42

837 45 0
                                    

Erlang POV

Terdengar ponselku sedang berdering, aku pun sontak menaruh bukuku kemudian beranjak dari kursi menuju ranjang.

Ternyata telepon dari Andien. Aku pun menggeser layar untuk menerima telepon darinya.

"Ada apa?" tanyaku membuka percakapan.

"Kamu lagi sibuk, tidak?"

"Tidak juga. Ada apa?"

"Hmmm. Aku pengen bicara."

"Bicara saja."

"Kamu sudah putus dengan Airin?"

Terjadi keheningan beberapa saat sebelum aku menjawab.

"Hmmm, iya." Jawabku.

"Aku, kan sudah pernah bilang dia itu tidak baik."

Aku tidak menjawab apa-apa.

"Aku sudah dengar semuanya dari Bayu dan teryata dia sudah mempermainkanmu." Sambungnya.

Lagi-lagi aku tidak menjawab apa-apa.

Dia tidak berkata apa-apa dan lagi-lagi keheningan terjadi beberapa saat. Karena dia tidak menyahut, aku pun memanggilnya "Andien?"

"ehh, iya?" kata Andien dengan nada terkejut.

"Kalau sudah tidak apa-apa, aku tutup saja, yah!" Aku sudah tidak nyaman membahas ini.

"Ehhh. Jangan!"

"Terus ada apa?"

Aku mendengar Andien menarik nafas panjang disana kemudian berkata "Aku....."

"Kenapa?"

"Aku suka kamu, Lang."

Aku tidak berkata apa-apa, karena memang aku tidak tahu harus berkata apa.

Andien kembali bersuara setelah hening beberapa saat "Aku mau jadi pacar kamu."

"Maaf, aku tidak bisa."

"Kenapa? Aku janji, aku tidak akan mempermainkan kamu, kok. Beneran, aku suka kamu."

"Tidak, aku tidak bisa."

Aku mendengar suara isakan dari sana, Andien mungkin menangis. Oh, ini pertama kalinya aku membuat perempuan menangis, dan aku benci itu.

"Aku suka kamu, Lang."

"Sekali lagi, maaf. Aku tidak bisa."

"Kita cukup berteman saja."

"Maaf!"

Aku langsung menutup telepon. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, karena aku merasa semakin bersalah jika semakin lama mendengar Andien menangis.

Aku menarik napas, dan ternyata semakin bertambahnya usia beban semakin bertambah juga.

Aku menolak Andien karena aku sudah menganggap dia teman dan aku tidak pernah merasakan seperti saat aku bersama Airin, lagi pula aku tidak mau berpacaran untuk saat ini. Walaupun terkadang aku masih sering memikirkan Airin, tetapi aku harus berusaha menepis pikiran itu dengan menghapus semua kontaknya. Sekaligus untuk mencegah perasaan yang lebih dalam lagi muncul. Itu cukup berat memang, tetapi mengingat dia ternyata hanya mempermainkanku. Jadi, melupakan dia adalah jalan terbaik.

Beberapa hari yang lalu aku juga mendapat e-mail dari pihak universitas di Singapura yang menyatakan aku gagal mendapatkan beasiswa. Menyedihkan memang, tetapi mungkin sudah bukan takdirku untuk kuliah disana. Yah, memang terlalu banyak cobaan akhir-akhir ini.

Dika

"Semangat, Lang! Gue yakin masih banyak jalan elo di luar sana."

Satria

"Gak usah sedinh, Lang! Tuhan punya rencana lebih baik yang mungkin belum bisa terwujud saat ini, yang jelas tetap semangat, Lang! Mungkin kita bisa kuliah sama sama di Bandung nanti :)"

Dika

Oh iya, ide bagus tuh. Kita nge-kost bertiga aja di Bandung nanti. Sayangnya pak dokter kita maunya ke Jakarta sendiri.

Erlang

Aku bisa tinggal dengan kak Dimas kalau di Bandung nanti.

Bayu

-_-

Bayu

"Gue nggak tahu harus bilang apa, karena kalau gue dalam masa-masa gini, pun semua kata-kata manis yang temen elo ucapin di atas itu jadi tai kucing semua. Bullshit, kan? Gue nggak punya bakat untuk menjadi motivator. So, yang jelas elo jalani saja plan B elo itu. Gue tahu, elo itu pintar. Elo pasti punya banyak plan. Atau lo mau ikut gue juga jadi dokter? Atau mau kuliah bareng gue di Jakarta?"

Dika

Oh, gue baru ingat kakak lo ternyata ada di Bandung.

Itu isi chat terakhir di grup chat yang bernama "Erlang galau for the first time." Bayu yang lagi-lagi mengganti namnaya beberapa hari yang lalu. Sekarang grup itu sudah sepi, tidak lagi ramai seperti dulu yang setiap hari Bayu dan Satria tiada hentinya mengoceh. Kami semua sudah sibuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi. Termasuk juga Satria yang sudah kembali ke rumah orang tuanya, tapi dia bilang akan pergi ke sini dan menginap di rumah Bayu untuk acara prom night nanti.

Aku menaruh ponselku di atas ranjang kemudian beranjak lalu menuju ke meja belajar untuk melanjutkan belajarku yang tadi sempat terputus. Iya, karena aku tidak lolos maka aku harus bersiap untuk SBMPTN yang sisa beberapa minggu lagi. Aku kembali membaca buku, mereview kembali materi dari kelas sepuluh sekaligus latihan soal tahun-tahun sebelumnya.

Saat aku sedang sibuk membaca buku biologi, tiba-tiba saja kak Fildza masuk ke dalam kamar. Iya, kak Fildza dan kak Dimas pulang beberapa hari yang lalu.

"Kok galau banget, sih kakak lihat akhir-akhir ini." Tanya kak Fildza yang kemudian berdiri di sampingku.

"Tidak, kok. Kak!"

"Nggak, ah! Kamu kelihatannya galau. Ceritain ke kakak saja."

Tak lama kemudian kak Dimas juga masuk ke dalam kamar kemudian membuang dirinya ke atas ranjang.

"Dia baru putus sama pacarnya."

Aku terkejut mendengarnya, tahu dari mana kak Dimas mengenai ini?

"Hah. Beneran?" tanya kak Fildza dengan ekspresi terkejut. Terkejut yang dibuat-buat.

"Adik kakak sudah dewasa ternyata. Sudah pacar-pacaran juga." Sambung kak Fildza sambil mencubit pipiku lumayan keras yang membuatku mengelus-elus pipiku sambil meringis.

"Lupakan saja, kak!"

"Kenalin pacarnya, dong!" kata kak Fildza.

"Kan, tadi sudah dibilang putus, kak."

"Kakak tahu dari mana?"

"Bayu yang bilang." Jawab kak Dimas. Mungkin aku harus buat perhitungan ke Bayu nanti.

"Lupakan saja, kak. Lagi pula hanya pacaran main-main."

"Mana ada! Cerita, dong. Mau tahu aja bagaimana adik kakak ini pacaran."

"Aku sudah mau melupakannya kak. Jangan membuatku mengingatnya lagi!"

"Aduh, adik kakak dari dulu selalu susah ditanya." Kata kak Fildza.

"Ehh. Kita jalan-jalan dulu, yuk!" ajak kak Fildza.

"Sekaligus menghibur adik kita yang lagi galau ini." Sambungnya sambil terkekeh.

"Aku mau belajar, kak."

"Ikut aja! Sekali-kali. Lagi pula kamu jarang keluar, kan?"

Karena aku malas berdebat sekarang, aku lebih memilih menurut saja.

"Iya, kak."

**

[COMPLETED] My Jenius Boyfriend Where stories live. Discover now