14

1K 64 0
                                    

Erlang POV

"Pertemuan hari ini sampai disini dulu, yah. Kalau ada yang kurang dipahami atau ingin ditanyakan silahkan bertanya ke saya." Sambil merapikan buku-buku milikku.

Selain pak Danar, senior di klub fisika juga ikut mengajar dan sekarang giliranku untuk mengajar mereka. Ini sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di sekolah ini, senior juga yang mengajari juniornya di klub belajar. Bukan hanya belajar, disini juga kita biasa sharing pengalaman kita di perlombaan.

"Iya, kak. Terima kasih banyak."

Satu persatu pun keluar kelas hingga tersisa dua anak perempuan yang menghampiriku. Yang satunya aku bernama Dina dan satunya lagi bernama Riri.

"Kak, bisa minta tolong, tidak?" tanya Dina.

Aku hanya menganggukkan kepala, kemudian Dina kembali berkata sambil menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas berwarna biru "Bisa berikan ini ke kak Bayu?"

Aku lagi-lagi menganggukkan kepala kemudian menerima kotak itu.

"Tapi kak, jangan beri tahu kak Bayu itu dari siapa, yah!"

"Iya."

"Sebelumnya, terima kasih banyak, kak."

"Sama-sama."

Kedua perempuan itu pun keluar, menyisakan aku yang sendirian di ruangan ini. Aku memandangi kotak itu sebentar, kemudian berjalan keluar dari ruang kelas ini.

Lagi-lagi Bayu dapat hadiah, dan kau tahu. Hampir seluruhnya hadiah yang Bayu dapat itu pasti dititipkannya ke aku, tidak ada yang berani memberikannya secara langsung. Katanya dia takut dengan Bayu. Bayu sebenarnya tidak galak, hanya bicaranya saja yang kadang tidak memikirkan perasaan orang.

Saat aku menuruni tangga, aku tidak sengaja melihat Airin yang membuat aku menghentikan langkahku. Dia terlihat sedang memanjat pohon, dan terlihat berusaha meraih sesuatu. Ternyata dia mengambil seekor kucing.

Aku belum beranjak dari tempat ini, aku masih mengamati apa yang dilakukan Airin. Dia terlihat mengelus sambil berbicara ke kucing itu, aku tidak dengar apa yang Airin bilang. Setelah itu, Airin pun menaruh kucing itu kemudian pergi.

Airin POV

Kalau bukan karena ibu Sri nyuruh gue selesaiin semua tugas gue yang nunggak, gue nggak akan pulang se-sore ini. Mana Zalza dan Cinta sudah pulang duluan lagi.

"Ehh suara apaan tuh?" langkah gue terhenti gara-gara gue mendengar sebuah suara.

Gue berhenti beberapa saat untuk mencari tahu suara apa itu dan suara itu sudah menghilang. Rada-rada nyeremin juga, sih. Apalagi sekarang sekolah sudah sepi.

Gue kembali berjalan dan tak lama kemudian gue mendengar suara itu lagi dan semakin terdengar jelas.

"Meong...meong...meong" Ternyata itu hanya suara anak kucing, kirain juga apa. Hampir aja gue lari ketakutan. Gue pun mencari dimana anak kucing itu berada.

Saat gue nggak sengaja menengok ke atas, gue akhirnya dapat sumber suara itu. Kucing itu berada di atas pohon dan gue lihat dia nggak bisa turun.

"Kasihan banget. Gimana yah cara ngambilnya?" Gue berpikir sejenak gimana cara ngambil tuh kucing. Sementara tuh kucing nggak berhenti mengeong.

Ohh, gue sudah ada ide. Gue lihat dulu ke sekitar, semoga aja nggak ada orang. Soalnya gue mau manjat. Bisa bahaya, kan kalau gue manjat terus ada orang, secara gue kan pake rok.

Oke, gue lihat nggak ada orang. Gue langsung aja manjat ke pohon itu dan berniat ambil tuh kucing. Nggak tinggi-tinggi amat kok, hanya beberapa pijakan.

"Hap!" akhirnya gue berhasil menggapai kucing itu.

Setelah gue meraih kucing itu, gue pun langsung melompat turun dari pohon itu. Gini-gini gue juga bisa manjat, yah.

"Lucu banget sih ini kucing." Kata gue sambil mengelus-elus kucing yang berwarna cokelat ini. Gue jadi teringat kucing gue yang terpaksa dibawa ke rumah nenek. Kucing gue dibawa ke rumah nenek gara-gara istri papa nggak suka dengan kucing. Jadi manusia kok rempong amat, kalau nggak suka yah jangan lihat. Sudah ngusik hidup gue, minta pindahin hewan kesayangan gue lagi. Huft, gue harus sabar.

"Maaf, yah. Gue nggak bisa bawa lo pulang." Gue kemudian menaruh kucing itu di tanah kemudian pergi meninggalkannya begitu saja.

**

[COMPLETED] My Jenius Boyfriend Where stories live. Discover now