Sebuah Pencerahan di Sore Hari (2)

785 89 2
                                    

Kalau bukan karena chat Jehan yang sedari tadi sibuk menggembar-gemborkan kelebihan gitar barunya, yang membuatnya jadi penasaran juga, mungkin saat ini Jelita masih leyeh-leyeh di kamarnya. Jelita baru saja menginjakkan kaki di depan pagar rumah yang akan disambanginya itu, ketika ia melihat kedua kakak beradik -Jae dan Jehan- yang tampak asyik mengobrol. Terbersit rasa jahil di benak Jelita, untuk mengejutkan kedua orang tersebut. Maka dari itu, kemudian Jelita menyerukan salam dengan nada lantang.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumussalam." Balas kedua kakak beradik itu, lempeng.

Mission: Failed.

*****

"Ey, cepet juga lo dateng, Ta." Ceplos Jehan, sesaat ia membukakan pagar rumah untuk Jelita, membuat Jelita mendengus malas.

"Mohon maaf ya bapak Jehan Alfandi. Tadi yang sibuk nge-chat gue banyak banget, kirim foto gitar lo dari berbagai posisi, sampe bikin gue pusing, siapa hah? Mana gitarnya?" Balas Jelita (sok) sewot, padahal di rumah juga Jelita cuma leyeh-leyeh.

"Hehehe ya maap." Jehan cengengesan. "Udah yok, masuk masuk." Ujarnya lagi, mempersilahkan Jelita masuk.

Sesuai instruksi Jehan, Jelita pun masuk. Ia sapa Jae yang masih asyik nongkrong di teras rumah. "Eh, ada Bang Jae. Apa kabar? Makin ganteng aja nih."

"Kabar Baik, Ta. Sini-sini, duduk." Ucap Jae setengah tertawa, sudah terbiasa dengan ke-absurd-an teman adiknya ini. Lagipula, adiknya juga seringkali bertingkah absurd, maka wajar saja jika temannya juga sama absurd-nya.

"Bang Jae makin ganteng, gue makin apa, Ta?" Tanya Jehan, tak mau kalah.

"Lo mah makin gembil, Han." Ceplos Jelita asal. Ia kemudian menambahkan, "heran gue, baru juga dua hari gue nggak ketemu lo. Makanannya Bang Jae lo embat semua kali ya."

"Ehem." Jae berdeham pelan. "Adik Jelita yang memang cantik Jelita sesuai namanya, lo mau nge-diss adek gue, apa mau nyindir gue secara halus nih." Jae misuh, sadar kalau dirinya tiang berjalan.

"Hehe bukan gitu, Bang." Cengir Jelita lebar, membuat Jae mau tak mau jadi ikut tersenyum.

*****

"Je...." Terdengar panggilan dari dalam rumah, panggilan dari Bunda kedua kakak beradik, Jaeris dan Jehan.

"Iya Bun?" Sahut kedua kakak beradik itu kompak, sudah terbiasa dengan kebiasaan Bunda yang hanya menyebut 'Je' saat memanggil mereka berdua, mentang-mentang nama keduanya mirip, Jaeris dan Jehan.

Oh sebentar, yang menjawab ucapan tersebut ternyata bukan hanya dua orang, ada Jelita yang juga ikut menjawab hal yang sama. Jehan menahan tawanya, membuat Jelita sadar dan memukul lengannya pelan.

Jehan memang memanggil Jelita dengan sebutan Lita, begitu pula ia memperkenalkan temannya ini ke keluarganya. Namun sebenarnya, sebagian besar orang memanggil Jehan dan Jelita dengan nama panggilan yang sama, 'Jeje'. Maka dari itu, tadi Jelita refleks saja, tanpa banyak pikir panjang ikut menyahut.

"Itu Jelita-nya coba dibikinin minum dulu Je!" Sahut Bunda, masih dari dalam rumah.

"Biasanya dia kalo haus juga ambil minum sendiri, Bun." Gerutu Jehan, tapi ujungnya beranjak juga. Jaeris cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya itu.

*****

Ta, gue mau minta pendapat dong. Boleh?" Tanya Jae pada Jelita, tak lama setelah Jehan masuk ke dalam rumah.

"Ya boleh Bang, masa nggak boleh. Mau minta pendapat tentang apa Bang?" Balas Jelita, kemudian menatap Jae.

"Mmm, gimana ya nanyanya? Lo kan cewek nih Ta, jadi mungkin lebih ngerti kali ya. Kalo cewek tiba-tiba nangis tuh kenapa ya, Ta?" Tanya Jae, masih penasaran dengan kejadian tempo hari.

"Hmm..." Jelita kelihatan berpikir. "Kakinya lo injek kali Bang." Balas Jelita asal. Jae rasanya mau naik darah.

"Yeuu, ya kali ah gue injek kakinya." Jae jadi misuh, membuat Jelita tertawa kencang.

"Hahaha, iya iya maaf Bang." Ampun Jelita. Ia menyeka bulir cairan yang keluar dari matanya, efek tertawa terlalu kencang. Setelah tenang, Jelita lantas melanjutkan, "coba ceritain kronologisnya dulu Bang, biar gue ngerti." Ucap Jelita lagi, kali ini serius.

"Je... itu adeknya jangan digangguin terus." Belum sempat Jae menjelaskan, kembali terdengar suara Bunda dari dalam rumah.

"Gangguin siapa Bun? Orang Jeje lagi di dalem kamar ambil list lagu buat dia nampil nanti." Balas Jae pada Bunda.

"Itu adeknya, Jelita, jangan digangguin terus Jae." Kembali balas Bunda, masih dari dalam rumah.

Jae lantas tertawa. Bisa-bisanya ia lupa bahwa Bunda memang begitu. Baik teman-teman Jae maupun teman-teman Jehan sudah Bundanya anggap bagaikan anak sendiri. Bahkan menurutnya, ia atau Jehan, yang notabene anak kandung Bunda, kerapkali tersingkir jika ada teman-temannya. Tak heran, jika teman-teman Jae, terutama The 6 sangat betah ada di rumahnya. Brian bahkan tak sungkan bertanya "masak apa Bunda hari ini?" sebagai pertanyaan pertama tiap kali ia berkunjung ke rumahnya.

"Hahaha, Bang Jae nggak gangguin kok Bun. Lita malah seneng, jadi ditemenin ngobrol." Terdengar sahutan Jelita pada Bunda. Jelita lantas melanjutkan, " jadi, gimana kronologisnya Bang?"

"Oh iya, hampir lupa gue. Jadi, begini ceritanya....."

*****

"Nah, jadi gitu, Ta." Ucap Jae sesaat ia menyudahi ceritanya tentang kejadian tempo hari.

Sedari tadi Jelita diam saja, menyimak dengan seksama cerita Jae. Sejenak Jelita tampak berpikir, sebelum membuka mulutnya untuk berkomentar. "Hmm, gimana ya Bang, udah oke sih lo diem aja kemaren, nenangin mbak-nya." Jelita menarik napas sesaat sebelum kembali melanjutkan, "mungkin dia punya alasannya sendiri. Abang juga nggak bisa maksain mbak-nya buat cerita, karena kadang yang diperluin orang tuh bukan didesak, ditanya-tanya, terus dinasehatin panjang lebar. Kadangkala orang-orang tuh cuma butuh dimengerti. Dimengerti kalo dia cuma butuh ditemani, atau bahkan dimengerti kalo dia butuh sendiri." Akhirnya Jelita berkomentar panjang lebar. Jae terhenyak, mau tak mau membenarkan ucapan Jelita.

"By the way, kalo Abang emang penasaran, ya Abang bisa bilang kayak, 'kalo lo butuh orang buat cerita, gue siap ngedengerin, my ears are all yours'. Ya tapi itu balik lagi ke mbak-nya sih, jangan Abang paksa atau tanya-tanya terus juga, soalanya itu pilihan dia buat cerita ke Abang atau nggak." Jelita kemudian kembali menatap Jae, "tapi gue yakin, lambat laun mbak-nya bakal cerita ke Abang, kalau dia percaya sama Abang. Tinggal gimana caranya Abang membangun kepercayaan dia ke Abang."

Jae terdiam, dalam hati mengamini perkataan Jelita.

Semoga, walaupun mungkin bukan sekarang, nantinya Kiara bisa percaya sama gue, untuk turut mendengar keluh kesahnya.




"Walah, serius amat nih, ada apaan? Gue kelewatan apa nih?" Tanya Jehan, sekembalinya ia ke teras rumah, setelah ia menemukan list lagu, yang nantinya ia dan Jelita akan bawakan.

"Ah, telat lo, Han." Celetuk Jelita. Jehan cuma bisa bengong.

*****

Halooo
Kembali lagi dalam chapter "Sebuah Pencerahan di Sore Hari".
Kalau kemarin ada pencerahan dari Jehan, yang tidak mencerahkan sama sekali, kali ini kita disambut dengan pencerahan dari Jelita, yang (semoga) bisa memberikan secercah pencerahan buat Jae.

First Sight | Jae Day6Where stories live. Discover now