingga membuat Alden menginginkan lebih, tetapi ia tidak tahu keinginan seperti apa yang ia harapkan dari bocah itu.

Aprille menggenggam erat pergelangan tangan Alden yang terasa sangat dingin di tangannya. "Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kau hanya perlu membawaku bersamamu."

"Tid-"

Yang membuat Alden kaget setengah mati adalah ketika bocah itu memeluk tangannya dengan erat seperti takut kehilangan.

"Aku akan membuatmu tidak lagi mempunyai pilihan selain membantuku," potong anak laki-laki itu keras kepala

Kegigihan si Bocah Alden sempat membuat rasa ibanya tergugah. Ia tersenyum maklum kemudian menghela nafas panjang. "Baiklah, aku akan mengantarmu ke Ravle, besok."

Aprille langsung melepaskan tangan kokoh pria itu kemudian tersenyum senang. Ia sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa bertingkah se-impulsif tadi, tetapi Aprille tahu kalau yang dipertaruhkan di sini bukan saja harga diri, tetapi hidup dan matinya. "Terima kasih." ucapnya tulus.

"Dasar..." tutur Alden sambil menggelengkan kepala tidak percaya.

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang