20. LUCIEN

16.2K 2.5K 6
                                    

Alden memacu kudanya dengan kesal, sekaligus khawatir, karena bocah tersebut berani pergi darinya. Ia menyesal, karena menanggapi hilangnya bocah tersebut dengan santai. Alden berpikir kalau bocah tersebut hanya mencari udara segar atau sekadar melihat di sekeliling mansion-nya. Alden baru merasa janggal dan khawatir ketika hari beranjak malam. Bocah tersebut tidak kunjung pulang.

Alden mencari bocah tersebut semalaman di hutan sekitar mansion-nya, bahkan hampir melewati batas Ravle dan Welsh. Ia hanya beristirahat 3 jam dan paginya langsung memacu kudanya ke alun-alun kota Ravle.

Alden mengikatkan kudanya di salah satu kandang yang tidak jauh dari alun-alun kota Ravle. Ia berusaha mempertajam penciumannya untuk mencari keberadaan bocah itu. Namun, banyaknya orang dengan beranekaragam aroma membuat Alden kebingungan dalam memilah bau yang dicarinya, apalagi semalam gerimis kecil sehingga menyamarkan aroma bocah tersebut.

Penciuman Alden mengantarkannya ke sebuah rumah tua yang terletak di pusat kota Ravle. Seorang pria berkerah putih tengah membaca buku di bawah pohon yang sejuk. Alden mencium adanya aroma khas bocah yang tertinggal pada pendeta tersebut. Tanpa menunda-nunda lagi, Alden langsung menghampiri pendeta tersebut.

"Halo, Father Martin," sapa Alden sopan, kemudian duduk di samping pria tua itu.

"Tuhan memberkatimu, Anak Muda. Apakah ada yang bisa aku bantu?" Father Martin menutup bukunya, kemudian melemparkan tatapan teduh pada Alden.

"Aku mencari seorang anak laki-laki berwajah polos seperti perempuan. Anak itu berumur sekitar 17-18 tahun. Apakah Anda melihatnya?" jelas Alden tanpa berbasa-basi lebih panjang lagi.

Father Martin tertawa kalem. "Aku melihat anak laki-laki itu seratus kali hari ini, Nak. Petunjukmu kurang spesifik."

Alden terdiam lama sambil berpikir keras. Ciri-ciri khusus apa yang dimiliki bocah itu selain keras kepala. Bocah itu memiliki dua mata, satu hidung, dan satu mulut. Ciri-ciri tersebut sangat umum. Tiba-tiba saja Alden teringat dengan bekas gigitannya di leher bocah itu.

"Ada bekas di lehernya, seperti digigit umm... serangga," jawab Alden sedikit canggung untuk mengutarakannya pada seorang pendeta.

"Maaf, aku tidak melihat anak seperti itu." Father Martin menggelengkan kepalanya sopan.

Tiba-tiba saja gambar mata di telapak tangan bocah itu langsung terlintas di benaknya. "Dia memiliki gambar pohon di telapak tangannya," sahut Alden dan ditanggapi dengan tatapan terkejut oleh Father Martin.

"Apa matanya berwarna cokelat kehitaman?" tanya Father Martin memastikan.

Alden berpikir sejenak sambil mengusap tengkuknya. "Aku tidak begitu memperhatikannya."

"Aku bertemu seorang anak laki-laki dengan gambar mata di telapak tangannya. Wajahnya sangat polos, sehingga membuatku berpikir dua kali untuk menjatuhkan tuduhan padanya," jelas Father Martin yang memberikan secercah harapan pada Alden.

Namun, Alden merasa ganjil dengan penjelasan Father Martin, karena itu ia bertanya lagi, "Dimana anak laki-laki itu? Aku tidak mengerti maksud tuduhan yang kau bicarakan."

"Aku menyarankan untuk membawa anak laki-laki itu ke ibukota untuk diinterogasi lebih lanjut di sana. Namun, aku tidak yakin apakah mereka sudah mengirimkannya ke sana atau belum..."

"Mereka? Ibukota? Untuk apa?" geram Alden dengan suara dingin, hingga membuat bulu kuduk Father Martin berdiri.

Entah mengapa, Father Martin merasakan aura gelap seolah menyelimutinya. Ia berdeham untuk meredakan kegugupannya kemudian menjawab, "Mereka adalah petugas penjara, Nak. Anak lelaki itu dibawa ke ibukota untuk diperiksa lebih lanjut. Ia dituduh sebagai penyihir."

"PENYIHIR?!" Nada suara Alden meninggi hingga membuat tubuh Father Martin gemetar. Tubuh rentanya seolah remuk di bawah tatapan tajam Alden. "Siapa yang menjatuhkan tuduhan itu padanya?"

Father Martin yakin sekali warna mata pria di depannya berubah menjadi merah darah. Ia semakin ketakutan karenanya. "Begitulah, rumor yang beredar. Selain itu, anak laki-laki itu memiliki tanda bahwa ia seorang penyihir."

"Apa itu?"

"Ada simbol penyihir pikiran di telapak tangannya," jawabnya terbata-bata.

Seketika itu juga, memori lama kembali berputar dalam benaknya. Ia menggeram kmeudian membalikkan badannya dengan cepat. Kakinya melangkah ke salah satu rumah penjara di pinggiran kota Ravle, mengikuti instingnya yang tajam. Langkahnya tegas, cepat dan penuh dengan marah.

Alden terus mengulang nama itu dalam hatinya dengan amarah yang luar biasa.

Lucien.

TBC...

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang