15. RUMAH BORDIL

18.4K 2.7K 31
                                    

Saat Alden pergi dari tempat itu, semua wanita semampai tadi, mulai mengelilinginya dengan wajah menggoda, bahkan ada yang mencolek bagian bahunya hingga membuat bulu kuduk Aprille berdiri. Ia tidak pernah mau dicolek oleh seorang wanita, apalagi mereka pasti berpikir kalau ia adalah laki-laki. Aprille tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau wanita wanita itu tahu jika ia bukan anak laki-laki.

"Wajahmu sangat polos. Kau adalah tipe idamanku," goda seorang wanita berambut merah.

Bulu kuduk Aprille merinding mendengar gombalan yang sangat menjijikan itu.

"Biarkan aku mengajarimu bercinta." Seorang wanita kemudian berkata lagi. Kali ini, wajahnya memang cantik dengan rambut coklat yang sensual. Aprille menggelengkan kepalanya, kemudian mundur selangkah demi selangkah, menjauh dari jangkauan wanita buas itu

"Menyingkirlah!" Suara tegas itu membuat kumpulan wanita tersebut bubar dengan decakan kesal.

Wanita anggun yang melayani Alden itu kemudian maju dan langsung menggandeng sikut Aprille, lalu menariknya. Sebenarnya wanita itu cantik, kalau saja wajahnya tidak dingin. Aprille langsung menarik tangannya dari genggaman tangan wanita itu.

"Aku tidak mau dikunci. Lebih baik aku pulang ke keluargaku saja," ucap Aprille dengan sedikit memohon. Bisa saja Alden menjualnya pada rumah bordil ini, karena ia terlalu menjengkelkan.

"Sekali pun kau pulang ke rumah keluargamu, ia akan tetap menemukanmu. Kau tidak dengar pesannya tadi?" Wanita itu langsung menepuk kedua tangannya. Tidak lama kemudian, dua orang pria berotot datang, lalu menyeret Aprille.

Kita tidak boleh bertemu malam ini. Kata-kata itu terus terngiang di kepala Aprille.

"Kenapa kami tidak boleh bertemu?" tanya Aprille blak-blakan. Tiada hari tanpa blak-blakan bagi Aprille.

Wanita yang berjalan di depannya tidak repot-repot menoleh saat menjawab, "Aku juga tidak mengerti, padahal kau bukan perempuan. Mungkin wajah polosmu itu yang membuat orientasi seksualnya menjadi tidak wajar."

Aprille mengerutkan kening tidak mengerti dengan segala penjelasan wanita di depannya. Ia masih berusaha memberontak, namun tetap saja kedua sikutnya ditahan. Sampai pada suatu kamar yang luas, kedua pria berotot itu baru melepaskannya. Aprille terpukau dengan dekorasi mewah dan menakjubkan dari kamar itu. Lantainya terbuat dari marmer putih asli yang terbilang mahal dan ranjangnya sangat besar untuk ditiduri sendiri. Bunga Amaryllis putih tersebar di sekeliling ruangan itu.

Aprille terlalu sibuk menikmati pemandangan menakjubkan itu hingga ia tidak sadar kalau dirinya sudah terkunci. Ia berbalik dengan panik, kemudian berlari ke arah pintu. Aprille sudah melakukan segala cara untuk membuka pintu tersebut, termasuk mendorongnya, bahkan melemparnya dengan kursi. Namun, pintu itu tetap diam di tempatnya, seolah mengejek Aprille.

Aprille tidak putus asa. Ia berlari ke arah jendela dan mendapati benda sial itu juga terkunci. Namun, matanya terpaku pada seorang pria yang tengah berpelukan dengan seorang wanita di halaman belakang. Keduanya tengah berpelukan dengan mesra sampai pria itu menggigit leher sang wanita hingga berdarah. Darah mengucur dan mengotori baju tipis wanita itu dan dijilat oleh pria itu penuh nafsu. Aprille terkesiap, sekaligus tidak bisa bernafas.

Alden seorang psikopat?!

Aprille semakin ketakutan dan menghalalkan segala cara untuk keluar dari kamar itu. Semua teka-teki dalam kepalanya langsung terjawab saat melihat adegan mengerikan tersebut. Pantas saja semua orang takut melihatnya dan sangat menghormatinya. Aprille tahu kalau ia adalah korban selanjutnya. Ia belum ingin mati, bahkan Aprille tidak sempat mengatakan maaf pada Frederick atau pun ibunya.

Aprille sudah berusaha keras untuk memecahkan jendela itu, namun lagi-lagi tidak ada yang berubah. Kaca itu hanya retak dan menggores pergelangam tangannya sehingga mengeluarkan darah. Aprille mengedarkan pandangannya dan hampir putus asa, karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia terduduk di lantai, kemudian menangis. Aprille terus menangis, karena ketakutan sampai lupa waktu. Ia tidak tahu lagi berapa jam waktu yang ia habiskan hanya untuk meratapi hari terakhirnya.

Aprille belum siap mati. Ia bahkan belum menikah dan memiliki anak, apalagi impiannya untuk melihat mahkluk mitologi pun lenyap sudah.

"Menyedihkan sekali." Suara berat dan familiar itu membuat Aprille menoleh.

Lucien tengah duduk di pinggiran ranjang dengan senyuman menawannya.

"Kalau kau ingin mengejekku, sebaiknya kau pergi saja," balas Aprille ketus.

"Bahkan disaat terakhir hidupmu, kau masih saja keras kepala."

"Aku sungguh sungguh akan dibunuh?" tanya Aprille memastikan.

Lucien berdiri dari tempatnya, kemudian berjongkok di samping Aprille. "Kau yang mengatakannya sendiri."

"Aku ingin keluar dari sini," bisik Aprille putus asa.

"Aku bisa membantumu, tetapi selebihnya aku tidak bertanggung jawab." Lucien menggidikkan bahunya.

"Sebenarnya kau ini mahkluk apa?" Aprille tiba-tiba saja mengubah topik pembicaraannnya, karena sangat penasaran.

"Sebaiknya kau tidak usah tahu."

"Kalau kau membantuku, apa yang harus kubayar?" Jantung Aprille berdegup kencang saat menanyakan hal tersebut. Bisa saja ia keluar dari lubang buaya, namun jatuh ke mulut singa.

Lucien tersenyum miring hingga membuat jantung Aprille semakin berdegup tidak karuan. "Kau tampak sangat khawatir," ucapnya dengan nada geli. "Aku tidak meminta apa apa darimu, Manusia."

Aprille ragu sejenak, kemudian ia menetapkan hatinya untuk keluar dari situ.

"Bantu aku," ucap Aprille, lalu sedetik kemudian ia sudah berada di lorong yang tadi sempat ia lewati.

Mahkluk khayalannya memang benar ada!

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang