19. BENTENG CALLSEN

16.9K 2.4K 11
                                    

Aprille duduk di sudut penjara sambil memeluk kedua lututnya dengan erat. Ia menyerah untuk berteriak meminta petugas lapas tersebut mengeluarkannya dari situ. Aprille sangat ketakutan, karena penjara yang ditempatinya gelap, kotor, dan lembab, bahkan jerami yang tengah ia duduki pun terasa dingin hingga menembus kulitnya.

Ia mulai merasa keputusannya untuk lari dari Alden adalah keputusan yang salah. Namun, Aprille juga tidak mengerti bagaimana caranya, agar ia bisa kembali ke sisi pria itu. Ia berharap tidak pernah memulai perjalanan ini.

Bulu kuduknya sempat berdiri ketika petugas yang menangkapnya tadi mengatakan kalau Aprille akan dibawa ke penjara ibukota. Berbagai desas-desus mengenai betapa mengerikannya hukuman mati untuk seseorang yang diduga penyihir, sudah tersebar di seluruh kota. Selain itu, interogasi yang digunakan juga tidak manusiawi. Hal itu, membuat kekhawatiran Aprille semakin meningkat.

Ia semakin memeluk lututnya dengan erat sambil memanggil nama Alden berkali-kali dalam hatinya. Udara semakin dingin ketika hari beranjak malam. Aprille menggosok kedua lengannya, agar tetap hangat. Ia mendongak waspada ketika mendengar suara langkah kaki yang tengah menyusuri lorong.

Pria gembul yang menangkapnya tadi, tampak membukakan sel penjara sambil menatap Aprille tajam. Ia melangkah masuk dan memaksa Aprille untuk berdiri tanpa berbicara sedikit pun. Mata Aprille ditutup dengan sebuah kain hitam. Pria itu lalu mendorongnya keluar dari penjara dengan kasar. Suara sepatu petugas yang khas terdengar seperti mimpi buruk bagi penghuni penjara.

Aprille mengikuti ke mana pria itu menariknya dengan mata tertutup. Jantungnya berdegup sangat kencang hingga memuat perutnya terasa mual. Perasaan tidak enak tiba-tiba saja hinggap di benaknya. Setelah berjalan sekian lama, pria itu memaksa Aprille untuk duduk di sebuah kursi besi. Tangannya masih terikat di belakang tubuhnya.

Petugas itu menarik penutup mata Aprille dengan kasar. Aprille menyipit sesaat untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Ia melihat ke sekeliling dengan tatapan waspada.

Di sebelahnya, terdapat preman yang mengajaknya ke klub pejantan beberapa hari yang lalu. Namun, preman itu dalam kondisi yang mengenaskan. Tangannya berdarah, karena baru saja dikuliti oleh salah satu petugas disitu. Interogasi yang tidak beradab ini sudah diterapkan selama bertahun-tahun oleh Kerajaan Cartland pada pelaku kejahatan.

Bau amis darah menusuk hidung Aprille. Ia semakin ketakutan. Preman itu sudah pingsan, karena tidak kuat menahan rasa sakitnya.

"Apakah dia seorang penyihir, Father?" tanya salah seorang petugas itu sambil meneliti Aprille.

Aprille baru menyadari kalau ia tengah dikelilingi oleh 5 orang. Tiga di antaranya menggunakan kerah putih yang merupakan lambang seorang pendeta, sedangkan sisanya menggunakan seragam petugas penjara.

Salah seorang pendeta yang tampaknya sudah memasuki usia 60-an itu mendekati Aprille dengan saksama. Ia mengelilingi Aprille sambil menelitinya dari atas hingga ke bawah. "Aku masih tidak yakin. Penyihir yang sesungguhnya akan merasa lemah ketika bersentuhan dengan besi dalam jumlah yang banyak seperti ini."

"Tetapi Father Martin, lihatlah telapak tangannya." Seorang pendeta yang lebih muda dan berwajah serius itu menyingkap telapak tangan Aprille dan menunjukkan simbol mata yang terlihat jelas. "Penyihir memiliki simbolnya sendiri. Dia adalah penyihir pikiran. Penyihir yang mengacak pikiran manusia untuk menggali informasi dari sana."

Father Martin terdiam sejenak, tampak sedang berpikir. Ia berjalan ke hadapan Aprille, lalu menatap matanya lurus-lurus selama beberapa detik. "Namun, warna mata anak ini normal, Father Giorgio, seperti manusia pada umumnya. Biasanya penyihir memiliki warna mata yang aneh dan tidak biasa."

"Penyihir juga mampu mengubah dirinya menjadi apa saja. Kini, ia mengubah dirinya menjadi bocah laki-laki dengan wajah tidak berdosa. Aku yakin sekali anak ini adalah penjelmaan dari penyihir," celetuk salah satu pendeta yang tidak diketahui namanya itu.

"Kita tidak boleh mengambil keputusan tergesa-gesa, Father Leon. Anak ini masih belum terbukti seorang penyihir," bantah Father Giorgio dengan keras.

Ketiga pendeta itu saling berunding satu sama lain untuk menentukan keputusan terbaik. Aprille masih terdiam dengan lidah kelu dan jantung yang berdebar kencang. Preman yang merupakan rekannya itu sudah dijebloskan kembali ke dalam penjara. Kini, tinggal ia seorang diri dalam ruangan itu.

Aprille menelan ludah lalu, memaksakan dirinya untuk berucap sepatah kata. "Aku bukan penyihir," ucapnya pelan.

Ketiga pendeta itu masih sibuk berunding.

"Aku bukan penyihir!" Aprille lebih mengeraskan suaranya, namun lagi-lagi tidak ada yang mendengarnya.

"AKU BUKAN PENYIHIR!" teriak Aprille kesal, sekaligus lega, karena berhasil mematahkan hambatan yang membuatnya sulit berucap.

Ketiga pendeta itu berbalik menatap Aprille sambil melihat satu sama lain. "Kami masih belum bisa menentukan, Nak. Kau akan dikirim ke ibukota Cartland bersama Michael besok. Mungkin masalah ini dapat selesai dengan cepat jika ditangani langsung pemerintah pusat."

"Aku memang bukan penyihir! Aku bahkan tidak tahu apa-apa soal mantra. Aku bersungguh-sungguh!" ucap Aprille berusaha agar kata-katanya dapat diterima. Namun, ia tidak memiliki bukti yang kuat untuk meyakinkan mereka.

"TUNJUKKAN DIRIMU, PENYIHIR!" teriak Father Leon dengan keras sambil menampar pipi Aprille. Aprille hampir terjungkang ke belakang, karena tamparan itu. Kuku Father Leon yang panjang mengiris sudut bibirnya hingga mengeluarkan darah yang segar.

Aprille merasakan pipinya terasa perih begitu juga dengan sudut bibirnya. Ia hampir meneteskan air mata di depan ketiga Father itu. Rasa sakit di raganya hanya sebagian kecil dari penderitaan Aprille hari itu. Rasa penyesalan yang menyesakkan dadanya sejak tadi pagi. Berkali-kali pertanyaan yang sama melintas di benaknya.

Apakah ia mengambil keputusan yang salah?

Sebelum Aprille sempat memberikan tanggapan, matanya sudah ditutup terlebih dahulu oleh petugas penjara. Ia dibawa lagi ke selnya yang gelap, lembab dan menakutkan. Aprille duduk di sudut penjara yang gelap sambil memeluk lututnya dengan erat. Tanpa bisa ditahan lagi, ia meluapkan segala penyesalannya lewat tangisan pilu.

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang