38

817 46 0
                                    

Airin POV

"Selesai UN bukan berarti sepenuhnya masalah selesai, yah."

Itu isi chat Erlang seminggu yang lalu yang dia kirimin ke gue selepas kita dari pasar malam, dan sekarang kita berdua sedang belajar di rumah gue, lebih tepatnya di ruang tamu. Tadi, sih kita maunya di perpustakaan. Tetapi karena papa yang nyuruh untuk di rumah saja, jadinya kita harus nurut. Dari tadi juga papa dan mama yang paling sibuk beliin ini-itu buat Erlang. Alahasil, meja ruang tamu tempat gue belajar sekarang dipenuhi makanan.

Please, pa. Mentang-mentang gue udah lulus SMA jangan ngebet buat nikahin gue sama Erlang, yah! Hahaha. Karena gue tahu, Erlang itu tipe pria yang pengen meraih mimpinya dulu. Jadi, nggak mungkin dia nikah di usia muda.

Sudah satu jam lebih kita berdua berada di sini dan sudah banyak soal yang dia ajarin ke gue. Baru tahu juga gue, ternyata soal seleksi masuk perguruan tinggi itu lumayan sulit juga, beberapa kali gue tersendat dan harus minta bantuan ke Erlang.

Gue harus belajar lebih untuk ini, gue pengen kuliah di universitas terbaik di Indonesia. Erlang yang memotivasi gue untuk masuk ke universitas terbaik. Dia pernah bilang gini ke gue.

"Banyak orang yang mengatakan percuma wanita sekolah tinggi-tinggi karena nantinya hanya akan jadi ibu rumah tangga. Aku tidak setuju dengan itu. Aku pikir walaupun hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, bukan berarti perempuan tidak harus sekolah tinggi-tinggi, kan? Justru disitu perempuan harus bersekolah karena dia yang akan mendidik anak-anak nantinya." Gue terkesan dengan perkataan Erlang itu. Baru kali ini gue punya pacar yang berpemikiran dewasa banget.

Untuk jurusan? Sebenarnya gue belum tahu jurusan apa, tapi Erlang pernah ngusulin gue untuk masuk ke jurusan psikolgi, dan setelah gue cari-cari infonya, ternyata keren juga.

Oiya, sampai sekarang gue belum tahu Erlang akan kuliah dimana.

"Sayang." Ups, gue kelepasan.

Erlang yang sedang sibuk menulis tiba-tiba menoleh sambil menunjukkan ekspresi terkejut akibat mendengar panggilan baru gue ini.

"Ada apa?" Tanya Erlang sambil membetulkan letak kacamatanya. Masih dengan wajah yang heran.

"Bisa nggak kalau aku panggil kamu 'sayang.'"

"Boleh, asal jangan terlalu sering." Jawabnya dengan ekspresi datar. Eh, apa bedanya sering dengan nggak? Setelah itu dia kembali fokus dengan bukunya.

"Sayang."

"Iya." Jawabnya yang kemudian menoleh ke gue dengan senyum tipis. Seru juga kalau gue panggil dia sayang.

"Aku mau tahu, kamu nanti mau kuliah dimana?"

"Aku rencana mau lanjut di Singapura." Jawabnya.

"Yah, jadi kita harus LDR dong nantinya."

"LDR?" Tanya Erlang. Dia nggak tahu apa LDR itu ternyata.

"Long Distance Relationship, sayang." Jawab gue yang membuat dia lagi-lagi tersenyum kemudian menganggukkan kepala.

"Kalau aku nantinya lulus mau tidak mau pasti itu terjadi, kan?"

"Lagi pula, Singapur tidak terlalu jauh juga, kok."

"Dan aku yakin, kita berdua pasti bisa lalui semua itu." Sambungnya.

"Jangan tinggalkan aku, yah!"

"Iya, aku pasti kembali." Katanya sambil tersenyum.

"Kita harus sering video call nantinya."

"Iya."

Gue hanya tersenyum mendengarnya. Sedih juga, sih harus LDR dengan Erlang nantinya. Tapi, gue harus tetap bertahan dengan dia. Gue nggak mau putus dengan alasan yang sama seperti kak Devan dulu. Lagi pula, gue seratus persen percaya dengan Erlang. Walaupun matanya empat, dia nggak pernah sekalipun ngelirik cewek lain, tuh.

"Ayo. Kembali belajar!"

"Kita bahas bagian ini dulu." Sambungnya.

"Iya." Kata gue sambil membentulkan letak kacamata gue yang agak turun ini. Akhir-akhir ini memang gue sudah sering menggunakan kacamata, apalagi sekarang gue sudah ganti yang baru.

**

"Sudah selesai, selanjutnya kamu permantap saja latihan soal. Tambah juga dengan les kamu nanti. Kamu yang serius, yah kalau les!" kata Erlang sesaat setelah dia selesai ajarin gue, sekarang dia sedang merapikan buku-bukunya.

"Padahal aku mau diajar terus sama kamu." Kata gue dengan wajah cemberut.

"Tidak bisa. Lagi pula kita berbeda jurusan, aku hanya bisa mengajarimu matematika saja."

Gue hanya menganggukkan kepala mendengarnya.

"Airin?" Panggil Erlang.

"Iya?"

"Hmmm. Sudah lama kita pacaran, teman-temanku belum ada yang tahu. Mau tidak kalau lebih baik kita terbuka saja sekarang?"

"Boleh." Jawab gue antusias. Mungkin benar yang erlang katakan, mungkin lebih baik gue beri tahu Zalza dan Cinta juga.

Eh, tapi gue ngakunya, kan sudah putus sama kamu, Lang. Lupakan! Lupakan rencana gue untuk bilang ke mereka berdua.

"Kalau kamu sudah tidak sibuk lagi kita jalan lagi."

"Sama teman-temanku juga." Sambungnya.

"Iya."

"Aku mau sering-sering jalan sama kamu." Kata gue dengan nada manja yang gue saja jijik mendengarnya.

Maaf kalau gue agak lebay hari ini.

Erlang tersenyum kemudian berkata "Iya, setelah kamu les nanti."

Gue tersenyum mendengarnya. Dia lalu melirik ke jam dinding yang menunjukkan sekarang sudah hampir jam tujuh malam.

"Sudah malam, aku pulang dulu." Kata Erlang sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya.

"Tunggu dulu!" cegat gue.

"Mama bilang tadi, makan malam dulu sebelum pulang."

Dia hanya menganggukkan kepalanya.

Oiya, sampai sekarang gue belum pernah lihat Erlang pake jam tangan. Apakah dia nggak punya jam tangan?

Mungkin gue bisa kasi hadiah jam aja nanti sebelum dia berangkat. Agar setiap saat dia lihat jam itu dia ingat gue.

Eh, atau mungkin dia emang nggak suka pake jam tangan?

**

[COMPLETED] My Jenius Boyfriend Where stories live. Discover now