8. TIDAK BURUK JUGA

21.1K 3.1K 15
                                    

"Apakah ini pengasuh yang kau bicarakan?" Pertanyaan George sontak membuat Alden mendongak dan menatap pria itu, lalu beralih pada si bocah. Si bocah tampak bingung dan menatapnya balik sambil tersenyum penuh arti.

"I..iya," balas Bocah Alden ragu-ragu.

Lagi-lagi mata cokelat bocah itu menatap manik mata Alden dengan sedikit panik dan keraguan. Alden tidak menanggapinya dan tetap membalutkan perban pada luka memanjang bocah tersebut. Setiap kali Alden menyentuh kulit polos bocah tersebut, ia yakin sekali ada sesuatu yang salah. Kulit bocah tersebut terlampau halus untuk seorang anak laki-laki dan terasa hangat dalam genggamannya.

Alden merasakan tepukan keras di pundaknya. Ia menoleh pada George kemudian memasang wajah bingung. "Kupikir dia lebih tua," ucap George blak-blakan sambil meneliti wajah Alden satu per satu.

"Aku lebih tua dari kakek buyutmu, Nak," celetuk Alden dengan wajah sarkastiknya. Ia menyingkirkan tangan George di pundaknya, kemudian melanjutkan mengobati bocah tersebut.

Si Bocah Alden kini menatapnya dengan mata membulat. "Apakah kau sudah hidup 1000 tahun lamanya?"

Alden sempat terdiam sejenak, namun tidak mendongak. Ia tidak menjawab pertanyaan bocah tersebut, kemudian memberikan kotak obat pada George dengan ekspresi datar. Alden bangun dari tempatnya duduk, begitu juga dengan George. Ia membersihkan segala debu yang menempel di jubah hangatnya, lalu mengulurkan tangan pada si bocah untuk membantunya berdiri. Di saat bersamaan, George juga mengulurkan tangan pada bocah tersebut. Hal itu, membuat kedua pria tersebut bertatapan sejenak, sampai Alden mengalah dan menarik kembali tangannya.

Aprille menerima uluran tangan George, tanpa mempertanyakan sedikit pun kenapa Alden menarik kembali tangannya. Tidak ada satu pun pertanyaan seperti itu sempat melintas kepalanya. Ia mengucapkan terima kasih pada George dan tersenyum. Pria itu kemudian mengajak mereka untuk berkumpul bersama bandit lain. Alden sempat menentang hal tersebut, namun pada akhirnya ia menyerah, karena bocah tersebut sangat bersemangat berkumpul dengan para bandit.

"Inilah namanya petualangan," gumam Aprille di sisi Alden.

"Petualangan bagimu, tidak untukku," jawab Alden tanpa menoleh sedikit pun pada bocah tersebut.

"Kenapa kau sangat menentangnya? Mereka baik," ucap Aprille dengan mimik polos.

Alden berhenti sejenak kemudian menghela nafas panjang. "Tidak ada yang bisa kau percayai di dunia ini, Nak. Sekalipun orang yang sangat kau sayangi. Kepercayaan adalah kelemahanmu."

"Pantas saja hidupmu suram," celetuk Aprille blak-blakan. Tiba-tiba saja ia tersadar. Aprille langsung menutup mulutnya kaget. "Apakah terlalu kasar?"

"Itu sama sekali tidak kasar daripada kekurang-ajaranmu sebelumnya." Lagi-lagi tidak ada ekspresi dalam wajah Alden. Marah pun tidak. Pria itu seperti terbuat dari batu.

"Maaf?"

"Ditolak."

"Kenapa?" tanya Aprille dengan nada suara yang meninggi.

Alden tersenyum miring dan lagi-lagi membuat Aprille salah fokus untuk kesekian kalinya. "Terserah padaku untuk menolak atau menerima permintaan maafmu."

"Kalau begitu aku akan meminta maaf lagi," ucap Aprille dengan tekad yang kuat.

Lagi-lagi Alden kembali menjawabnya dengan santai, "Ditolak."

Aprille langsung berdiri di hadapan pria itu menghadang jalannya. Gerakan spontan itu, membuat Alden sempat menabrak tubuh Bocah Alden hingga kehilangan keseimbangannya. Beruntung tangan kecil anak laki-laki itu memegangi kedua sikutnya hingga ia tidak perlu bertemu dengan kasarnya tanah. Setelah Alden berdiri tegak, bocah itu melepaskan kedua tangan hangatnya dari tubuh Alden sambil tersenyum penuh arti.

"Kau tidak perlu berterima kasih, kita sudah impas," ucapnya, lalu pergi menghampiri George yang sudah berjalan lebih jauh dari mereka.

Alden menghela nafas kasar. "Dasar bocah badung."

***

Alden mendengus remeh saat melihat bocah tersebut tertawa puas bersama para bandit yang mengelilingi api unggun. Alden sendiri lebih memilih untuk duduk di bawah pohon besar, jauh dari kerumunan yang tidak berguna itu. Alden mengasah pisaunya sambil bersandar di pohon dan sesekali melirik ke arah bocah yang kadang terlihat terkejut dan tertawa heboh.

Alden mendongak sekali lagi dan mendapati, bocah tengik tersebut tengah berjalan ke arahnya dengan membawa gelas kayu. Ia kembali melanjutkan mengasah pisaunya dengan sikap acuh tak acuh. Bocah tersebut mengambil tempat persis di depannya. Mata Alden melirik bocah itu sekali lagi dan mendapati si Bocah Alden tidak memakai baju penghangat.

"Kau mau mati? Mana baju hangatmu?" tanyanya datar sambil mengasah pisaunya dengan santai.

"Kutinggal di sana," jawab bocah itu sambil menunjuk ke arah kumpulan orang mabuk.

Alden tersenyum miring, kemudian menatap pisau yang sudah diasahnya berkali-kali itu. "Kau menawarkanku bir sekarang, Nak?"

Bocah itu menggeleng kemudian tersenyum. "Aku ingin menawarkanmu susu."

Alden tertawa meremehkan kemudian mengambil gelas itu dari tangan bocah tersebut. Ia menatap isi gelas, kemudian beralih pada anak laki-laki itu. "Aku sudah terlalu tua untuk minum susu, Nak."

"Susu untuk semua umur," jawab bocah itu polos sambil menggidikkan bahu.

"Para bandit itu meminum susu?" tanya Alden dengan nada geli.

"Ada beberapa dari mereka yang tidak bisa mabuk," jawab Aprille dengan nada membela. "Jadi, yah..."

Alden mendengus geli kemudian membalas, "Well, aku tidak tertarik..."

"Tidak baik menolak pemberian orang," sergah bocah itu lagi, karena tahu Alden akan menyelanya.

"Tidak baik memaksa orang," celetuk Alden tidak mau kalah.

Bocah itu terdiam, kemudian menghela nafas panjang. Ia berdiri sambil membersihkan sisa kotoran di bajunya, lalu berkata lagi sebelum kembali pada kumpulan orang mabuk itu, "Aku tidak memaksamu. Aku hanya ingin kau hangat."

Bocah itu pergi dan kembali duduk di sebelah pria pirang bernama Gerald- atau siapalah itu, Alden lupa namanya. Alden kembali menatap gelas kayu itu, lalu tersenyum tipis. Ia meneguk susu tersebut perlahan-lahan dan Alden merasa tubuhnya lebih hangat. Rasa susu itu ternyata disambut baik oleh lidahnya. Ia mendongak lagi dan melirik pada bocah itu.

Ternyata si Bocah Alden juga tengah menatapnya dari kejauhan. Saat tatapan mereka bertabrakan, bocah itu tersenyum puas, lalu mengangkat jempolnya. Alden membalas bocah itu dengan senyuman miringnya dan kembali mengasah pisaunya.

Kali ini ia mengasah pisau tersebut sambil sesekali tersenyum geli.

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang