9. SESUATU TENTANG KALUNG

19.5K 3K 37
                                    

Aprille mengerjapkan matanya malas sambil menguap pelan. Matahari masih belum terbit, namun ia sudah bangun. Bukan tanpa alasan, tetapi kantung kemih Aprille penuh. Ia tidak serajin itu untuk bangun sebelum matahari terbit.

Sejak tadi, Aprille merasa hangat, padahal suhu turun drastis, karena sebentar lagi akan memasuki musim dingin. Ia membuka matanya lebih lebar lagi dan baru menyadari kalau seseorang tengah memeluknya. Wajah Aprille langsung berhadapan dengan dada seorang pria yang ia yakini adalah Alden.

Ketika Aprille mendongak, benar saja dugaannya. Pria itu tidur menyamping dan melingkarkan tangannya di pinggang Aprille. Aprille tidak ingat semalam ia tidur di sebelah Alden. Yang Aprille ingat adalah ia tertidur tepat di sebelah George.

Aprille merona malu sembari sesekali tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia dipeluk oleh seorang laki-laki dewasa, kecuali Frederick tentunya. Ternyata pelukan itu membuatnya merasa lebih aman dan hangat. Aprille mengerti kenapa semua wanita di novel romantis yang pernah ia baca selalu berbunga-bunga saat seorang pria memeluknya. Selama ini, Aprille selalu menganggapnya berlebihan, namun ia baru menyadarinya sekarang.

Ia menyingkirkan tangan Alden dengan lembut. Saat Aprille ingin beranjak duduk, ia dikagetkan oleh suara berat Alden. "Mau ke mana?"

"Kau tidak tidur?" tanya Aprille yang kaget, karena suara Alden juga karena gelagat pria itu tidak seperti orang yang baru bangun.

"Walaupun aku tidur, aku tetap bisa menyadari gerakan kecil, Nak. Bahkan perubahan nafasmu juga aku tahu. Jadi, jangan coba-coba kabur dariku." Pria itu membuka matanya dan menatap Aprille dengan maniknya yang segelap malam.

"Aku mau buang air kecil," jawab Aprille sambil berdiri dan membersihkan bajunya dari kotoran. Tidur di alam terbuka dan rerumputan memang pengalaman yang menyenangkan bagi Aprille, tetapi tetap saja ia tidak terbiasa. Rerumputan membuat tubuhnya terasa gatal-gatal dan tidak nyaman.

Aprille berjalan ke belakang pohon, jauh dari tempat istirahat para bandit itu dan mengeluarkan semua isi kantung kemihnya. Ia tengah asik membuang air kecil ketika melihat sesuatu di hadapannya bergerak secara tiba-tiba. Aprille sempat kaget, namun ia yakin itu hanya tupai yang melompat. Namun, matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di tengah semak-semak tersebut. Benda itu seperti kalung berlian yang berbentuk pohon. Semakin lama Aprille melihat, semakin ia terhipnotis. Ia bergerak mendekat pada benda tersebut.

"Kau membuang air kecil dengan berjongkok?" Sebuah suara berat membuyarkan lamunan Aprille.

Aprille langsung menaikkan celananya tanpa berdiri, karena kaget. Bisa-bisa, pria itu tahu kalau ia bukan seorang anak laki-laki. Untungnya, ada semak-semak yang menghalangi pandangan Alden terhadap bagian privasinya.

"Itu cukup aneh untuk seorang anak laki-laki," lanjut Alden lagi sambil menatap bocah tersebut yang terlonjak kaget.

Bocah Alden berdiri dan memasang muka kesalnya. "Kau seperti pedofilia."

Alden terkejut dengan hinaan bocah tersebut. "Apa-apaan?" tanyanya tidak percaya.

"Kau mengikutiku hingga ke sini. Sebutannya apa lagi selain pedofil?" protes si Bocah Alden, kemudian berjalan menuju pria itu.

"Kau terlalu lama," jawab Alden sambil menggidikkan bahu tidak peduli. Ia tahu alasannya tidak cukup bagus untuk menjawab pertanyaan bocah tersebut. Namun, Alden bukan orang yang peduli dengan harga diri dan pandangan orang-orang padanya.

Bocah tersebut berhenti tiba-tiba hingga Alden yang berada di belakangnya tanpa sengaja menabrak tubuh kecil anak laki-laki itu. Untuk menahan bobot tubuhnya dan bocah tersebut, Alden menahan pundak anak laki -laki itu dengan lembut. Walaupun dilapisi kain yang tebal, namun tetap saja Alden bisa merasakan kehangatan yang nyaman dari si Bocah.

Tiba-tiba bocah tersebut membalikkan badannya dan kembali ke semak-semak tadi dengan ekspresi bingung. Ia membungkuk dan memperhatikan setiap langkahnya dengan gerakan yang mencurigakan. Karena penasaran dengan tingkah si bocah, Alden kemudian bertanya. "Kau baik-baik saja?"

"Tadi, aku melihat sebuah kalung," jawab si Bocah Alden sambil berjongkok dan menyusuri setiap jalan yang ia lalui.

"Kalung? Punyamu?" tanya Alden lagi dengan ekspresi malas sambil bersandar di batang pohon.

Bocah tersebut menggeleng. "Bukan. Kalung itu berbentuk mata dan terbuat dari berlian. Itu kalung paling indah yang pernah aku lihat."

Saat mendengar penjelasan bocah tersebut, Alden langsung menegakkan tubuhnya dan bertanya lagi. "Mata?"

"Hm..." jawab bocah tersebut acuh tak acuh.

Tiba-tiba saja Alden berjalan dengan cepat ke arah semak-semak, lalu menarik bocah tersebut berdiri. Si Bocah Alden berdiri dengan ekspresi terkejut dan baru saja ingin bertanya ketika Alden mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di bahunya. Pria itu memikul tubuh bocah tersebut selayaknya karung beras. Lalu, tanpa basa-basi yang lebih panjang lagi, Alden segera meninggalkan tempat itu.

"Apa-apaan?" teriak Aprille kesal karena tiba-tiba saja diangkat tanpa aba-aba seperti itu.

Pria itu tidak menjawabnya.

Aprille merasa pusing karena pandangannya mengarah ke bawah dan perutnya ditekan. Ia merasa mual, tetapi juga Aprille takut meronta, karena ia tidak ingin terjatuh. Alden adalah pria yang tinggi dan Aprille tidak ingin jatuh dengan kepala menyentuh tanah duluan. Karena itu, ia pasrah saat Alden membawanya kembali ke tempat para bandit tidur.

Sesampainya di sana, Aprille diturunkan dengan gerakan yang tidak sabaran. Pria itu kemudian mengemasi semua barangnya dan menyuruh Aprille untuk melakukan hal yang sama.

"Kita harus segera pergi," ucap Alden sambil mengemasi barang barangnya. Saat bocah tersebut melihat kalung itu, Alden tahu ia harus segera pergi dari tempat itu. Tempat itu sangat berbahaya apalagi untuk anak yang polos seperti si Bocah Alden.

"Sir..." panggil bocah itu yang membuat telinga Alden gatal.

"Kurasa panggilan itu tidak cocok lagi, mengingat sikap kurang ajarmu padaku sebelumnya. Cukup panggil namaku saja." Walaupun sedang panik-paniknya, Alden tetap bersikap sarkastik pada bocah tersebut.

"Alden..." panggil bocah itu lagi.

"Kemasi sendiri barang-barangmu, Nak. Kau sudah cukup besar untuk melakukannya," jawab Alden lagi sambil sibuk mengemasi barangnya yang terbilang cukup sedikit. Ia bahkan tidak memperhatikan atau menoleh pada bocah tersebut sedikit pun.

Tiba-tiba saja, Alden merasa sikutnya ditahan dengan lembut. Ia tidak berbalik sedikit pun dan tetap melanjutkan kegiatannya sampai tangan kecil itu meremas sikutnya dengan tegas.

Alden membalikkan tubuhnya dengan malas, kemudian menepis tangan bocah tersebut dari sikutnya. Ia menghela nafas panjang. "Baiklah, kau sudah mendapat semua perhatianku. Jadi, apa yang kau mau?"

"Kenapa kita harus buru-buru?" tanya bocah itu dengan wajah yang tidak kalah cemasnya.

Alden ingin berbalik, namun lagi-lagi sikutnya ditahan. "Karena ada sesuatu."

"Sesuatu? Seperti apa?"

"Seperti itu," jawab Alden seadanya.

"Ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda." Untuk pertama kalinya, Alden melihat kilatan kesal di mata cokelat bocah itu.

"Memangnya aku tertawa?"

"Itu hanya kiasan," protes bocah itu semakin kesal.

"Berhenti hidup di dunia fantasimu, Nak." Alden menggelengkan kepalanya prihatin, kemudian membalikkan badannya lagi berniat untuk mengemasi barangnya.

Lama tidak ada suara, Alden meyakini bocah itu pasti tengah mengemasi barangnya dengan kesal. Namun, tiba-tiba saja sebuah suara membuatnya berhenti mengemasi barang dan sepenuhnya menatap bocah tersebut.

"Aku takut," gumam bocah itu dengan nada mencicit.

"Kenapa?" Alden menatap bocah itu bingung, sekaligus merasa simpati dengan perasaannya.

"Karena kau. Kau yang membuatku takut, Alden."

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang