12. GELAP DAN HAMPA

18.2K 2.7K 28
                                    

"Kembalilah ke kamar, Nak," pinta Alden seenak jidat, hingga membuat Aprille merasa gemas padanya.

"Lalu kau sendiri bagaimana?" tanya Aprille berusaha memberontak dari Alden. Sejujurnya, ia masih penasaran aura menakutkan apa yang dipancarkan oleh Alden sampai membuat semua orang takut padanya.

"Aku menikmati masa-masaku sebagai seorang pria," jawabnya santai sambil duduk di kursi kayunya. Wanita-wanita yang memakai baju tipis tadi mulai berkumpul di sekitarnya seperti semut pada gula.

"Aku juga seorang pria!" tegas Aprille tidak terima.

"Kau masih bocah hijau, Nak, sampai waktu yang aku tentukan."

"Sampai kapan kau akan mengaturku?" tanya Aprille kesal dan tidak terima.

Alden mendengus kemudian menggidikkan bahu. "Sampai kau tiba di Ravle dengan selamat."

"Aku ingin berpetualang."

"Berpetualang?" Alden mendengus meremehkan kemudian menambahkan, "Kau tidak akan selamat kalau berpetualang menggunakan wajah dan otak polosmu itu."

Aprille yang kekesalannya memuncak, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menggigit bibirnya dengan muka merenggut. "Dan kau ingin aku berterima kasih untuk itu?"

"Simpan terimakasihmu itu, Nak. Itu tidak akan membuatku kaya."

"Brengsek," ucap Aprille saking kesalnya kemudian berbalik pergi dari situ sejauh mungkin.

Ia berjalan ke halaman penginapan yang dihiasi dengan batu kerikil dan kolam ikan kecil yang kotor. Aprille mengambil kerikil kerikil tersebut kemudian mengumpat sekeras mungkin sambil melemparkannya pada kolam ikan. Aprille duduk di samping kolam ikan dengan emosi yang meluap-luap. Di balik segala tindakan manis dan perhatiannya, ternyata pria itu lebih brengsek daripada perilaku monyet di musim kawin.

"Kau baik baik saja?" Suara lembut dan berat itu membuat Aprille mendongak.

Seorang pria dengan mata berwarna biru segelap laut di saat mendung tengah memandang tepat ke jiwanya. Lagi-lagi Aprille bisa merasakan dadanya sesak, karena merasakan hampa yang tidak terbatas.

"Aku tidak baik-baik saja setiap kali melihatmu," jawab Aprille blak-blakan dengan wajah polos. Wajahnya sama sekali tidak memancarkan sarkasme atau penghinaan.

Pria itu duduk di samping Aprille, kemudian menatapnya dengan intens. Setiap kali pria itu melihat ke arahnya, Aprille yakin sekali seperti ada sesuatu yang mengorek-ngorek pikirannya hingga membuat kepalanya sakit.

"Namaku Lucien." Pria itu memperkenalkan dirinya tanpa diminta. Lagi-lagi, Aprille tidak berani menatap matanya yang hampa itu.

Pria itu memang menawan dengan rambut sewarna dengan matanya. Wajahnya juga tenang dan teduh, tidak seperti wajah Alden yang terkesan nakal dan tidak mau dibantah, tetapi setiap kali melihat Lucien, Aprille selalu merasa ada sesuatu yang salah dengan pria itu, selain auranya yang hitam dan matanya yang hampa.

"Kau membuatku tidak nyaman," ucap Aprille terang-terangan sambil menoleh dan memberanikan dirinya menatap Lucien.

"Apakah aku terlalu dingin padamu?" tanya dengan nada yang lembut hingga membuat nafas Aprille tersekat.

"Bukan begitu, maksudku," balas Aprille cepat berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.

"Mata, aura dan..." Aprille terhenti dengan linglung, kemudian melanjutkan, "Semuanya tentangmu terasa salah."

Lucien tersenyum lembut kemudian menatap mata Aprille dengan tajam. Lagi-lagi, Aprille merasakan pikirannya dicabik-cabik seolah ada seseorang yang berusaha untuk mengorek informasi darinya.

"Kau tidak bisa berbohong, Aprille," bisiknya tiba-tiba. "Tidak, saat kau bersamaku."

Aprille langsung kaget dan ingin beranjak berdiri sampai suara dingin nan memerintah pria itu menggelegar. "Duduklah dan dengarkan aku. Jangan biarkan aku menyentuhmu."

Suara pria itu seolah mengintimidasi pikirannya hingga Aprille duduk dengan patuh. Aprille sendiri tidak mengerti mengapa ia mengikuti perintah pria itu.

"Aku tidak jahat kalau kau tidak memaksaku untuk melakukannya," tegas Lucien lembut, namun membuat bulu kuduk Aprille berdiri.

Lucien mengambil tangan kanan Aprille dan mengecup telapak tangannya. Sebuah sinar sewarna matanya memancar dari telapak tangan yang dicium Lucien.

"Apa ini?" tanya Aprille histeris sekaligus penasaran.

"Ini untuk menjagamu, sampai Alden menyadari kau yang dicarinya selama ini," balas Lucien misterius.

"Sebenarnya kau ini apa?" tanya Aprille langsung menarik tangannya. Gambar satu mata hitam terpampang di telapak tangan Aprille.

"Jaga dirimu baik-baik, Aprille. Aku tidak suka jika barang milikku rusak." Itu adalah kata-kata terakhir Lucien, sebelum dia menghilang begitu saja tanpa efek yang biasa Aprille lihat dalam buku bergambarnya.

Aprille melihat telapak tangannya dalam diam sambil berusaha meludah dan menghilangkan gambar itu. Namun, sekeras apa pun ia mencoba tetap saja gambar itu tidak mau hilang dari telapak tangannya. Ia mengepalkan tangannya dan berjalan ke kamar berharap Alden tidak melihat apa pun soal kejadian tadi. Aprille tidak tuli saat pria itu mengingatkan mengenai makhluk yang mengajaknya bicara.

Namun, ia tidak peduli lagi mengenai larangan Alden kepadanya. Pria itu bahkan tidak memiliki hak apa-apa terhadap hidupnya selain menolongnya. Saat membuka pintu dengan perlahan, Aprille melihat Alden tengah duduk menatap jendela.

Sepertinya pria itu melihatnya, tetapi mungkin tidak.

Semoga tidak.

Aprille berjalan dengan santai ke arah pinggiran ranjang yang jauh dari Alden dan membuka sepatu boot cokelatnya. Ia melakukannya dengan tenang walaupun jantungnya berdegup dengan kencang, takut jika Alden menunjukkan sisi yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

"Nak..." panggilnya dengan suara lembut, namun membuat bulu kuduk Aprille berdiri.

"Aku mendengarmu." Aprille membalikkan badannya dan menatap Alden tengah duduk dengan dua kancing tuniknya yang terbuka, menampilkan dada bidang tersebut.

Alden menghela nafas lagi. "Aku tidak bermaksud saat mengatakan seperti itu tadi."

Alden sendiri tidak mengerti mengapa ia harus mengungkapkan penyesalannya pada bocah itu, padahal ia tidak sebaik itu selama 1000 tahun belakangan ini. Aprille mengangguk kemudian tersenyum tipis. Ia sudah terlalu gugup untuk menanggapi penyesalan Alden.

"Aku... baik-baik saja," ucapnya sambil tidur membelakangi Alden.

"Kau baik-baik saja, Nak?" Alden mulai merasa dan mencium sesuatu yang tidak beres sejak bocah itu masuk.

"Aku ingin tidur," ucap Aprille sangat gugup, ketika merasa ranjangnya melesak ke samping.

"Mau menemaniku minum?" tawar Alden.

Aprille langsung beranjak duduk dengan mata berbinar. "Minum bir?"

Alden tersenyum menanggapi antusiasme bocah itu. "Tentu. Kau akan tetap aman bersamaku, sekalipun meminum racun."

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang