2. PENYAMARAN

26.4K 3.6K 54
                                    

Frederick menatap wajah Aprille lamat-lamat. Ia sudah selesai memangkas rambut gadis itu sependek mungkin, agar terlihat seperti seorang anak laki-laki, namun tetap saja kesan lembut dan polos tidak bisa menutupi wajah Aprille. Hal itu, membuat Frederick sedikit khawatir. Ia mengambil topi kecil dan memakaikannya pada Aprille. Frederick tersenyum puas saat wajah gadis itu tidak semencolok yang tadi. Ia membersihkan rambut-rambut Aprille dari lantai dan memastikan tidak ada jejak yang tersisa.

Aprille mengambil tas kainnya dan memakai kasutnya. Saat ia melihat di depan kaca, Aprille tidak lagi melihat seorang anak gadis yang baru memasuki Season, tapi seorang anak laki-laki ingusan. Hal itu bukannya membuat Aprille sedih, namun ia semakin antusias.

Aprille tersenyum pada Frederick dan dibalas dengan tepukan hangat di pundaknya. Gadis itu memeluk Frederick sambil mengucapkan terima kasih setulus mungkin, lalu melambaikan tangan untuk pergi. Aprille sangat mempercayai Frederick. Ia tahu bahwa pria tua itu tidak akan membohonginya. Aprille sangat menyayangi Frederick lebih dari ia menyayangi ibunya.

Aprille kemudian berjalan kaki ke tempat kereta ekonomi. Ia berniat untuk menaiki kereta tersebut dan turun di kota Ravle lalu beristirahat di sana untuk semalam, kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Downshire. Aprille belum pernah naik kereta ekonomi sebelumnya. Ia yang berasal dari kaum bangsawan biasanya menyewa kereta, daripada menaiki kompartemen. Karena itu, Aprille tidak mengerti rute kereta-kereta kuda yang terparkir. Ia berniat bertanya pada seorang kusir di situ. Matanya menangkap seorang pria ceking dengan alis mata yang terus bertaut sejak tadi.

"Permisi, yang mana dari kereta ini yang melayani perjalanan ke kota Ravle?" tanya Aprille sesopan mungkin.

Pria ceking itu menatap Aprille lamat-lamat dengan tatapan curiga. "Cari kereta yang berwarna cokelat tua, Bocah!"

"Terima kasih," ucap Aprille sembari cepat-cepat pergi dari situ. Ia takut ada seseorang yang tahu dirinya adalah seorang gadis yang bahkan belum memasuki Season. Peraturan sosial menyebutkan bahwa seorang gadis yang belum memasuki Season tidak diperbolehkan berkeliaran sendirian tanpa seorang pengasuh atau orang dewasa. Selain itu, gadis yang belum memasuki Season diharuskan memakai cadar saat keluar dari rumah. Aprille jelas telah melanggar semua itu. Ia bisa dikucilkan dari sosial jika ketahuan.

Saat melihat sebuah kereta merah reyot sampai, tanpa aba-aba, Aprille langsung naik ke kompartemen itu dan mengambil kursi paling pojok. Tanpa menunggu lama, kereta itu sudah dipenuhi oleh orang-orang dengan wajah murung. Seorang wanita tua yang selalu tertidur duduk di sampingnya dan seorang pria serius yang selalu memegang monokelnya tengah duduk di hadapan Aprille.

Aprille juga ikut tertidur selama sisa perjalanan dan tanpa ia sadari, kereta sudah berhenti. Ia turun dari kompartemen tersebut dan mendapati matahari sudah berada di tengah langit. Aprille yang keroncongan langsung mendatangi sebuah kedai kecil di tengah kota. Ia memesan sup kaldu dan susu. Pemilik kedai yang melihat Aprille, langsung mendatanginya dan duduk di hadapan gadis itu. Kondisi kedai yang sepi, membuatnya leluasa untuk bercengkerama dengan Aprille.

"Kau seperti anak laki-laki dari kaum bangsawan," ucap pemilik kedai tersebut. "Mana pengasuhmu?"

"Dia...umm...sedang mencari kereta sewaan lain. Kereta kami rusak tadi." Aprille menjawab dengan gugup kemudian menyantap kaldunya.

"Namaku George Hamilton. Panggil aku George. Dan siapa namamu, bocah?" tanyanya lagi dengan nada ramah.

Aprille mendongak dan mendapati pemilik kedai itu masih muda dan memiliki wajah yang lumayan tampan. "Aku..."

Aprille terdiam sambil memutar otaknya mencari nama yang cocok untuknya. "Alden. Ya Alden!" ucapnya antusias.

George tampak mengamatinya lamat-lamat, kemudian bertanya, "Kau yang terlalu cantik sebagai seorang anak laki-laki atau mataku yang kelainan."

Aprille merona sebentar, namun kemudian berusaha untuk terlihat tersinggung. "Aku seorang anak laki-laki. Kau bukan satu-satunya orang yang mengatakan seperti itu dan aku tersinggung."

Geoege tertawa lebar. "Baiklah, maafkan kelancanganku. Aku hanya merasa janggal melihat seorang anak laki-laki yang cantik."

Aprille juga ikut tertawa menanggapi George. Ia menyesap kaldu ayamnya lagi, di kala sudut matanya melihat pria itu beranjak berdiri. "Nikmati harimu di Hampshire."

Hampshire, Hampshire, HAMPSHIRE?!

"APA KATAMU? HAMPSHIRE?" Aprille hampir berteriak, karena sekarang ia tahu kalau ia sudah tersesat.

George menatapnya bingung, kemudian mengangguk. "Iya, Hampshire."

"Ya, Tuhan, aku salah tempat." Aprille mengambil tas kainnya dan berlari ke tempat kereta ekonominya tadi. Ia melihat seorang kusir yang tengah memberi makan kuda-kudanya.

Aprille mengatur nafasnya yang tersengal, kemudian bertanya. "Setelah ini, tujuan kereta ekonomi ini ke mana?"

"Ke Guto," jawabnya singkat sambil menatap anak muda yang tingginya hanya sebatas dadanya.

"Tidak ada kereta yang pergi Ravle?" tanya Aprille berharap ada yang bisa menyelamatkannya.

"Kau salah kereta, nak," jawab kusir itu prihatin. "Kalau kau ingin ke sana, aku sarankan kau menyewa kuda atau mencari tumpangan."

Aprille menghela nafas panjang, kemudian mencengkeram tas kainnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia takut, khawatir, namun juga bersemangat. Inilah yang ia impikan sebagai pertualangan mendebarkan, tetapi Aprille juga khawatir kalau-kalau ia akan terus tersesat dan uangnya akan segera habis. Pada akhirnya, Aprille memutuskan untuk mencari penginapan yang murah dekat situ. Besok, ia akan mencari tumpangan ke Ravle.

Setelah mencari selama 2 jam, Aprille hanya menemukan penginapan tua sekaligus bar yang murah, namun dipenuhi dengan orang-orang berwajah sangar. Ia semakin takut saja, namun Aprille berusaha untuk memasang wajah beringas sama seperti mereka.

Hari sudah mulai gelap. Bar di penginapan tersebut mulai ramai dengan orang-orang yang lebih sangar lagi dan wanita-wanita berpakaian tipis. Aprille tidak habis pikir bagaimana wanita-wanita itu bertahan di udara yang sedingin ini. Sebentar lagi, akan memasuki musim salju, dan suhu menurun drastis dari sebelumnya.

Ia masih menyantap sup kaldunya lagi -karena hanya itu yang murah- dan segelas susu hangat ketika segerombolan pria berbadan besar menghampirinya. Kira-kira ada tiga orang yang menghampirinya. Aprille mendongak dan memberikan wajah sangar, namun bukannya takut, malah tiga pria itu tertawa keras.

"Lihat, anak laki-laki cantik ini," ucap salah satu di antara mereka sambil menarik kerah baju Aprille dan memaksanya untuk berdiri.

"Berapa uang yang kau punya, Bocah?" tanyanya lagi sambil merogoh saku Aprille. Aprille sangat bersyukur, karena ia meninggalkan tasnya di kamar.

"Memangnya berapa yang kau harapkan dari seorang anak laki-laki yang memesan segelas susu hangat?" Suara berat dan dalam itu membuat ketiganya berbalik dengan wajah waspada. Tiba-tiba saja ketiga orang itu langsung mundur teratur dan berlari sekencang mungkin seperti melihat hantu. Suasana di bar menjadi hening seketika.

"Segelas bir," ucapnya pada pemilik bar yang ditanggapi dengan anggukan cepat. Pria itu memakai tudung kepala dan menutup seluruh wajahnya. Menurut Aprille, pria itu sepertinya memiliki pengaruh besar hingga membuat semua orang menurutinya.

Pria itu duduk di depan meja Aprille kemudian mengangkat sebelah tangannya dan suasana kembali ramai seperti semula. Aprille takjub bukan main saat melihat aura tegas dan gelap pria itu.

"Bocah itu yang akan membayar minumanku," ucap pria tersebut, kemudian membuka tudung kepalanya.

Aprille tidak pernah terpesona pada lawan jenis sampai hari ini, ketika ia melihat pria di balik tudung hitam itu.

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang