6. SESUATU YANG MENUNGGU DI HUTAN

21.3K 3.3K 36
                                    

Alden tengah mengecek segala kelengkapan barangnya ketika firasatnya mulai terasa ganjil. Hatinya mulai tidak tenang saat membiarkan anak laki-laki tersebut pergi ke hutan sendirian. Alden berusaha untuk tidak menghiraukan pemikiran tersebut. Namun, semakin ia bersikap tidak peduli, semakin hatinya tidak tenang. Dengan terpaksa, Alden meninggalkan keretanya di pinggir dan masuk ke jalan setapak itu.

Ia terus berjalan menyusuri jalan setapak yang sempit itu dan mendapati kudanya tengah meminum air di sungai. Tidak jauh dari situ, bocah tengik tersebut juga tengah berdiri dengan mimik waspada. Alden merasakan ada hawa yang tidak menyenangkan dari sisi sebelah kiri depannya. Dan benar saja, kini ada seseorang yang tengah membidik si Bocah Alden dengan panah.

Alden yang terkejut langsung berlari dan mendorong bocah tersebut hingga terjatuh ke tanah, ketika panah melesat. Wajah anak laki-laki itu tampak kesakitan, lalu kemudian matanya menutup. Alden beranjak duduk dan melingkarkan tangannya di pinggang bocah itu, lalu memosisikannya di pangkuannya. Matanya menangkap warna merah segar yang mengalir dari lengan kiri si Bocah Alden.

Panah Dera.

Dera adalah semacam tumbuhan yang membuat orang tertidur untuk beberapa jam. Tumbuhan ini digunakan para bandit untuk mencuri dari mangsanya. Tumbuhan ini dapat berupa panah dan bom kecil. Alden sudah mempelajari berbagai jenis senjata mulai dari yang umum hingga yang paling langka. Panah Dera termasuk senjata yang umum di kalangan para bandit.

Sesaat kemudian, Alden sudah dikelilingi oleh orang-orang yang memakai cadar hitam dan membawa senjata tajam. Alden meletakkan bocah tersebut di tanah dengan lembut, kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas. Ia menatap satu per satu kalangan bandit yang wajahnya tertutupi cadar hitam tersebut. Kira-kira ada 14 orang yang kini mengepungnya.

"Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?" tawar Alden perlahan tapi pasti.

"Ikutlah dengan kami," ancam salah seorang dari mereka.

Alden berkeliling dengan wajah santai. "Aku yakin kita akan membuat kesepakatan yang saling menguntungkan."

"Tidak ada kesepakatan jika kau ingin hidup," ucap seorang bandit lagi yang membuat Alden mengerutkan kening tidak suka.

Alden benar-benar tidak ingin membunuh satu orang pun dari bandit itu. Ia tidak ingin adanya pertumpahan darah yang sia-sia. Karena itu, dengan pasrah, Alden mengangguk pelan.

Seorang dari bandit itu kemudian mendekati si Bocah Alden dan berniat untuk menyentuhnya. Hal itu, membuat Alden langsung menghadang jalan bandit tersebut dengan merentangkan sebelah tangannya.

"Jangan sentuh dia!" tegasnya dengan wajah yang serius. "Aku akan pergi bersama kalian, tapi jangan ada sehelai pun dari rambutnya mengenai ujung kuku kalian."

Alden kembali menatap bandit yang berniat menyentuh si Bocah Alden dengan serius. "Kalian benar-benar tidak akan suka dengan apa yang akan kuperbuat kalau kalian melanggarnya. Aku harap kau mengerti."

Bandit tersebut langsung mundur teratur sambil mengacungkan senjatanya ke arah Alden, namun kali ini tangannya bergetar ketakutan. Alden berbalik kemudian berjongkok di samping anak laki-laki itu. Dengan perlahan tapi pasti, ia menyelipkan tangannya di punggung dan di bawah lutut si Bocah Alden, lalu membopongnya dengan mudah.

"Ke mana kita akan pergi?"

***

Alden menatap seorang pria berotot besar berumur 30 an yang berlalu lalang di sekitar mereka. Mereka dibawa ke sebuah dataran bebas yang dikelilingi hutan. Di dataran itu sudah dibangun beberapa kemah yang menjadi tempat persembunyian para bandit. Barangnya sudah ditawan semua oleh para bandit sialan itu. Saat sampai di tempat itu, para bandit tadi mulai melepaskan cadarnya. Alden yakin sekali wajah mereka sangat tidak mendukung pekerjaan mereka yang sangar. Ia jadi mengerti kenapa para bandit memakai cadar.

Kini tangan Alden diikat di belakang pinggang dan tubuhnya diikat di sebatang pohon yang sangat besar. Begitu juga dengan si Bocah Alden yang tengah tertidur lunglai dengan kepala menunduk. Darah di lengan kiri bocah tersebut sudah mengering, namun tetap saja Alden mengkhawatirkan dengan kebersihan lukanya. Ia takut jika nantinya luka tersebut terinfeksi, karena kuman, apalagi panah dera bukanlah senjata yang higienis.

Alden berdeham pelan untuk menarik perhatian pria berotot itu. Pria itu masih sibuk mengasah pisau kecilnya tanpa mempedulikan Alden.

"Biarkan aku membersihkan luka bocah itu," ucap Alden sopan dan santai.

Pria berotot itu menoleh ke arah Alden sebentar, kemudian menggeleng pelan. "Kau pikir aku akan terperdaya dengan tipuanmu?"

"Kalau begitu bersihkanlah lukanya," lanjut Alden sambil menatap pria berotot itu dengan serius.

Kali ini, tidak ada cadar yang menutupi wajah. Pria itu memiliki rambut yang berantakan dan kumis yang seolah tidak pernah dicukur. Terdapat banyak luka goresan memanjang di pipi kirinya. Alden langsung tahu, kalau dulu pria itu adalah seorang prajurit kerajaan. Hidup sekian lama membuat Alden sudah mengetahui banyak hal.

Pria berotot itu hanya menggeleng dan mendengus pelan. "Aku tidak dibayar untuk mengurus kalian. Lagi pula, kau sendiri yang melarang kami untuk menyentuh bocah itu."

"Kau kuizinkan," sergah Alden dengan wajah datar yang membuat pria berotot itu terdiam.

Pria berotot itu menatap Alden dengan tatapan tidak percaya sekaligus meremehkan. "Kau bukan siapa-siapa hingga harus mengizinkanku."

"Stevanus Mordekhai, berhentilah membantahku." Saat Alden mengucapkan nama panjangnya, pria berotot itu langsung menjatuhkam pisaunya saking terkejutnya. "Aku memang bukan siapa-siapa tapi aku berhak mengizinkanmu, karena bocah itu bersamaku."

"Siapa kau?" tanya Mordekhai dengan wajah terkejut yang terlihat jelas.

Alden tersenyum miring kemudian menjawab Mordekhai dengan mantap, "Aku adalah malaikat penjaganya."

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang