Pulang?

950 118 30
                                    

"By the way, lo ngapain nge-kos deh, Bri? Jarak rumah lo ke kampus, kalo nggak macet, setengah jam aja nggak sampe. Rumah lo deket cafe-nya si Matthew kan? Jamie aja yang rumahnya hampir se-jam ke kampus, masih bolak-balik."

Omongan kosong Jae tempo hari masih terngiang di telinga Brian. Ditatapnya 'rumah' yang seharusnya ia tempati saat ini, dari balik kemudi mobil yang dikendarainya. Rumah yang sempat menjadi tempatnya bernaung, rumah yang dulu menjadi salah satu pusat kebahagiaannya.

*****

Bagaimana Brian bisa sampai kembali kesini? Entah, ia juga tak tahu. Ia hanya mengikuti kemana tubuhnya ingin membawanya pergi. Tiba-tiba saja mobilnya sudah terdampar disini, tepat di seberang bangunan yang sudah cukup lama ia hindari, rumahnya.

Tadinya, Brian sedang berada di cafe milik Matthew. Biasa, manggung bersama anggota The 6 yang lain. Sebisa mungkin ia bersikap seperti biasa, walau percakapan tempo hari, yang mungkin dianggap omongan kosong oleh Jae, terkadang masih mengusik benaknya.

Konversasinya dengan Jamie barusan juga tambah membuka kepingan memori, yang sebenarnya berusaha ia kubur. Bukan maksud Jamie sebenarnya. Hanya saja, kali ini ia yang terlalu lemah.

"Jam, nggak pulang?" Tanya Brian pada Jamie yang dilihatnya berdiri di depan pintu cafe.

"Ini mau pulang Bri hehe. Buru-buru nih gue, mau nyiapin ulang tahun Mama." Balas Jamie cengengesan.

"Mau gue anterin?"

"Eh nggak usah, gue naik Grab aja. Belum terlalu malem juga ini." Tolak Jamie cepat. Walau ia buru-buru, ia tahu kalau jarak rumahnya dan kos Brian tidaklah dekat.

"Yakin? Gue senggang kok kalo lo butuh tebengan."

"Hahaha yakin Bri, yakin. Lo kalo ada waktu senggang mending balik ke rumah gih, tengokin orangtua. Deket sini kan? Daripada mengendap di kosan sendirian."

Kemudian terdengar sahutan Jae dari kejauhan, sudah bersiap untuk pergi bersama Kiara, terbukti dari mereka yang sudah menaiki vespa Jae. "Iya tuh si Brian, udah rumah deket masih aja pake acara nge-kos segala, jarang balik lagi. Dasar, manusia hedon." Memang, mulut Jae kadang minta disambit.

Tapi ucapan itu bukan tak ada artinya bagi Brian. Kembali ia tercekat, merasakan tenggorokannya yang kering. Ia menelan ludah, kemudian menarik napas panjang.

Tak bisa ia pungkiri,

Brian rindu 'rumah'.

*****

Sekelebat kenangan masa lalu memenuhi benak Brian. Ia ingat, tiga tahun yang lalu terasa bagaikan titik terendah dalam hidupnya, puncak dari rasa keterpurukannya.

Pertikaian yang tiada henti terjadi antara Papa dan Mama.

Papa yang marah karena Mama mengkhianati komitmen mereka.

Mama yang merasa bahwa Papa terlalu sibuk dan tak pernah bisa mengerti dirinya.

Brian luka, ia lelah menghadapi semua hal menyakitkan itu. Terjebak di tengah-tengah, membuatnya marah akan segala hal.

Ia marah pada Mamanya, yang mengkhianati komitmen mereka.

Ia marah pada Papanya, yang tidak bisa menahan diri, hingga akhirnya keputusan itu terjadi.

Terlebih, ia marah pada diri sendiri, yang tidak bisa mencegah kedua orangtuanya berpisah.

Puncak kejadian itu pun lantas membuat Brian lupa diri, ia meledak. Di hari penentuan itu, Brian lepas kendali. Ia melarikan diri dari rumah. Ia kabur.

Untung saja, hati kecilnya yang berseberangan masih dapat menahannya untuk tetap tinggal, setidaknya ia hanya 'sedikit menyingkir', tidak benar-benar sampai membuatnya hilang dari peredaran. Ingin Brian menuruti egonya, menjauh sejauh mungkin dari apa yang membuatnya luka. Tetapi, sebagian hati nuraninya masih menyuarakan hal yang berbeda, membuat keputusannya jadi tidak bulat, hanya bulat separuhnya.

*****

Sempat, aktivitas sehari-hari menghapus sesaat kenangannya itu, tapi tak bertahan lama. Buktinya saja sekarang otaknya kembali memaksanya untuk mengingat kenangan pahit itu. Tidak, Brian tidak lagi marah. Kemarahannya sudah perlahan-lahan sirna, walau terkadang rasanya masih tersisa. Ia sedang dalam tahapan belajar, belajar memahami bahwa mungkin pilihan itu, walaupun bukan yang terbaik, tapi setidaknya lebih baik.

Kembali, ia pandangi rumah megah yang sempat menaunginya, sempat memberikan berbagai kenangan indah, maupun kenangan yang tak ingin ia ingat. Ia rindu, tentu saja. Akan tetapi, egonya masih mengatakan hal yang sebaliknya, membuatnya melajukan gas, menjauhi rumah itu. Membuatnya merasa bagaikan seonggok pengecut, bersembunyi dibalik tameng yang menutupnya rapat-rapat.

Maaf, Brian belum bisa pulang.

*****

a/n
Kita buka kisah Brian, yang sampai saat ini masih tertutup rapat. Meski tidak semua perilaku membutuhkan alasan, tapi perilaku Brian punya alasannya sendiri. Mulai dari sikap "playboy", skeptis dengan pernikahan atau melarikan diri dari kenyataan, mungkin diperoleh dari ketidakpercayaannya akan "komitmen"

Jadi, bagaimana pendapat kalian tentang Brian? I would love to hear any opinion hehe.

Ciao!

aisth_

First Sight | Jae Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang