13. BAU YANG ANEH

18.4K 2.8K 12
                                    

Alden terkekeh saat menatap bocah tersebut tengah menari seperti orang gila di halaman. Si Bocah Alden menghabiskan 1 gelas bir besar hingga ia bisa mabuk seperti orang gila saat ini. Bocah tersebut terus bergumam tidak jelas saat menghabiskan setidaknya setengah gelas bir. Ia mulai tertawa dan meracau seolah tengah merapalkan mantra. Alden terkadang merasa iri bagaimana bocah tersebut bisa mabuk secepat itu. Ia tidak akan bisa mabuk, sebanyak apa pun minuman keras yang diminumnya.

Alden masih berdiri dengan diam sambil menatap bagaimana bebasnya bocah tersebut menggerakkan seluruh tubuhnya. Bocah itu berputar dan melompat, lalu tertawa seperti orang gila. Alden bisa membayangkan bagaimana sakitnya tubuh bocah itu ketika ia bangun besok. Bocah itu kemudian berjalan dengan langkah yang tidak stabil ke arahnya. Sebelum sempat menyentuhnya, bocah tersebut sempat terhuyung dan Alden dengan segera langsung menangkapnya.

Bocah itu menyandarkan dahinya pada dada Alden yang hanya ditutupi tunik putih tipis, kemudian tertawa. Dengan gerakan yang perlahan tapi pasti, bocah itu melingkarkan tangannya di pinggang Alden seolah memeluknya. Tubuh Alden menegang, sekaligus kaget, karena hangatnya tubuh bocah itu yang memeluknya. Alden memang sering menyentuh manusia, apalagi wanita setiap kali mereka bercinta. Namun, tidak pernah sekalipun, manusia yang disentuhnya memiliki kehangatan yang menenangkan seperti ini.

"Kau dingin," ucap bocah itu kembali meracau.

"Menjauhlah dariku, Nak." Walaupun pikirannya berusaha untuk menjauhkan bocah hijau itu darinya, namun tubuhnya berkhianat.

Bukannya mendorong bocah itu menjauh, Alden malah melingkarkan tangannya ke sekeliling tubuh mungil itu, seolah memberikan benteng pertahanan. Tubuh bocah itu begitu kecil dan rapuh, mungkin hanya setengah dari besar tubuhnya.

"Menjauhlah dariku, Nak," bisik Alden, namun tubuhnya lagi-lagi berkhianat. Ia menghirup dalam-dalam wangi bocah hijau yang dipenuhi kebebasan dan keceriaan. Wangi khas si Bocah Alden. Namun, kemudian ia mencium bau kehampaan yang sangat khas dari tubuh bocah itu. Memang hanya sedikit, namun cukup membuat Alden mengerutkan kening. Bau kehampaan itu jelas bukan berasal dari golongan manusia, melainkan dari golongan berbahaya yang seharusnya sudah punah saat Masa Besi.

Namun, kemudian lamunannya terusik dengan suara dengkuran keras dari bocah yang kini tertidur dalam pelukannya. Dengan gerakan yang perlahan, namun sigap, Alden langsung membopong bocah itu ke dalam pelukannya, lalu membawanya ke kamar mereka.

Ia membaringkan bocah yang tertidur pulas itu di ranjang sambil mengumpat pelan. "Dasar bocah hijau yang merepotkan!"

Namun, sesaat kemudian ia tersenyum geli saat liur bocah itu menetes dan melukis indah di bantal. "Mungkin tidak terlalu merepotkan juga," tambahnya.

***

Aprille merasakan sakit kepala yang hebat saat membuka matanya. Kepalanya terasa berdenyut dan berdenging di waktu yang bersamaan. Kalau seperti ini rasanya meminum cairan itu, maka Aprille bersumpah tidak akan meneguknya setetes pun. Ia baru ingin beranjak dari ranjangnya ketika pintu mengayun terbuka dan Alden tengah membawa nampan sup ke arahnya. Pria itu meletakkan nampan tersebut ke pangkuannya, kemudian mengambil tempat di sisi ranjang.

Aprille sedang tidak ingin menyantap sup tauge di pagi hari. Ia mulai merasa mual hanya dengan mencium baunya. Aprille menggeleng enggan, namun hanya dibalas dengan tatapan tegas dari Alden. "Makan," ucapnya seolah tidak mau dibantah.

Karena dirasa terlalu kasar, Alden berdeham pelan. "Makanlah sedikit untuk meredakan sakit kepalamu itu."

"Kau tidak merasakan hal yang sama denganku?" tanya Aprille sambil menutup hidungnya.

"Aku tidak bisa mabuk," jawab Alden sambil menggidikkan bahu.

Aprille tercengang kemudian menatap pria di hadapannya dengan wajah tertarik. "Sangat menyenangkan kalau aku jadi kamu."

Alden tersenyum masam. "Kau baru boleh mengatakan itu setelah tahu apa yang ku jalani selama hidupku."

"Bersenang-senang dengan wanita, minum bir dan mencari masalah. Itu yang kau jalani dalam hidupmu. Lalu apa masalahnya?" Ucapan bocah itu sangat blak-blakan dan bahkan wajahnya tidak menunjukkan penyesalan sama sekali. Ingin sekali Alden menjitak kepala bocah itu dengan keras, agar dia sadar kalau hidupnya tidak sebrengsek itu.

"Seburuk itukah penilaianmu padaku?" sindir Alden.

"Kau sendiri yang mengatakannya." balas Aprille tidak terima.

"Aku tidak pernah menjelek-jelekkan diriku sendiri." Alden juga tidak mau kalah dari bocah di hadapannya.

"Aku tidak pernah bilang bahwa kau menjelek-jelekkan dirimu sendiri. Lagi pula, apa yang salah dari semua kegiatan itu?"

"Kau membuatku terdengar seperti seorang yang sangat brengsek," jawab Alden yang tiba-tiba saja menjadi sama blak-blakannya dengan anak laki-laki itu. Tiba-tiba saja penciumannya menangkap bau hampa yang sangat familiar. Kali ini, lebih tajam daripada malam sebelumnya. Ia masih tidak menemukan apa itu.

"Itu..." Aprille ragu sejenak kemudian melanjutkan. "Memang kenyatannya."

"Jelaskan sisi brengsekku," tantang Alden yang sulit fokus, karena bau itu semakin mengganggunya hingga membuat pikirannya juga lama-lama ikut hampa.

"Bahkan guruku tidak pernah memberikan soal seperti itu," jawab Aprille dengan ekspresi tidak percaya.

"Oh Ya Tuhan, sebenarnya apa yang kucium di sini," erang Alden kesal, karena fokusnya terus terbagi dan pikirannya mulai hampa. Alden memerintahkan bocah tersebut untuk berdiri agar ia bisa membauinya lebih dalam lagi. Alden menutup matanya berusaha mempertajam penciumannya sambil mengelilingi bocah itu. Ia terus mengendus selayaknya anjing dari rambut lalu tiba-tiba saja berhenti di tangan bocah itu.

Alden membuka mata gelap malamnya kemudian menatap Aprille dengan pandangan tidak terbaca. "Sudah berapa kali, aku mengingatkan kamu soal ini, Nak," tegas Alden dengan nada yang dingin dan membuat bulu kuduk Aprille berdiri. Pria itu meraih tangan kanan Aprille dengan gerakan lembut, namun mencengkeramnya sedikit sebagai tanda amarah. Alden menatap geram ke arah gambar mata yang terpampang di telapak tangannya.

"Kau tidak tahu apa yang sedang kau hadapi, Nak," lanjut Alden lagi sambil menatap Aprille dengan intens. Aprille mulai mengerti mengapa banyak orang yang takut padanya. Aura hitam pekat menyelubungi seluruh ruangan hingga membuat Aprille kedinginan. Namun, ia masih bertahan menatap mata yang segelap malam itu. Terdapat kilatan merah menyala, pertanda amarah yang sangat besar.

"Jangan pernah percaya apa yang keluar dari mulut pria itu, Nak," geram Alden, membuat Aprille semakin penasaran, namun tidak berani mengoreknya, karena Alden yang terlihat sangat marah.

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang