21. DEWA KEMATIAN

21.7K 2.5K 24
                                    

Hari sudah beranjak malam ketika Aprille turun dari kompartemen tersebut. Matanya langsung terpaku pada bangunan megah di hadapannya. Megah, namun gelap dan menyeramkan. Benteng itu dijaga oleh lebih dari 300 petugas dengan pakaian lengkap. Aprile juga melihat manusia yang bernasib seperti kawanannya dengan pakaian lusuh serta darah di mana-mana, didorong dengan paksa, masuk ke banteng.

Benteng Callsen adalah neraka bagi tahanan kelas kakap. Kota-kota yang termasuk dalam Kerajaan Cartland akan mengirimkan tahanan kelas kakap mereka ke benteng tersebut untuk diadili. Benteng Callsen merupakan tempat yang paling cocok untuk mengeksekusi penjahat kelas kakap. Setiap tahanan yang masuk ke dalam banteng tersebut, tidak akan pernah melihat dunia luar lagi.

Benteng Callsen dibuat oleh Sir Alden Callsen pada masa pemerintahannya untuk mengeksekusi pemberontak, keluarga kerajaan yang ia invasi dan bawahan yang tidak menuruti perintahnya dengan benar. Wanita-wanita bernasib na'as yang tidak mampu memuaskannya pun dimasukkan ke dalam banteng ini untuk dihukum mati.

Aprille mengikuti kawanannya masuk ke dalam banteng. Empat petugas menjaga mereka dari segala sisi. Banteng itu lembab, gelap dan bararoma darah. Teriakan kesakitan terdengar ke seluruh penjuru ruangan untuk menyebarkan rasa takut pada tahanan yang berada dalam sel. Aprille bisa mendengarkan teriakan meminta tolong, tangisan pilu dan gemertak gigi.

Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling sel yang dilaluinya. Dalam benteng tersebut, tidak ada pembagian sel antara laki-laki dan perempuan. Semuanya dicampur menjadi satu, sehingga tidak jarang terjadi pemerkosaan sadis yang berujung pada kematian. Mata Aprille terpaku pada seorang gadis yang tengah diperkosa dengan sadis oleh 4 orang tahanan pria. Teriakan meminta tolong dan tangisan pilu tersebut berasal dari wanita itu.

Aprille hanya bisa menunduk sedih, khawatir, sekaligus ketakutan. Ia tidak ingin melihat berbagai adegan lain yang kiranya akan merusak mentalnya. Kawanannya itu dimasukkan ke salah satu sel yang sudah berisi dua wanita. Semuanya kecuali Aprille dan Michael.

Petugas tersebut mendorong Aprille dan Michael dengan kasar, agar berjalan terus. Di ujung jalan, terdapat sebuah ruangan berbentuk lingkaran. Sel sel tersebut berjejer melingkar, sedangkan di tengahnya merupakan tempat ekseksusi. Tempat itu memiliki aroma darah yang lebih pekat, daripada sel kawanannya. Aprille bisa melihat dengan jelas darah segar mengalir di beberapa alat eksekusi. Ia dan Michael dimasukkan ke dalam salah satu sel di ruangan itu.

Petugas itu mengunci sel tersebut sambil berkata dengan dingin, "Interogasi kalian akan dimulai malam ini. Bersiaplah."

"Aku tidak terlibat dalam pembunuhan ini," gumam Michael putus asa sambil memeluk lututnya. Tubuhnya yang besar dan gagah seolah ikut menciut dengan nyalinya.

Aprille menatap Michael dengan sedih. "Aku juga tidak."

"Tetapi, seolah ada kekuatan yang menggerakkanku untuk mengatakan sebaliknya. Mulutku seolah bergerak di luar kendali. Aku... menuduhmu, Nak. Awalnya, mereka agak kesusahan mencari jejakmu, namun kemudian seorang pria bermata biru mulai menjelaskan ciri-cirimu secara detail, lengkap dengan kronologi kejadiannya," kata Michael dengan nada penuh penyesalan. "Maafkan aku, tetapi, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan mulutku. Seolah ada sihir yang mengendalikanku."

Aprille duduk bersandar di dinding sambil menunduk, berusaha mencerna penjelasan Michael. Ia mengangkat telapak tangannya dan mendapati gambar mata tersebut masih ada. Aprille mulai bertanya tanya apakah semua masalah ini direncakan Lucien? Tetapi untuk apa? Ia bukan putri ataupun tokoh politik yang harus disingkirkan. Aprille hanyalah seorang gadis yang mencari kebebasan.

Aprille menghela nafas panjang. "Aku tidak tahu kalau kisahku harus berakhir seperti ini."

***

Alden mendobrak pintu rumah penjara tersebut dengan kasar dan tanpa ampun. Hal itu jelas mengejutkan petugas yang tengah berjaga di dalam sana. Lima petugas sel tersebut langsung berdiri waspada sambil menodongkan pedang dan senapan mereka. Salah satu petugas paruh baya dengan tatapan tenang, mendekati Alden tanpa menodongkan senjatanya.

"Apakah ada yang bisa kami bantu?" tanyanya tenang.

Alden menerobos semua petugas tersebut dan menyusuri setiap sel. Ia mempertajam penglihatan dan penciumannya untuk melacak keberadaan bocah itu. Alden sudah menelusuri setiap sel, namun tidak menemukannya sama sekali. Ia mengusap rambutnya frustrasi.

"Apakah ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas itu dengan suara yang lebih keras dan tegas.

"Mana bocah itu?" balas Alden tidak sabaran tanpa mempedulikan senjata yang masih ditodongkan padanya.

"Alden Callsen. Masih sama seperti dulu. Tidak sabaran." Suara familiar itu seolah menghentikan jalannya waktu. Alden membalikkan badannya dan mendapati Lucien tengah duduk di salah satu kursi petugas sambil menatapnya santai.

Waktu berhenti. Semuanya terdiam seperti patung, kecuali Alden dan Lucien yang saling menatap satu sama lain. Alden menatap sinis, sedangkan Lucien hanya membalasnya dengan tatapan datar.

"Bagaimana kabarmu, sahabatku? Tanpamu, aku pengangguran. Aku merindukan masa masa di mana aku membunuh orang-orang yang membuatmu kesal," sapa Lucien yang tiba-tiba saja sudah berpindah tempat di sebelah Alden.

"Di mana Alden?"

"Dia di depanku sekarang," canda Lucien.

Alden mengeraskan rahangnya. "Itu tidak lucu."

"Kau senang menjadi baik, Alden? Apakah kau tidak ingin menginvasi seperti dulu lagi? Seperti ketika kita masih bersahabat." Lucien mendekati Alden.

"Berhenti mengacak pikiranku, Lucien. Aku bahagia dengan kehidupanku yang sekarang," geram Alden.

"Keinginan membunuhmu semakin besar setiap harinya. Semuanya berkumpul menjadi satu di sini." Jari Lucien bergerak di dada Alden. "Itu tidak sehat. Luapkan saja keinginan membunuhmu Alden, agar kau puas."

Alden mulai merasakan kepalanya pusing. "Berhenti memanipulasiku. Aku tidak ingin kembali ke kehidupan lamaku!"

"Benarkah? Mengapa?" Senyuman Lucien berubah jahat.

"Karena..." Alden berhenti sejenak sambil menatap tajam Lucien.

"Apakah kau tidak merindukan kekuatan tanpa batasmu, Alden? Apakah kau juga tidak merindukan aroma darah yang begitu nikmat? Sebaliknya, kau betah menjadi lemah seperti ini?" tanya Lucien sambil bergerak mengelilingi Alden.

Alden masih terpaku di tempatnya. Benaknya seolah diacak-acak hingga membuat Alden bingung mana yang nyata dan yang tidak. "Berhenti..."

"Kau menjadi sangat lemah, Alden. Ini sangat aneh bagiku, mengingat kau jauh lebih kuat dari ini. Kau menjadi bodoh..."

Alden langsung mencekik leher Lucien dengan sekuat tenaga. "Sial!"

"Masih belum terlambat. Kekuatanmu akan bertambah sepuluh kali lipat ketika masanya tiba, Alden. Aku selalu menunggu hari itu," lanjut Lucien, lalu menghilang seketika seolah angin menerbangkannya ke tempat antah berantah.

Alden membalikkan badannya lagi dan mendapati petugas-petugas tersebut masih menodongkan senjata ke arahnya. Kejadian tadi seolah menjadi mimpi buruk yang menemani malamnya. Nafas Alden memburu dan tidak teratur. "Di mana dia?"

"Kami tidak bisa memberitahumu. Kau tidak memiliki otoritas di sini," ucap petugas paruh baya itu dengan tegas.

Alden mendekati petugas itu selangkah demi selangkah dengan gerakan tenang. Warna bola matanya berubah menjadi merah darah yang pekat. Tanpa aba-aba, Alden menggerakkan pedangnya ke leher pria paruh baya itu dan memenggalnya dalam hitungan detik. Aroma khas darah menguar ke udara hingga penciumannya. Alden menikmati setiap tarikan nafas yang beraroma darah itu. Ia tidak ingat kapan terakhir kali pernah menghirup aroma nikmat tersebut.

"Di mana dia?" tanya Alden sekali lagi dengan nada dingin.

"Kami ti..tidak tahu, Sir. Mungkin, dia ada bersama tahanan lainnya yang sudah dibawa ke ibukota Cartland," ucap salah seorang dari mereka dengan terbata-bata.

"Kapan dia dibawa?"

"Su..subuh tadi."

Alden melempar pedang yang berlumuran darah kemudian meninggalkan tempat itu dengan tergesa. Lucien tersenyum puas, menikmati pertunjukan di hadapannya.

Tidak lama lagi, Dewa Kematian akan kembali berjaya.

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang