14. PERTENGKARAN DI KOMPARTEMEN

18.4K 2.7K 52
                                    

Alden menghela nafas kasar saat seorang penumpang bertubuh gempal naik ke kereta kompartemen tersebut. Kereta itu semakin sempit dengan adanya orang tersebut hingga membuat Alden terhimpit ke sudut kereta. Ingin sekali Alden mengumpat dan menendang semua orang yang ada dalam kompartemen tersebut ke luar, terutama bocah tengik di sampingnya. Bocah itu bahkan tidak meminta maaf atau sekedar menunjukkan wajah panik saat melanggar apa yang diperintahkannya. Alden tidak pernah menemukan anak keras kepala seperti bocah di sampingnya, bahkan prajuritnya dulu pun tidak seperti ini.

"Siapa pria di sampingmu itu, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya dengan kerutan yang banyak di wajahnya.

Bocah itu menoleh ke arahnya dan disambut dengan tatapan tajam oleh Alden. "Dia..."

"Aku kakak laki-lakinya," potong Alden dengan nada dingin.

"Kalian sangat berbeda. Maksudku, kalian tidak mirip," komentar wanita itu yang diketahui namanya Elizabeth.

"Aku adalah saudara tirinya. Ayah kami menikah lagi dan aku anak dari ibu tirinya," jelas bocah itu panjang lebar menggunakan imajinasinya yang tidak terbatas.

Alden juga mau tidak mau mendengarkan cerita drama picisan yang diceritakan bocah itu, karena hanya dia yang bercerita di kompartemen tersebut. Semua orang di kereta itu mendengarkan dia seolah bocah tersebut adalah rasul yang tengah mewartakan Injil.

"Pantas saja, kakakmu sangat dingin dan tidak tersentuh," komentar seorang pria ceking yang memakai kacamata bulat. Alden langsung tahu kalau pria ceking tersebut adalah seorang penulis atau pun seorang pejabat negeri.

"Lalu kalian sedang apa di sini?" tanya seorang wanita kurus dengan rambut pirang. Wanita itu sebenarnya cantik kalau saja lipstik merah darah itu tidak dioleskan di bibirnya.

"Berpetualang," jawab bocah itu dengan antusiasme yang terlihat jelas.

Semua orang di kompartemen tersebut langsung tertawa dan yang paling keras adalah pria ceking tersebut.

"Bocah ini berpetualang!" ucap pria ceking itu di sela tawanya yang tidak berhenti. Alden berharap pita tertawa pria itu putus, karena tawanya sangat mengganggu telinganya. Tawa pria ceking itu terdengar seperti kambing yang sedang dalam musim kawin.

"Memangnya menurutmu apa petualangan itu, Nak?" tanya pria ceking itu dengan nada yang jelas meremehkan.

Alden hanya terdiam, sedang malas berkomentar dengan segala gurauan imajinatif bocah itu. Namun, ia langsung menoleh karena kaget mendengar jawaban bocah tersebut. Entah dia terlalu polos atau bodoh hingga menjawab pertanyaan pria ceking itu dengan blak-blakan.

"Bersenang-senang dengan wanita, meminum bir, bertemu naga, membunuh penyihir, benar kan?" jawab bocah itu dengan wajah yang sangat polos hingga membuat Alden gemas melihatnya.

"Apa yang sudah kau ajarkan pada anak muda polos ini, Pemuda?" tanya Elizabeth dengan tatapan mencela pada Alden.

Alden tersenyum tipis menanggapi Elizabeth. "Imajinasinya terlalu tinggi. Jangan dipikirkan."

Bocah itu langsung menyikut Alden di pinggangnya hingga membuatnya mengerutkan kening menanggapi anak laki-laki tersebut. "Apa?" tanya Alden dengan ekspresi tidak bersalah.

"Aku tidak berimajinasi," bantah bocah itu tidak terima.

"Tidak ada naga ataupun penyihir, Nak." Alden menyandarkan kepalanya dengan malas pada dinding kompartemen tersebut.

"Kau saja yang belum pernah melihat," balas bocah itu ketus. Kini, mereka malah menjadi tontonan opera sabun di kereta tersebut.

Alden mendengus meremehkan. "Tidak ada pria yang mempercayai hal-hal seperti itu. Aku mulai meragukan apakah kau seorang laki-laki atau bukan."

Semua orang di kompartemen itu menghela nafas kaget mendengar sindiran tajam nan kasar itu. Tiba tiba saja kereta itu hening sampai bocah itu mulai mengatakan sesuatu yang membuat Alden membelalakan mata kaget.

"Bajingan!" umpat bocah itu kesal.

Kereta kompartemen itu langsung riuh seketika, seperti suporter dalam ajang sepak bola. Ada yang mendukung bocah itu dan ada yang mendukung Alden.

"Apa yang sudah kau ajarkan pada anak muda ini?" komentar Elizabeth dengan wajah syok yang terlihat jelas.

Alden langsung mencubit kedua pipi bocah itu dengan gemas sambil berkata, "Sudah aku bilang berapa kali, jangan bergaul dengan preman itu."

Bocah itu memukul-mukul tangannya berusaha memberontak. "Memangnya kau sendiri tidak pernah mengumpat?"

"Tapi kau merusak nama baikku. Orang-orang ini akan berpikir kalau aku yang mengajarimu mengumpat," bisik Alden kesal. Ingin sekali menggigit bocah itu agar dia sadar bahwa dirinya terlalu polos.

"Ternyata mengumpat itu melegakan." Bocah itu malah tersenyum puas pada Alden.

Alden melepaskan cubitan dari pipi bocah itu kemudian menjitaknya. "Dasar berandal! Jangan mengumpat lagi atau bibirmu akan ku makan."

Bocah itu memegangi kepalanya yang berdenyut sakit, kemudian memasang muka kesal. Ia menolehkan kepalanya seperti merajuk kemudian berkata, "Terserah kau saja."

***

Alden terus berjalan hingga tidak sadar bahwa ia meninggalkan bocah itu jauh di belakangnya. Mereka harus berjalan ke penginapan - begitulah yang dikatakan Alden, setelah kereta kompartemen tersebut sampai di Ravle. Matahari sudah mulai berada di ufuk ketika sebuah bangunan putih bergaya victoria terpampang jelas di hadapan Alden. Ia melirik ke samping dan panik saat tidak mendapati bocah itu di sampingnya. Saat menoleh ke belakang, ternyata bocah itu sudah kehabisan tenaga dan duduk di pinggir jalan, tidak peduli banyak orang yang melihatnya.

Aprille sudah tidak kuat lagi menyamai langkah kaki panjang Alden. Ini terlihat seperti hinaan untuknya. Aprille tahu ia pendek, tetapi Alden membuatnya merasa seperti orang paling pendek di dunia. Ia bahkan tidak mampu berjalan berdampingan dengan pria itu saking kakinya langkahnya terlalu pendek. Aprille menyerah dan duduk di pinggir jalan, tidak peduli dengan tatapan mencela orang orang.

"Bangunlah. Kita harus segera sampai di rumah itu, sebelum matahari terbenam," ajak Alden dengan suara datar, namun Aprille bisa menangkap ada nada khawatir. Aprille menoleh dan mendapati sebuah bangunan megah berdiri di tengah pedesaan dengan gaya victoria.

"Kita akan menginap di situ?" tanya Aprille, takut jika bangunan itu hanyalah ilusi.

"Ya, kau boleh menginap di situ malam ini. Besok, aku akan mengantarkanmu ke rumah keluargamu," jawab Alden, kemudian mengulurkan tangannya yang disambut oleh Aprille.

Alden berjalan dengan tergesa-gesa sambil sesekali melihat ke arah mana matahari akan bergerak. Sesampainya di penginapan, matahari mulai terbenam sedikit demi sedikit. Aprille salah saat ia menyangka kalau bangunan itu adalah penginapan. Dari apa yang dilihat matanya, dan suara yang terdengar, bisa disimpulkan bangunan tersebut adalah rumah bordil.

IYA! RUMAH BORDIL!

Aprille tidak bisa menutup mulutnya saat wanita-wanita tersebut memakai pakaian yang sangat tipis dan mulai mengerumuni Alden. Aprille merasakan sekujur tubuhnya terasa geli hingga membuatnya ingin muntah. Tiba-tiba saja, seorang wanita anggun berpakaian sopan berjalan ke depan kerumunan tersebut dan menekuk lututnya dengan hormat pada Alden.

"Tuan Callsen," sapanya lembut.

Alden melepaskan mantelnya kemudian diserahkan pada wanita itu. Ia melirik ke arah Aprille sebentar kemudian mendapati bocah itu tengah terngaga dan terkejut. Namun, tidak ada waktu baginya untuk tertawa atau mengganggu anak itu.

"Kunci anak ini dalam sebuah kamar. Jangan lupa, taburkan bunga amaryllis di sekitar kamarnya," perintah Alden kemudian terburu-buru beranjak pergi dari situ

Sebelum, Alden sempat bergerak, bocah itu langsung menahan tangannya. "Aku tidak mau dikunci. Biarkan aku pulang ke keluargaku, malam ini."

"Maaf, Nak. Malam ini, kau harus mengikuti peraturanku dan jangan membantah." Alden menepuk pundak bocah itu. "Aku tidak boleh bertemu denganmu malam ini."

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang